Ilustrasi: keluarga kerajaan Menurut ceritera purbakala (± tahun 78) datanglah Aji Saka dari Negeri Campa yang memperkenalkan kebudayaan Hin...

Ilustrasi: keluarga kerajaan

Menurut ceritera purbakala (± tahun 78) datanglah Aji Saka dari Negeri Campa yang memperkenalkan kebudayaan Hindu kepulau Jawa dan Madura. Pada saat itu mulai diadakan perhitungan tahun Saka dan memperkenalkan huruf: anacaraka, data sawala, padajayanya, magabatanga. artinya : dua orang pengikut Aji Saka, tersentuh dalam perkelahian, sama-sama menunjukkan kekuatan, mereka hancur lebur menjadi bangkai.

Dengan demikian setahap demi setahap kebudajaan Hindu mulai tersebar dan menurut ceritera sekaligus orang Jawa dan Madura diperkenalkan kepada agama baru ialah adanya kepercayaan terhadap : Brahma, Syiwa dan Wisynu.

Beberapa abad kemudian, diceriterakan, bahwa ada suatu negara yang disebut Mendangkamulan dan berkuasalah seorang Raja yang bernama Sanghyangtunggal. Waktu itu pulau Madura merupakan pulau yang terpecah belah, yang tampak ialah Gunung Geger didaerah Bangkalan dan Gunung Payudan didaerah Sumenep.

Diceriterakan selanjutnya bah¬wa Raja itu mempunyai anak gadis bernama Bendoro Gung. Pada sua¬tu waktu anak itu hamil dan diketahui oleh ayahnya. Ayahnya beberapa kali menanyakan, tetapi anaknya tidak tahu pula, apa sebabnya ia hamil. Raja amat marah dan dipanggillah pepatihnya yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu.

Selama Pepatih itu tidak dapat membuktikan bahwa anak itu sudah dibunuh, ia tidak boleh kembali kekerajaan. Patih Pranggulang menyanggupinya dan ia terus membawa anak Raja yang hamil itu kehutan. Pranggulang sesampainya dihutan ia terus menghunus pedangnya dan mengayunkan keleher gadis itu.

Tetapi setelah ujung pedang hampir sampai mengenai leher Bendoro Gung itu, pedang tersebut jatuh ketanah. Demikianlah sampai berulang tiga kali. Pranggulang akhirnya meyakinkan dirinya bahwa hamilnya Bendoro Gung bukanlah hasil karena perbuatannya sendiri.

Karena itu ia tidak melanjutkan untuk membunuh anak raja itu, tetapi ia memilih lebih baik tidak kembali kekerajaan. Pada saat itu ia merobah nama dirinja dengan nama Kiyahi Poleng dan pakaiannya diganti pula dengan poleng (arti poleng, ialah kain tenun Madura), Ia lalu membuat rangkaian kayu- kayu (bahasa Madura ghitek) dan gadis yang hamil itu didudukkan diatasnya, serta ghitek itu dihanyutkan menuju kepulau „Madu-oro”.

Inilah asal nama pulau Madura. Sebelum berangkat Kiyahi Poleng memesan kepada Bendoro Gung, djika ada keperluan apa- apa, supaya ia memukul-mukulkan kakinya diatas tanah/lantai dan pada saat itu Kiyahi Po¬leng akan datang untuk membantunya.

Selanjutnja „ghitek” itu terus menuju “madu-oro“ dan terdamparlah digunung Geger. Si-Gadis hamil itu terus turun.

Lahirnya Raden Sagoro.

Pada suatu saat sigadis hamil itu merasa perutnya sakit dan segera ia memanggil Kiyahi Poleng. Tidak antara lama Kiyahi Poleng datang dan ia mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan anak. Tak lama lagi lahirlah seorang anak laki- laki yang roman mukanya sangat bagus dan diberi, nama „Raden Sagoro” (sagoro = laut). Dengan demikian Ibu dan anaknya yang bernama Raden Sagoro adalah menjadi penduduk pertama dari pulau Madura.

Perahu- perahu yang banyak berlayar disekitar pulau Madura sering melihat adanya cahaya yang terang ditempat dimana Raden Sagoro berdiam, dan seringkali perahu- perahu itu berhenti berlabuh dan mengadakan selamatan di-tempat itu.

Dengan demikian tempat tersebut makin lama makin men¬jadi ramai karena sering kedatangan tamu– tamu terutama yang niatnya dapat terkabul untuk maksud – maksud kepentingan peribadinya. Selain dari pada itu pa¬ra pengunjung memberikan hadiah – hadiah kepada lbu Raden Sagoro maupun kepada anak itu sendiri. Selandjutnja setelah Raden Sagoro mentjapai umur 3 tahun ia sering bermain ditepi lautan dan pada suatu saat datanglah 2 ekor ular naga yang sangat besar mendekati dia.

Dengan ketakutan ia lari menjumpai ibunya dan menceriterakan segala sesuatu apa yang dihatnya. Ibunya merasa sangat takut pula karena itu ia memanggil Kiyahi Poleng. Setelah Kiyahi Poleng datang, Bendoro Gung menceriterakan apa yang telah dialami oleh anaknya. Kiyahi Poleng mengajak Raden Sagoro untuk pergi ketepi pantai.

Pada saat itu memang benar datanglah 2 ekor ular raksasa dan Kiyahi Poleng menyuruh Raden Sagoro supaya 2 ekor ular itu didekati dan selanjutnya supaya ditangkap dan dibanting ketanah. Setelah dikerjakan oleh Raden Sagoro maka 2 ekor ular raksasa tersebut berubah mendjadi 2 buah tombak. Tombak itu oleh Kiyahi Poleng diberi nama Si Nenggolo dan Si Aluqoro.

