Header Ads

Tanéyan Lanjhâng: Pola Rumah Adat dan Kearifan Lokal Masyarakat Madura

Pola Rumah Adat Tanéyan Lanjhâng

Salah satu kekhasan budaya arsitektur masyarakat Madura yang masih lestari hingga kini adalah pola pembangunan rumah tradisional yang disebut tanéyan lanjhâng. Pola ini menggambarkan bukan hanya bentuk fisik pemukiman, tetapi juga mencerminkan filsafat hidup, nilai sosial, serta sistem kekerabatan yang kuat di kalangan masyarakat Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep.

Ciri Khas Rumah Adat Madura: Éghellâr Sapapan

Rumah-rumah tradisional Madura umumnya dibangun dengan pola éghellâr sapapan (digelar atau dipanjangkan sebaris) di sisi utara, menghadap ke selatan. Pola ini dikenal luas dengan istilah tanéyan lanjhâng, yang secara harfiah berarti “halaman rumah yang memanjang”. Dalam susunan ini, beberapa rumah keluarga disusun sejajar menghadap ke satu halaman bersama. Pola ruang seperti ini menjadi ciri utama tata permukiman di banyak desa-desa Madura.

Pola permukiman di wilayah pedesaan Sumenep secara umum tidak berbeda jauh dengan pola permukiman masyarakat pertanian Madura lainnya. Tanéyan lanjhâng biasanya tersebar di berbagai titik desa dalam kelompok kecil, bukan membentuk satu pusat besar sebagaimana lazimnya pola desa di Pulau Jawa. Setiap kelompok tanéyan lanjhâng dihuni oleh keluarga inti dan kerabat dekat.

Struktur Sosial dan Pola Kekerabatan

Jumlah keluarga dalam satu kelompok tanéyan lanjhâng sangat bervariasi, mulai dari satu hingga delapan keluarga. Berdasarkan tradisi turun-temurun, anak perempuan biasanya tetap tinggal bersama orang tuanya setelah menikah. Mereka akan membangun rumah di sisi timur dari rumah induk, sedangkan anak laki-laki cenderung keluar untuk membentuk keluarga baru di tempat lain. Tradisi ini memperlihatkan sistem matrilokal, di mana garis tempat tinggal mengikuti pihak perempuan.

Pola penempatan rumah dalam satu kompleks tanéyan lanjhâng memiliki urutan yang khas. Rumah induk (roma patobin) berada di sisi barat dan menghadap ke selatan. Di bagian barat halaman, dibangun kobhung (langgar kecil atau surau), yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat tidur anak laki-laki dewasa, serta ruang menerima tamu laki-laki. Sementara tamu perempuan biasanya diterima di serambi rumah induk.

Tata Ruang dan Simbolisme Arsitektur

Tata letak ruang dalam tanéyan lanjhâng tidak disusun secara sembarangan. Di bagian selatan halaman, terdapat dapur yang dibangun berdekatan dengan kandang sapi, simbol kesejahteraan dan sumber ekonomi keluarga. Arah dapur dan tungku juga memiliki makna filosofis. Tungku menghadap ke timur, dan yang memasak menghadap ke barat, yang dipercaya membawa keberkahan agar “bhârâng ban ékabhherkat” (barang-barang tidak cepat habis dan selalu diberkahi).

Di sebelah barat dapur terdapat sumur sebagai sumber air utama, sedangkan di sisi barat sumur dibangun pakébân (kamar mandi semi permanen). Di depan pakébân diletakkan paddhâsân, yaitu belanga atau wadah air untuk berwudu, yang disangga batu landasan dengan saluran air sederhana dari bambu. Keberadaan paddhâsân ini menunjukkan pentingnya kebersihan dan kesucian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Madura yang religius.

Keteraturan dan Pengetahuan Ruang Lokal

Pola keteraturan posisi dan proporsi bangunan dalam tanéyan lanjhâng mencerminkan pengetahuan masyarakat Madura dalam menata ruang hunian. Mereka memahami dengan baik fungsi, arah, dan makna setiap bangunan. Masyarakat Madura mengenal sejumlah istilah penting untuk menyebut bagian-bagian lahan seperti pamengkang, pakarangan, kebbhun, talon, dan tegghâl — masing-masing memiliki fungsi dan aturan tata ruang tersendiri. Misalnya, pamengkang sebagai batas tanah, pakarangan untuk pekarangan rumah, kebbhun untuk kebun tanaman, dan tegghâl untuk lahan pertanian.

