Di tengah masyarakat Madura yang sarat dengan nilai-nilai spiritual, terdapat banyak tradisi yang masih lestari hingga kini. Salah satunya adalah kepercayaan terhadap bhuju’ tamonè — sebuah situs pemakaman yang dikeramatkan dan diyakini menyimpan kekuatan mistis serta nilai simbolik tinggi. Di Desa Batuan, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, terdapat Bhuju’ Tamonè yang menjadi tempat ziarah dan harapan bagi mereka yang ingin memperoleh keturunan atau keselamatan anaknya.
Makna dan Asal-usul Istilah Bhuju’ Tamonè
Dalam tradisi masyarakat Madura, kata “bhuju’” berarti kuburan atau makam yang dianggap keramat. Biasanya, di tempat seperti ini dimakamkan tokoh yang diyakini memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat sekitar — entah seorang wali, ulama, tabib, atau orang saleh yang meninggalkan jejak kebaikan. Sedangkan “tamonè” berarti ari-ari atau plasenta bayi, bagian penting yang menghubungkan janin dengan ibunya selama dalam kandungan.
Bagi masyarakat Jawa dan Madura, ari-ari tidak sekadar organ biologis, melainkan simbol hubungan spiritual antara bayi dan dunia asalnya. Ari-ari dianggap “teman hidup” pertama bayi di alam rahim, yang kemudian diperlakukan dengan penuh hormat setelah kelahirannya. Tradisi penguburan ari-ari pun memiliki aturan dan makna tersendiri: bila bayi perempuan, ari-arinya dikubur di sisi kiri rumah, sedangkan bagi bayi laki-laki di sisi kanan halaman rumah.
Simbolisme dalam Tradisi Penguburan Ari-Ari
Sebelum dikuburkan, ari-ari biasanya dimasukkan ke dalam kendhil (periuk tanah liat), dilapisi daun talas, dan diberi garam, lombok (cabai), serta berbagai benda simbolik lainnya. Daun talas memiliki makna agar sang anak kelak tidak hanya mengejar duniawi, tapi juga memiliki budi pekerti yang baik. Garam dan lombok melambangkan falsafah Madura: “Sopajā nyerrep bujā cabbhi” — agar anak mampu menyerap rasa asin dan pedasnya kehidupan, artinya siap menghadapi suka-duka dalam perjalanan hidup.
Legenda di Balik Bhuju’ Tamonè
Menurut kisah turun-temurun, Bhuju’ Tamonè di Desa Batuan merupakan makam dari Sayyid Usman dan Siti Fatimah. Sayyid Usman adalah putra dari Kiai Peregi (Pareghi), seorang pemimpin pondok pesantren besar di Desa Pakondang, Kecamatan Rubaru. Ia dikenal sebagai santri dari pesantren di Desa Lembung, Kecamatan Lenteng, Sumenep.
Suatu ketika, Sayyid Usman hendak pulang ke rumah orang tuanya. Di tengah perjalanan, hujan turun deras, dan ia berteduh di bawah pohon beringin besar di Desa Batuan. Tak lama kemudian, datang pula seorang wanita muda bernama Siti Fatimah, yang juga mencari perlindungan dari hujan di bawah pohon yang sama. Sayyid Usman berdiri di sisi timur pohon, sementara Siti Fatimah di sisi barat.
Beberapa saat kemudian, suami Siti Fatimah datang dan melihat istrinya berteduh bersama seorang laki-laki asing. Diliputi amarah dan cemburu, ia langsung menyerang dan membunuh keduanya tanpa memberi kesempatan menjelaskan. Sayyid Usman tidak melawan, namun sebelum wafat, ia bersumpah: jika ia dan Siti Fatimah tidak bersalah, maka dari kuburnya akan keluar aroma harum dan cahaya biru.
Beberapa hari setelah dimakamkan, kuburan Sayyid Usman benar-benar mengeluarkan wangi harum dan cahaya biru yang tampak oleh penduduk sekitar. Hal ini dianggap sebagai bukti kesuciannya dan kebenaran sumpahnya. Adapun Siti Fatimah, yang tengah mengandung, juga bersumpah bahwa anak dalam kandungannya tidak akan mati sebelum tubuh ibunya hancur. Konon, jenazah Siti Fatimah kemudian moksa, dan jasadnya tidak ditemukan dalam liang kubur.
Dari Legenda Menjadi Tradisi Ritual
Sejak peristiwa itu, lokasi makam tersebut dikenal dengan sebutan Bhuju’ Tamonè, karena selain menjadi tempat peristirahatan dua tokoh tersebut, pohon beringin dan kasambhi di tempat itu juga menjadi lokasi di mana masyarakat menggantungkan tamonè (ari-ari) anak mereka. Tradisi ini lahir dari kepercayaan bahwa menggantungkan tamonè di pohon tersebut dapat menolak bala atau tola’ matè, yakni menjauhkan bayi dari kematian dan penyakit.
Orang-orang yang datang berziarah ke sana umumnya memiliki hajat tertentu — terutama pasangan yang lama menikah tapi belum dikaruniai anak, atau ibu yang kehilangan anak dalam kelahiran sebelumnya. Mereka datang dengan niat suci, berdoa, membawa sesajen sederhana, dan berikrar atau bernazar bahwa bila hajatnya dikabulkan, ari-ari anaknya akan digantung di bawah pohon Bhuju’ Tamonè.
Pengakuan Para Penziarah
Banyak kisah pengakuan penziarah yang menjadi bagian dari legenda hidup Bhuju’ Tamonè. Seorang ibu bercerita, ia telah menikah selama lima tahun namun belum juga memiliki anak. Dalam keputusasaan, ia berziarah ke tempat ini dan bernazar: jika ia dikaruniai anak, ia akan menggantungkan tamonè sang bayi di bawah pohon sambe. Setahun kemudian, nazarnya terkabul.