Kiyahi Poleng mengatakan supaya si Aluqoro disimpan dirumah saja dan si Nenggolo supaya dibawa apabila pergi berperang. Setelah Raden Sagoro berumur 7 tahun berpindahlah tempat mereka dari Gunung Geger kedekat Nepa. Didesa Nepa itu memang penuh dengan pohon nepa dan letaknya sekarang ada di Ketapang ( Kabupaten Sampang) dipantai Utara jang sekarang banyak keranya.

Selanjutnja diceriterakan, Radja Sanghyangtunggal dinegara Mendangkamulan, kedatangan musuh dari negeri Cina. Didalam peperangan tersebut Mendangkamulan berkali-kali menderita kekalahan, sehingga rakyatnya hampir musnah terbunuh.

Pada suatu malam ia bermimpi kedatangan seseorang jang sangat tua dan berkata bahwa di pulau Madu-oro (Madura) bertempat tinggal anak muda bernama Raden Sagoro. Raja dianjurkan untuk minta bantuan Raden Sagoro, jika didalam peperangan ingin menang.

Keesokan harinya Raja memerintahkan pepatihnya untuk datang ke Madu¬ra, menjumpai Raden Sagoro guna minta bantuan. Sesampainya Patih tersebut di Madura, ia terus menjumpai Raden Sagoro mengemukakan kehendak rajanja. Ibu Raden Sagoro mendatangkan Kiyahi Poleng dan minta pendapatnya, apakah kehendak Raja dikabulkan atau tidak. Ternyata Kiyahi Poleng merestui agar Raden Sagoro berangkat kekerajaan Mendangkamulan untuk membantu Raja didalam peperangan.

Raden Sagoro berangkat dengan membawa senjata si Nenggolo. Kijahi Poleng ikut serta, tetapi tidak tampak kepada orang. Sesampainya dikeradjaan Mendangkamulan terus berperanglah ia dengan tentara Cina. Begitu si Nenggolo diarahkan kepada sarang musuh, maka banyak tentara musuh tewas karena kena penjakit.

Akhirnja raja Mendangkamulan atas bantuan Raden Sagoro menang didalam peperangan dengan tentara Cina dan setelah itu Raja mengadakan pesta besar karena dapat mengusir musuhnya. Raja bermaksud mengambil Raden Sagoro sebagai anak menantunya. Ditanyakanlah kepadanya, siapa sebenarnya orang tuanya. Raden Sa,goro minta idzin dahulu untuk pulang ingin menanyakan kepada Ibunya. Sesampainja di Madura ia menanyakan kepada Ibunya siapa gerangan ayahnya.

Ibunya kebingungan untuk menjawabnya. Pada saat itu pula Ibu dan anak nya lenyaplah dan rumahnya disebut keraton Nepa. Diceritakan selanjut¬nya bahwa menurut kepercayaan orang, dua buah tombaknya (si Nenggolo dan si Aluquro) pada akhirnya, sampailah ketangan Pangeran Demang Palakaran, Raja Arosbaya. Karena itu sampai saat sekarang dua tombak tersebut menjadi pusaka Bangkalan.

Demikianlah diceriterakan adanya penduduk pertama dipulau Madura. Dari segi sejarah memang masih perlu dicek kebenarannya, tetapi ka¬rena ceritera ini kuat beredar dan menjadi legenda (dongengan) dari generasi-kegenerasi, kami anggap perlu untuk dihidangkan kepada para penggemar sejarah.

Ceritera-ceritera berikutnyapun masih juga mengandung ceritera–ceritera yang ditulis dalam buku Babad jang masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk dimasukkan didalam sejarah yang tujuannya mencari kebenaran dari obyeknya.

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Disarikan dari buku “Sedjarah Madura Selajang Pandang”, Drs. Abdurrahman (cet. II, aumatic the sun smp,Sumenep 1971, hlm.1-4)

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Labang Mesem, pintu masuk keraton Sumenep Kalau ada perintah mendadak misalnya Raja mau melakukan perjalanan jauh untuk mengantar sakedan ke...

Labang Mesem, pintu masuk keraton Sumenep

Kalau ada perintah mendadak misalnya Raja mau melakukan perjalanan jauh untuk mengantar sakedan ke Pamekasan, Kabajan lalu dimintai bantuan (tondan). Semestinya tondan ini dimintakan kepada Menteri yang memiliki Desa karena merekalah yang memiliki kewajiban membayar uang tondan meskipun besar-kecilnya tergantung pada luas Desa yang dimilikinya. Setelah Kabajan menerima perintah ia lalu mendatangi para Menteri utnuk menagih uang tondan itu.

Kalau uang sudah diperoleh apalagi kalau si Kabayan memiliki jiwa nakal maka lalu berdiri dia dipinggir jalan. Setiap orang yang dengan kudanya lewat dicegatnya. Kuda tersebut lalu diminta untuk dijadikan sebagai tondan. Tetapi kebanyakan orang yang punya kuda lebih suka membayar pengganti dengan uang. Uang itu kemudian dibuat ongkos untuk menyewa kuda terhadap orang kota yang memilikinya atau kalau tidak mendapatkan kuda sewa maka diserahkanlah uangnya saja. Sehingga banyaknya ongkos yang dihabiskan untuk penunggang kuda hampir sama besarnya dengan ongkos sewa seekor kuda.

Kalau ada seorang berpangkat Palekkat yang nakal dan kebetulan ia tak punya uang maka ia lalu duduk dipinggir jalan. Ia mencari barang-barang berat yang sedang diletakkan oleh si empunya dipinggir jalan itu. Kalau tak ada maka lalu pergi ke Pabian dan disana ia lalu duduk diatas balok-balok kayu. Kalau ada yang lewat maka dicegatnya. Orang tersebut lalu disuruhnya memikul balok itu ke keraton dan dikatakannya bahwa balok kayu itu adalah kepunyaan Raja yang sekarang sedang diperlukan.