Menurut Rifa’ie (2007), pembagian ruang ini menunjukkan adanya sistem penataan lahan yang sangat fungsional dan teratur, berpadu dengan kearifan lokal masyarakat dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan hidup dan pelestarian alam.

Gotong Royong: Jiwa Sosial di Balik Tanéyan Lanjhâng

Selain memiliki nilai arsitektural dan simbolik, tanéyan lanjhâng juga memperlihatkan tingkat solidaritas sosial yang sangat tinggi di antara penghuninya. Tradisi guthong rojhung ngosong lombhung (gotong royong mengangkat lumbung padi) menjadi wujud nyata kebersamaan masyarakat desa. Aktivitas seperti membangun rumah, mengangkat lumbung, hingga menanam dan memanen dilakukan secara bersama-sama tanpa pamrih.

Contohnya, di Desa Jelbudan, Kecamatan Dasuk, Kabupaten Sumenep, masih dijumpai tradisi guthong rojhung dalam kegiatan menanam sabbhrâng (ketela pohon). Pemilik lahan cukup menyediakan bu’u’, yaitu makanan dari jagung dan ketela yang dicampur parutan kelapa untuk sarapan bersama. Setelah itu, pemilik lahan memukul mata cangkul sebagai tanda dimulainya kerja, disambut oleh tetangga-tetangganya yang segera datang membantu. Dalam waktu beberapa jam, pekerjaan selesai dan semua orang ngakan saléng jhumbu’ — makan bersama dalam satu wadah besar (gâddhâng atau nyiru).

Kebersamaan semacam ini menggambarkan bahwa di balik kesederhanaan fisik rumah Madura, terdapat ikatan sosial dan emosional yang sangat erat antaranggota keluarga maupun antarwarga desa.

Tanéyan Lanjhâng sebagai Cerminan Nilai Hidup

Setiap elemen dalam tanéyan lanjhâng memiliki makna simbolik yang merefleksikan nilai-nilai budaya masyarakat Madura. Rumah yang menghadap selatan mencerminkan keterbukaan terhadap kehidupan. Langgar di sisi barat melambangkan kedekatan dengan agama, dapur di selatan menunjukkan kehangatan dan keberkahan rezeki, sementara sumur dan paddhâsân menjadi simbol kesucian dan kebersihan.

Pola ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat Madura menjaga keseimbangan antara aspek spiritual, sosial, dan ekologis. Tanéyan lanjhâng bukan sekadar tata ruang rumah, tetapi juga sistem kehidupan komunal yang menyatukan nilai religi, kekeluargaan, dan kebersamaan.

Pelestarian dan Potensi Wisata Budaya

Seiring perkembangan zaman, banyak rumah tradisional Madura yang mulai bergeser ke bentuk modern. Namun, di beberapa daerah seperti Sumenep, Pamekasan, dan Sampang, pola tanéyan lanjhâng masih bisa ditemukan dengan ciri arsitektur yang asli. Pemerintah daerah dan pemerhati budaya kini mulai berupaya melestarikan bentuk rumah adat Madura ini sebagai warisan arsitektur tradisional Nusantara.

Jika dikembangkan dengan baik, kawasan tanéyan lanjhâng berpotensi menjadi objek wisata budaya yang menarik. Wisatawan dapat belajar tentang arsitektur tradisional Madura, sistem sosial masyarakatnya, serta tradisi gotong royong yang masih terpelihara hingga kini. Selain itu, pelestarian tanéyan lanjhâng juga dapat memperkuat identitas budaya Sumenep sebagai daerah dengan warisan sejarah dan kearifan lokal yang kaya.

Tanéyan lanjhâng bukan hanya sekadar pola rumah adat Madura, melainkan cerminan filosofi hidup masyarakat Sumenep dan Madura secara umum. Ia mengajarkan tentang keteraturan, kebersamaan, gotong royong, serta keselarasan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Dalam setiap rumah yang berdiri sejajar menghadap halaman memanjang itu, tersimpan kisah panjang tentang harmoni sosial, nilai keagamaan, dan kearifan lokal yang membentuk jati diri orang Madura.

(Syaf Anton)

Diberdayakan oleh Blogger.
close