Cerita lain datang dari seorang ibu yang tiga kali kehilangan bayinya setelah lahir. Pada kehamilan keempat, ia datang ke Bhuju’ Tamonè dengan doa tulus. Setelah anaknya lahir dengan selamat, ia menepati janji dengan menggantungkan tamonè sang bayi di pohon itu. Sejak saat itu, anaknya tumbuh sehat dan kuat. Pengalaman-pengalaman seperti ini tersebar dari mulut ke mulut, memperkuat keyakinan masyarakat akan karomah dan keberkahan Bhuju’ Tamonè.
Namun demikian, para penziarah juga menyadari bahwa segala sesuatu tetap atas kehendak Allah SWT. Mereka menganggap ziarah dan nazar hanyalah sarana spiritual, bukan jaminan. Keyakinan mereka berpijak pada doa dan ikhtiar, dengan harapan tempat keramat ini menjadi perantara untuk mengetuk pintu langit.
Makna Filosofis Pa’empa’ (Sedulur Papat Limo Pancer)
Seorang tokoh masyarakat setempat menjelaskan bahwa benda yang digantung di pohon bukan hanya ari-ari, tetapi juga pa’empa’, yakni empat saudara yang keluar bersama bayi saat lahir: ari-ari, puser, air ketuban, dan darah. Sedangkan bayi itu sendiri disebut pancer — pusat kehidupan manusia.
Dalam kepercayaan Kejawen, konsep ini dikenal sebagai Sedulur Papat Limo Pancer — empat saudara gaib yang setia mendampingi manusia sejak lahir hingga meninggal dunia. Mereka diyakini sebagai makhluk metafisik yang menjaga dan menuntun manusia sepanjang perjalanan hidupnya. Karena itulah, menggantungkan pa’empa’ di tempat suci seperti Bhuju’ Tamonè dianggap sebagai simbol perlindungan spiritual bagi si bayi.
Bersama pa’empa’, masyarakat juga menggantungkan benda-benda simbolik seperti bunga telon, jarum, silet atau sembilu, garam, kunyit, pensil, kertas, bahkan potongan ayat suci Al-Qur’an. Semua itu merupakan perlambang harapan agar anak tumbuh dengan pengetahuan, kesehatan, dan kekuatan batin. Menariknya, benda-benda ini serupa dengan yang digunakan dalam upacara “Toron Tana” (turun tanah) — tradisi Madura yang menandai bayi pertama kali menginjak bumi.
Makna Ari-Ari Sebagai Penghubung Dunia
Ari-ari memiliki peran istimewa dalam pandangan spiritual masyarakat Madura. Ia dianggap penghubung antara dunia gaib dan dunia manusia, serta simbol kasih antara ibu dan anak. Dalam falsafah lokal disebutkan, “Hidup ibu adalah hidup anak, dan hidup anak adalah kelanjutan dari kehidupan ibu.” Tali pusar yang menghubungkan keduanya adalah manifestasi dari kasih yang tidak terputus. Saat ari-ari dikubur atau digantung, bukan berarti memutus hubungan, melainkan mengembalikan sang “teman” ke alam asalnya — dunia ibu, dunia gaib yang melahirkan kehidupan.
Bhuju’ Sebagai Simbol Sakralitas dan Perlindungan
Secara umum, bhuju’ dalam tradisi Madura bukan hanya tempat pemakaman, melainkan situs spiritual yang menjadi titik pertemuan antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata. Biasanya, bhuju’ terletak di perbatasan desa, di bawah pohon besar, atau di tengah wilayah yang dianggap sakral. Orang yang dimakamkan di bhuju’ biasanya adalah tokoh pembabat desa, ulama, atau orang yang meninggal secara tragis namun diyakini tidak bersalah.
Tak heran bila banyak bhuju’ di Madura menjadi lokasi ngalap berkah (mencari berkah), rokat dhisa (bersih desa), atau sedekah bumi. Doa-doa dalam upacara itu biasanya dilantunkan dalam bentuk macapat (mocopat) — tembang tradisional berirama doa dan nasihat hidup. Setiap bhuju’ diyakini memiliki patoghuna, yaitu penjaga gaib berupa ular, ikan hiu, atau macan, yang menjaga kesucian tempat itu.
Bhuju’ orang yang dibunuh tanpa bersalah, seperti Sayyid Usman dan Siti Fatimah, umumnya berada di pinggir jalan atau perbatasan desa. Masyarakat luar sering datang berziarah ke sana, sedangkan warga setempat menghormatinya dari jauh. Mereka percaya, walau tidak selalu diziarahi, roh di tempat itu tetap menjadi pelindung kampung.
Kesimpulan: Antara Tradisi, Doa, dan Keyakinan
Bhuju’ Tamonè di Desa Batuan, Sumenep, bukan sekadar tempat ziarah, melainkan warisan budaya dan spiritual yang mengikat manusia dengan leluhurnya, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta. Tradisi menggantungkan tamonè di bawah pohon beringin bukan bentuk penyembahan, melainkan simbol doa dan pengharapan akan kehidupan yang panjang, sehat, dan selamat.
Di tengah derasnya modernisasi, kisah Bhuju’ Tamonè mengajarkan kita untuk tidak memutus tali dengan akar budaya dan nilai spiritual. Ia adalah cermin hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan yang terjalin dalam bentuk paling sederhana — sebuah doa di bawah pohon tua, di tanah yang penuh sejarah dan keyakinan.
(Syaf Anton Wr)