Bagi orang yang disuruh mengangkut balok kayu itu sudah tentu punya perhitungan lain sehingga dengan rela ia kemudian membayar uang kepada Palekkat sebagai sumbangan ongkos pengganti upah bagi orang lain yang akan ditugaskannya. Setelah si Palekkat mendapat sejumlah uang sebagaimana yang diinginkan kemudian ia pulang. Sedangkan Kabajan demikian pula kerjanya. Kalau ada orang lewat sedang membawa kuda maka kudanya diminta untuk dijadikan tondan.

Sebelum negara Sumenep diperintah Gupermen kalau datang musim petik kelapa sering diadakan pesta keramaian di alun-alun yang dinamai Sennen (Sodoran). Pemainnya terdiri dari para Pangeran, Tumenggung, Aria, Menteri dan para Panji. Didalam bermain Sennen mereka semuanya  menunggang kuda dan memegang Salodur (semacam galah terbuat dari kayu Solor yang kenyal).

Panjang Salodur empat depa dan diujungnya diberi pentul serta sedikit hiasan  (semacam jambul). Pakaian para pemainnya adalah bercelana yang dibawahnya memakai pasmen, mengenakan rompi motif batik dan memakai ikat pinggang pasmen yang diberi hiasan jambul sedikit.

Untuk para Menteri dilarang memakai rompi Reres atau Tarpote. Memakai kolo, keris, tanpa baju pupur (bedak) kuning serta memakai Gajang Oleng (model odheng). Kalau ia Menteri Utama (Kakase) memakai gelang serta kalung yang terbuat dari rangkaian bunga melati. Setelah siap kemudian mereka diarak berkeliling alun-alun sebanyak tiga kali. Kuda tunggangannya dijalankan pelan-pelan (epaserek,mad.) sedangkan Salodur-nya dipegang bagian tengahnya dalam posisi melintang. Setelah itu para peserta lalu diadu sepasang-sepasang sambil diiring bunyi tetabuhan Sennen namanya.

Dikatakan demikian karena tetabuhan ini memang khusus dibunyikan tiap hari Senin. Tetapi Pangeran Pakunataningrat pernah dilarang dan didenda oleh Kabajan karena tidak diperbolehkan nonton Sennen berlama-lama, sehingga kemudian ia pulang ke keraton. Uang dendanya kemudian dibagi-bagikan oleh Kabajan kepada teman-temannya yang ada disitu.


TAMMAT.

    

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Ilustrasi: Antrian masyarakat saat membayar pajak Yang dimaksud dengan Pajak Pasangan adalah Pajak tetap. Jadi Pajak ini tidak boleh dinaikk...

Ilustrasi: Antrian masyarakat saat membayar pajak

Yang dimaksud dengan Pajak Pasangan adalah Pajak tetap.

Jadi Pajak ini tidak boleh dinaikkan atau diturunkan seenaknya meskipun tanaman diatas tanah itu subur atau tidak. Pajak ini mesti dibayar.

Tumbuh-tumbuhan lainnya sepeti kelapa dan siwalan tidak terkena pajak sebab pajak tumbuhan tersebut sudah dimasukkan kepada pajak tanah.

Yang dimaksud dengan Pajak Tekasan adalah Pajak yang mengikuti luas lahan tanam. Aturannya seperti dibawah ini sebagaimana denah yang terbagi.

a. Salepean, dengan lebar satu depa ini dimiliki yang punya tanah.
b. Tekasan, dimiliki yang punya Desa.
c. C, D, E dimiliki yang punya tanah.

Desa yang mengenakan Pajak Tekasan sangat kentara. Meski penduduk baru sekalipun ia akan segera mengerti kalau desa itu menarik Pajak Tekasan. Tanaman yang subur hanya akan kelihatan terletak dipinggir-pinggirnya saja karena disana sang empunya tanah memang rajin memupuk tamannya sedangkan dibagian lainnya yaitu dilahan Salepean.

Penggarap tanah yang begitu jelas tak berpikir panjang sebab tindakannya itu bisa merugikan dirinya sendiri mengingat bagian lahan yang peruntukkan bagi pemilik desa (Tekas) hanya kecil saja (seperempat bagian). Meskipun tanaman yang berada ditengah lahan tumbuh subur dan hasil yang diperolehnya nanti akan banyak namun akhirnya akan terbagi juga dalam perhitungan pajak tekasan.

Kemudian yang dinamakan Pajak Dangal adalah pajak yang dikenakan pada saat tanaman akan dipanen.

Pemilik harus melapor kepada yang berwenang yaitu seorang yang menjadi kuasa Menteri yang memiliki Desa. Orang itu lalu mendatangi lokasi dimana tanaman itu akan dipanen. Kemudian dia ikut pula mengawasi bahkan baru pulang kalau kegiatan panen sudah selesai.

Yang berwenang itu lalu menaksir hasil panen yang diperoleh serta menentukan besar kecilnya Pajak Tekasan yang harus dibayar. Terkadang mereka terlibat tawar-menawar seperti dipasar layaknya.

Kalau yang berwenang merasa kurang puas atas bagiannya maka ia memutuskan supaya yang punya tanah membawa hasil Tekasan itu ke Kota. Karena itu yang punya tanah tentu saja lebih rela membayar uang Tekasan meskipun lebih mahal dan  ini sudah dianggap sebagai kebiasaan yang lumrah.

Dari pada ia harus repot membawa hasil Tekasan ke Kota yang bisa memakan waktu dan ongkos banyak maka ia lebih rela membayarnya ditempat meski sedikit lebih mahal.

Pajak tanaman lain selain kelapa dan siwalan aturannya ada tiga pula yaitu :

a. Pajak Pasangan.
b. Pajak Dangal yang aturannya sama seperti pajak tanah.
c. Pajak Tekasan dikenakan pada buah-buahan seperti Nangka, Mangga, Sukun dan sebagainya hasilnya dibagi empat.

Satu bagian untuk Menteri yang memiliki Desa, sedangkan selebihnya untuk si empunya.

Pohon kelapa aturannya dihitung tiga-tiga. Dari hitungan satu sampai tiga diberi tanda dan ini adalah hak yang memiliki Desa. Pemilik Desa memang lumrah kalau ia memilih pohon kelapa yang berbuah lebat. Kalau pohon kelapa itu kurang dari tiga jumlahnya maka tidak dibenarkan untuk dipajaki. Kalau lebih empat atau lima itu dianggap satu dan kalau enam dianggap dua demikian seterusnya.

Kalau yang dibagikan itu masih bersisa maka pohon tersebut kena pajak berupa uang yang besarnya ditentukan sendiri oleh desa-desa yang bersangkutan. Paling murah Pajaknya dua puluh duit tetapi yang lumrah duapuluh dua duit. Ada juga yang pajaknya setalen setahun tiap satu pohon.

Peraturan Tekasan untuk pohon siwalan sama saja dengan pohon kelapa tetapi pembagiannya bukan untuk yang punya desa. Pambagian itu di hak-kan pada para Pangeran. Pembagian itu bisa dijual lagi oleh Pangeran yang memiliki kepada rakyat yang mampu membelinya.

Kedelapan. Kuasa Menteri terhadap harta orang-orang yang ada didesanya seperti miliknya sendiri.

Kalau Menteri datang ke Desa yang di kuasainya maka kalau ia melihat sesuatu yang disukainya langsung dia minta dan diambilnya. Seperti pisang, ayam jago dan lain-lainnya bahkan sang empunya pula yang diminta untuk mengantarkan kerumah si Menteri. Bisa jadi si empunya barang kalau nanti sampai dirumah si Menteri masih disuruh-suruh seperti kerja membelah kayu, nyabit rumput, menimba air dan sebagainya.

Maka itu ada ungkapan orang-orang Sumenep yang bunyinya : Jangan menanam pohon pisang dihalaman rumah dan jangan pelihara ayam jago karena akan mencelakakan dirinya sendiri.

Digambarkan demikian karena kalau kebetulan sang Menteri menginginkannya maka selain barangnya diambil, orangnya-pun akan disuruh membawanya ke kota. Setelah disana masih disuruh-suruh kerja lagi. Disaat-saat bulan Ruwah, Maulud atau kalau sudah hampir Lebaran orang-orang desa diharuskan membawa oleh-oleh berupa hasil bumi untuk Menterinya. Seperti Ayam, Kayu bakar, Terong, Kelapa dan sebagainya dan termasuk Para Kepala Desa juga minta bagian oleh-oleh seperti itu pada magarsarinya (penduduknya). Hasilnya lalu dibelikan kambing untuk diberikan kepada Menteri.

Kesembilan. Diceriterakan bahwa ada lagi punggawa Raja berpangkat Palekkat.

Atasan langsung Palekkat ini namanya pangkat Somendi dan atasannya lagi bernama Ajek Palekkat. Tugas dan kewajiban Palekkat ini selain memindah dan mengangkut barang, juga sebagai tukang bambu seperti membuat gedek, tusuk sate dan semacamnya.

Karena itu kalau ada keramaian di Keraton seperti ada peristiwa kelahiran dan pesta lainnya yang perkakasnya banyak memakai bambu, Ajek Palekkat memerintahkan Somendi-nya untuk membuat tusuk sate, penjepit bambu, biting dan sebagainya. Kalau ada kelahiran mereka ditugasnya membuat sangkar tembuni (ari-ari) yang dibentuk rumah-rumahan yang lebar dan panjangnya sekitar tiga perempat meter dan tingginya setengah meter.

Somendi memerintahkan Palekkat tetapi Palekkat tidak bisa melakukan tugas itu karena akan ke desa-desa untuk mencari bambu yang jauhnya kira-kira tiga kilometer dari Kota. Setiap orang yang punya pohon bambu dimintainya masing-masing sebatang oleh Palekkat dan yang punya sekaligus disuruhnya mengantarkannya ke Kota. Karena itu pada umumnya para  pemilik bambu lalu banyak yang membayar uang yang besarnya seharga sebatang bambu. Kalau bambu sudah dapat banyak maka lonjoran batang bambu itu ditumpuknya ditepi jalan.

Setiap orang desa yang kebetulan lewat dijalan itu kemudian diperintahkannya untuk membawa bambu-bambu itu ke keraton. Tapi lagi-lagi banyak orang tidak mau dan menggantinya dengan uang. Jumlah besarannya tak tentu, ada yang hanya mampu membayar lima duit, tiga duit atau segubang. Kalau diantaranya ada yang tidak mampu bayar maka orang itulah yang diberi kewajiban memikul bambu ke keraton. Kalau sudah tak mendapatkan orang lagi yang mau mengangkutnya maka mereka akan menyuruh temannya atau dipikulnya sendiri.
Kesepuluh. Ada lagi bawahan Raja yang berpangkat Kabajan.

Atasannya bernama Somendi Kabajan dan atasannya lagi bernama Ajek Kabajan. Ajek Kabajan ini memiliki kewenangan untuk memerintah Pangeran, para putera Raja atau Menteri. Setiap perintah Raja terlebih dulu melewati Patih dan dari Patih, baru ke Ajek Kabajan. Dari Ajek Kabajan terus ke Somendi Kabajan kemudian ke Kabajan dan dari Kabajan kemudian ini pesan itu disampaikannya kepada orang-perorang. 

(bersambung)

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Pangeran Pakunataningrat kemudian mengikuti anjuran yang diberikan Residen itu dan kemudian banyak punggawa yang diberhentikan sedangkan jat...


Pangeran Pakunataningrat kemudian mengikuti anjuran yang diberikan Residen itu dan kemudian banyak punggawa yang diberhentikan sedangkan jatah desa atau sawah yang diberikan sebagai upah kepada mereka dicabut.

 

Tak lama kemudian ada lagi saran dari atasannya yang minta dipertimbangkan menyangkut hasil dari desa-desa dan hasil yang diperoleh dari tanah bengkok para Menteri. Dari itu kemudian banyak para Menteri yang bingung setelah diadakan pendataan karena belum tahu maksudnya.

 

Banyak dari mereka yang melaporkan tanah bengkoknya kecil dengan maksud agar supaya jatah tanah mereka tidak dicabut. Sedangkan yang lain setuju kalau dilaporkan jatah tanahnya luas dengan maksud supaya haknya tidak disatukan dengan tanah bengkok para Menteri dan Punggawa lainnya.

 

Dengan kacaunya pelaporan itu maka data yang diberikan oleh para Menteri dalam rangka penyelenggaraan (semacam) sensus itu menjadi tidak akurat dan bahkan bisa dikatakan semua laporan yang diberikan tidak dilandasi kejujuran (bohong). Setelah pendataan selesai Tuan Residen Krenor kemudian ambil cuti dan pulang ke negerinya di Belanda.

Pada tahun 1881 Masehi di Sumenep diadakan Landmeter atau pengukuran tanah di desa-desa dan sawah-sawah di wilayah Afdeling Sumenep terus kedaerah kepulauan. Sampai tahun 1884 Masehi negara Sumenep diatur oleh Gupermen dan dari sejak itu Kanjeng Gupermen mulai menarik pajak perseorangan (uang kepala) serta pajak tanah dan bangunan (nereng).

 

Desa yang diberikan kepada Menteri kemudian dicabut dan diganti dengan semacam uang jasa yang kemudian lebih dikenal dengan istilah uang Onderstand. Pemberian uang Onderstand kepada orang-perorang masing-masing disesuaikan dengan data laporan yang masuk. Kalau laporan yang disampaikannya kecil maka Onderstand yang akan diterimanya akan kecil juga.

 

Dari itu para Menteri yang melaporkan tanah bengkoknya kecil kemudian banyak yang menyesal dan kecewa.

 

Aturan yang dilakukan Gupermen seperti itu konon banyak menarik keuntungan. Sebab sebelum diatur demikian negara Sumenep mempunyai aturan sendiri sebagaimana berikut ini :

 

Pertama. Para kepala Desa mengabdi kepada Menteri yang memiliki Desa.

 

Tetapi dalam hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan menanggulangi masalah terutama yang menyangkut masalah kriminalitas (Kepolisian), mereka (Kepala Desa) menjadi abdi Wedana atau Towedi (Asisten Wedana).

 

Para Menteri yang memiliki Desa berkuasa memecat Kepala Desa yang dianggapnya tidak cakap. Terkadang dalam satu desa bisa terjadi pergantian sebanyak tiga kali dalam setahun.

 

Kepala Desa ini tidak dipilih oleh rakyat melainkan ditentukan oleh Rijksbestuurder atau Wedana dan Towedi. Surat ketetapannya (Bisluit) dikeluarkan oleh Rijksbestuurder dengan nama Instruksi.

 

Yang bisa ditandai secara gamblang oleh rakyat misalnya si Fulan telah menjadi Kepala Desa yaitu kalau Kentongan yang sebelumnya berada di rumah Kepala Desa yang diberhentikan atau yang berhenti kemudian dipindah kerumah Kapala Desa yang baru dan disitu Kentongan tersebut dibunyikan.

 

Kentongan itu adalah sebagai pelengkap dari Instruksi.

 

Kedua. Kalau ada kecelakaan atau pencurian disuatu kampung maka sejumlah tetangga yang dekat dengan tempat kejadian akan dijadikan sebagai saksi.

Karena orang-orang dulu banyak yang takut menghadapi perkara maka mereka lalu membayar kepada Kepala Desa karena takut dijadikan sebagai saksi tadi. Pembayaran uang seperti itu disesuaikan dengan kemampuan dan macam perkaranya.

 

Kalau ada seorang calon saksi yang tak mau membayar maka ia akan dijadikan pesakitan karena diduga berkomplot dengan maling dan ia disangka menyembunyikan barang bukti dan lain-lain sehingga mereka kemudian dibuang (diasingkan).

 

Maka itu rakyat kecil kemudian memilih jalan terbaik yaitu membayar dengan uang meskipun mereka menderita.

 

Ketiga. Kalau Raja akan mengadakan Pesta misalnya mengawinkan putera atau puterinya, nyunat atau tusuk kuping (Noddu’=Mad.) maka satu bulan sebelum penyelenggaraan para Kepala Desa memerintahkan kepada seluruh magarsarinya (penduduk) untuk mengirimkan kesenian kekota.

 

Terhadap orang yang tidak mau ikut diperintahkan untuk membayar uang pada Kepala Desa. Uang itu disebut uang pesangon yang besar-kecilnya disesuaikan dengan kemampuan si pembayar.

 

Para Towedi dan Menteri juga menyediakan sesembahan keramaian sendiri-sendiri seperti mereka berpakaian layaknya pengantin seperti ; berkolo (topi model pengantin Jawa=Kulu), berbedak atau berpupur kuning sebadan, berompi warna jingga, memakai ikat pinggang pasmen tanpa baju sambil menunggang kuda dengan iringan tetabuhan.

 

Mereka membawa perlengkapan sendiri seperti kentongan, angklung, saronen, terbang (rebana) dan sebagainya. Karena itu kalau ada perayaan di Keraton pengiringnya jadi beribu-ribu orang banyaknya.

 

Keempat. Kalau ada perintah negara yang berkenaan misalnya dengan membangun tambak, membuat jalan dan sebagainya Kepala Desa lalu memerintahkan magarsarinya untuk terlibat.

 

Kalau diantara mereka ada yang tidak hadir maka ia harus membayar kepada Kepala Desanya.

 

Kelima. Palabang (uang kepala) satu orang, Satu Riyal Setalen Sembilan Duit atau sama dengan F. 2.32,50. Uang itu diserahkan kepada Raja semuanya.

 

Pembayaran pajak yang lain adalah Palabang Kacang (minyak kacang), Sirap (atap sirap), Sabuk (otep), Bulanan (Kemmet tiap bulan).

 

Keenam. Sandung Pekol = Gabba’an (aturan Herendienst) yang rinciannya adalah :

 

1. Janda yang beranak kecil laki-laki (Randha Calo’ Kene’) yaitu ; kalau ada janda yang memiliki anak laki-laki tapi masih kecil hanya membayar uang bunto’ cere’ sebiting yang besarnya sama dengan 7,50 duit. Kalau anaknya sudah dewasa tapi belum beristeri harus membayar F. 2.32,50.


2. Janda Leles yaitu, kalau ada janda memiliki anak perempuan tetapi masih kecil atau sudah dewasa tidak ditarik uang apa-apa kecuali hanya dikenai uang pengaca setiap tahun yang besarnya segubang = 2 duit.


3. Janda Mango’ adalah janda yang tidak memiliki anak. Kepadanya hanya ditarik uang pengaca yang besarnya seduit.


4. Janda Monyeng yaitu janda yang tidak memiliki anak tetapi kaya. Kepada mereka harus membayar lunas F. 2.32,50.


5. Duda Calo’ yaitu duda yang memiliki anak laki-laki. Walaupun anaknya sudah dewasa ia hanya membayar uang bunto’ cere’ ( sama besarnya sebagaimana pada huruf A). F.


6. Duda Monyeng yaitu duda yang tidak beranak tetapi kaya. Kepadanya diwajibkan membayar lunas F. 2.32,50.


7. Duda Leles yaitu duda yang memiliki anak perempuan. Kalau anaknya masih kecil hanya membayar uang bunto’ cere’ tetapi kalau sudah dewasa harus membayar lunas F. 2.32,50.


8. Duda Mango’ yaitu duda yang tidak memiliki anak. Duda ini luput dari beaya semuanya hanya membayar uang pengaca sebanyak seduit.

 

Sebagai tanda bahwa anak si janda atau si duda sudah dianggap besar, apabila lengan sebelah kanan si anak dikalungkan lewat atas kepalanya dan tapak tangannya bisa menutup kuping yang sebelah kiri maka yang demikian anak tersebut dianggap telah dewasa.

 

Ketujuh. Pajak yang dikenakan terhadap hasil bumi rakyat ada tiga macam. Meskipun ditiap-tiap desa berbeda-beda seperti :

 

1. Pajak Pasangan,
2. Pajak Tekasan
3, Pajak Dangal. Pajak ini adalah hak para Menteri yang punya desa.

Bersambung  ........

 

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Setelah Sultan Pakunataningrat I wafat ia digantikan oleh puteranya yaitu Panembahan Natakusuma III. Tak lama kemudian Panembahan Natakusuma...


Setelah Sultan Pakunataningrat I wafat ia digantikan oleh puteranya yaitu Panembahan Natakusuma III. Tak lama kemudian Panembahan Natakusuma III sakit lumpuh dan yang menjadi kuasa dalam menjalankan pemerintahannya kemudian adalah puteranya yang bernama Pangeran Suryingrat (Pangeran Suring) berpangkat Kolonel.

Setelah Panembahan Natakusuma III sepuh, pemerintahan di Sumenep diambil alih oleh Residen Madura dan diperintahkan untuk memakai Lid Komisi. Sedangkan yang menjadi anggota Lid Komisi adalah :

1. Pangeran Aria Suryingrat.
2. Pangeran Aria Sutyaamijaya.
3. Pangeran Aria Suryaadiputra.
4. Pangeran Aria Mangkudiningrat.
5. Pangeran Aria Suryakusuma.

Komisi ini juga menyertakan seorang Administrateur Belanda bernama L’Andri yang memegang penghasilan negara Sumenep serta seorang kasir dari Belanda bernama Tuan Miyer.

Beberapa waktu kemudian Pangeran Aria Sutyingrat (Pangeran Suring) meninggal dunia. Dalam tahun 1873 Masehi seorang putera dari Panembahan Natakusuma III yang bernama Pangeran Aria Mangkudiningrat berpangkat Letnan Kolonel pada saat itu kebetulan sedang berperang ke Aceh. Setibanya dari Aceh ia lalu diangkat menjadi kuasa untuk menjalankan pemerintahan menggantikan Pangeran Aria Suryingrat.

Diceriterakan bahwa Panembahan Natakusuma III itu buta (tidak memahami) dalam hal nilai yang tertera dalam mata uang. Misalnya ada orang yang menawarkan sesuatu barang dengan harga tiga riyal = F.6,- lalu ia berkata begini : Itu terlalu mahal bagiku dan kalau boleh kubeli saja barang itu dengan harga sekampil = F.20,- Maka dari itu banyak para pedagang yang senang, terutama orang-orang Arab. Mereka sangat gemar menjual barang dagangannya kepada Panembahan ini untuk mendapatkan untung dan kekayaan yang banyak.

Kemudian pada masa Pangeran Aria Mungkudiningrat memegang kuasa Panembahan maka diberlakukan aturan untuk orang-orang Arab dilarang memasuki Keraton sebelum mendapat ijin terlebih dahulu darinya. Sebab pada kebiasaannya dahulu orang-orang Arab yang memiliki kedekatan hubungan dengan Panembahan kalau masuk Keraton selalu membawa barang dagangannya.

Setelah mereka bertemu Panembahan barang dagangan itu lalu ditawarkannya. Mereka memuji-muji barang yang ditawarkannya sebagai barang-barang yang mahal dan langka. Seperti misalnya mereka mengambil barang dengan harga F.10, lalu dikatakannya berharga F.300. Karena Panembahan tidak paham terhadap nilai uang maka kalau barang itu cocok dengan seleranya akan dibelinya sesuai dengan harga yang ditawarkan si pedagang.

Diceriterakan pula bahwa setelah lama Panembahan Natakusuma III memangku jabatan sebagai Panembahan kemudian ia diganjar pangkat Kolonel. Beberapa saat kemudian ia diberi lagi penghargaan berupa bintang jasa Ridder van den Nederlandse Leeuw. Tetapi sejak ia sakit lumpuh maka pakaian ke Kolonelannya tidak ia pakai.

Misalnya kalau ada tamu pembesar seperti Kolonel, Residen, atau menghadiri pesta, ia hanya memakai pakaian sehari-hari saja sedangkan pakaian kebesarannya ia letakkan diatas nampan (talam=Mad.) dan ditaruh disisinya. Pedangnya ia ikatkan ke pinggangnya. Keturunan laki-laki dari Panembahan Natakusuma III ini adalah :

1. Raden Aria Tirtanagara.
2. Raden Aria Prawiringrat.
3. Pangeran Aria Suryingrat (Pangeran Suring).
4. Pangeran Aria Mangkudiningrat (Pakunataningrat) Bupati Sumenep.
5. Raden Aria Sutyakusuma.
6. Raden Aria Pratalikusuma.
7. Raden Aria Gandakusuma.
8. Raden Aria Gandadiwirya.
9. Raden Aria Sasrawinata.
10. Raden Aria Tirtadiningrat.
11. Raden Aria Prawiradiningrat.
12. Raden Aria Mangkudiningrat.
13. Raden Ahmad.
14. Raden Aria Prawiranagara.
 

Putera perempuannya adalah :
1. Raden Ayu Aria Kusumanagara.
2. Raden Ayu Aria Candrakusuma.
3. Raden Ayu Jayengtilam.
4. Raden Ayu Aria Suryaningprang (Mayor).
5. Raden Ayu Tumenggung Aria Atmajanagara (di Pekalongan).
6. Raden Ayu Aria Mangkuadinagara.
7. Raden Ayu Aria Cakrakusuma (1).
8. Raden Ayu Cakrakusuma (2) [1 meninggal diganti dengan 2].
9. Raden Ayu Aria Pakunagara.
10. Raden Ayu Aria Kusumawerdaya.
11. Raden Aru Aria Natakusuma.

Sepeninggal Panembahan Natakusuma III yang menggantikan kedudukannya adalah Pangeran Aria Mangkudiningrat. Pada saat itu Raden Tumenggung Aria Mangkukusuma mampunyai kasus dan dipanggil ke Surabaya. Disana perkaranya diputuskan dan ia diberhentikan dari kedudukannya sebagai Patih. Untuk penggantinya diangkat Raden Aria Jayengrana.

Pada saat Pangeran Aria Mangkudiningrat mau diangkat sebagai Bupati Sumenep, Patih Raden Aria Jayengrana mengundurkan diri dan digantikan oleh Raden Panji Adikara dari Pamekasan. Raden Panji Adikara ini meninggal di Sumenep.

Setelah lima tahun lamanya Raden Aria Mangkudiningrat mewakili Panembahan maka ia lalu diangkat sebagai Bupati dengan gelar Pangeran. Tak lama kemudian namanya berobah menjadi Pangeran Aria Pakunataningrat II dengan pangkat Kolonel titular (Kolonel Tituleire) dalam Dinas Korps Komandan Barisan dan mendapatkan bintang Willems Orde.

Raden Adipati Paringgalaya meninggal pada 1784 tahun Jawa atau 1272 tahun Arab dan dikebumikan dalam cungkup yang terletak disebelah timur cungkup makam Kanjeng Kiai Adipati Suraadimanggala. Tugas-tugas selanjutnya digantikan oleh puteranya yaitu Raden Tumenggung Aria Mangkukusuma berpangkat Rijksbestuurder. Orang ini selanjunya terlibat perkara (kasus) sehingga menjadikan ia dipecat dari jabatannya. Setelah Raden Tumenggung Aria Mangkukusuma meninggal pada tahun 1885 Masehi dia dimakamkan dalam cungkup Raden Adipati Pringgalaya.

Panembahan Natakusuma III meninggal pada tanggal 4 bulan Jumadilakhir 1296 tahun Arab atau 1808 tahun Jawa, dikuburkan dalam cungkup Sultan tepat disebelah timurnya. Selanjutnya diceriterakan bahwa Residen Madura yaitu Tuan Krenor suatu hari mengadakan kunjungan ke Pangeran Aria Pakunataningrat II.

Dalam pembicaraannya Residen berkata begini : Pangeran, sebetulnya para Menteri dan Punggawa yang ada disini mana banyak jumlahnya dengan di Pamekasan ? Pangeran Pakunataningrat secara terus terang memberitahu sejujurnya dengan menunjukkan buku catatan yang ada.

Residen Madura kemudian merasa keberatan setelah membaca jumlah yang tertera dalam catatan yang disodorkan Pangeran lalu ia berkata : Itu terlalu banyak. Pangeran : Kami mencatat ini sudah sesuai dengan peraturan dari dahulu. Residen : Tampaknya kurang perlu Tuan mengangkat Menteri dan Punggawa terlalu banyak karena semua ini akan merugikan tuan sendiri. Apalagi sekarang Tuan masih berpangkat Pangeran.

Kalau masih bisa dipertimbangkan lebih baik dikurangi. Kapan-kapan kalau Tuan telah menyandang pangkat Panembahan maka Tuan bisa menambah jumlah punggawa lagi. Ini hanya saran kepada Tuan karena kita bersahabat. Bagi kami tidak ada sesuatu yang bisa kami balaskan atas jasa dan kebaikan Tuan pada kami selain hanya ikut memberi pandangan demi kebaikan bersama mengatur negara. (bersambung)



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Ilustrasi Setelah Ki Mangon meninggal Inggris tidak menduduki Sumenep karena  tak lama kemudian Madura diserahkan kembali oleh Inggris kepad...

Ilustrasi

Setelah Ki Mangon meninggal Inggris tidak menduduki Sumenep karena  tak lama kemudian Madura diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda (Penyerahan tanah Hindia tahun 1816 Masehi).

Disebutkan bahwa Panembahan Somala wafat pada tanggal 2 bulan Maulud 1230 tahun Arab, atau 1743 tahun Jawa dan jenazahnya dikubur disebuah cungkup yang dinamakan orang Sumenep sebagai Astaraja atau lazim disebut cungkup Sultan. Sesudah Panembahan Somala wafat, Pangeran Natanagara saling berebut dengan saudara tuanya (kakaknya) untuk menduduki tahta kerajaan.

Saudara tuanya yaitu Pangeran Nataningrat (Pangeran Panggung) berkata pada adiknya katanya : Dik, kalau nanti kamu jadi Raja maka jangan kau hiraukan anakku. Begitu juga kalau aku berhasil menjadi Raja maka anak-anakmu tak akan aku hiraukan juga. Pangeran Natanagara : Duh, kanda adik tak pernah menyiratkan maksud seperti itu. Bahkan dinda menginginkan kalau dinda nanti menjadi Raja akan adik tolong putera kakanda. Sebab kalau keluarga dinda atau kakanda menderita sudah tentu kita semua akan mendapat malu.

Karena Pangeran Panggung lebih tua maka rakyat Sumenep cukup segan padanya apalagi disangka dia yang akan diangkat menjadi Raja.

Kemudian pada saat itu Pangeran Panggung mengeluarkan perintah bahwa : Seluruh batas dan lorong-lorong yang menuju keluar kota dijaga. Kalau ada punggawa terutama punggawa dari Pangeran Natanagara (adiknya) ia perintahkan untuk ditangkap dan kalau mengadakan perlawanan diperintahkan untuk dibunuh. Penjagaan ini dimaksudkan untuk mencegah supaya tak seorangpun dapat lolos ke Semarang untuk melaporkan keadaan.

Namun pada saat itu konon ada seorang Menteri dari pihak Pangeran Natanagara bernama Kiai Bajulaksana yang sanggup dan berani menerobos penjagaan itu dengan cara menyamar untuk memberitahu keadaan negara Sumenep ke Semarang. Dari itu Pangeran Natanagara lalu menulis surat yang ditujukan kepada Hooft Regent di Semarang yaitu Kanjeng Kiai Adipati Suraadimenggala.

Setelah itu surat dimaksud diserahkan kepada Kiai Bajulaksana dan berangkatlah sang Menteri dengan menyamar sebagai orang peminta-minta. Ia berhasil lolos keluar dari kota dan sesampainya di Semarang surat itu diserahkannya langsung kepada Kanjeng Kiai.

Kiai Adipati Semarang yang masih sepupunya tetapi kemudian dijadikan mertua oleh Pangeran Natanagara ini menjadi pembesar ditanah Jawa dengan pangkat Dellir. Pangeran Natanagara selanjutnya berhasil diangkat sebagai Bupati Sumenep pada 1743 tahun Jawa. Karena jasa-jasanya Kiai Bajulaksana selain diberi hadiah berupa sebuah desa Tempe’ (sekarang desa Tambaksari), ia juga diangkat sebagai Menteri Utama yang selalu dituruti apa permintaannya oleh Pangeran Natanagara.

Tak lama kemudian Tuan Mester Raffles (berpangkat Letnan Gubernur dan menjadi Gubernur dari tahun 1811 sampai tahun 1816 Masehi) datang ke Sumenep dan mengangkat Pangeran Natanagara menjadi Panembahan Natakusuma II. Setelah tanah Jawa dikuasai Belanda (pada jaman pemerintahan Baron Van der Capellen di tahun 1816 sampai tahun 1819 Masehi. Van der Capellen ini berpangkat Komisaris Jenderal bersama Elout dan Buijskes dimana saat itu tanah Jawa tidak ada Gubernur Jenderal atau Lentan Jenderalnya.

Tetapi pada tahun 1819 Van der Capellen lalu diangkat menjadi Gubernur Jenderal sampai pada tahun 1826 Masehi). Tuan Van der Capellen menjadi Gubernur Jenderal di Jawa pada 1744 tahun Jawa dan Panembahan Natanagara diangkat menjadi Adipati Natakusuma II.

Pada 1752 tahun Jawa Panembahan Adipati Natakusuma II kemudian diperintahkan berperang ke Selebes (Sulawesi) bersama Jenderal Van Hien dengan membawa bala tentara cukup banyak dari Sumenep. Dalam peperangan itu Selebes dapat ditaklukkan. Setelah tujuh bulan lamanya Panembahan Adipati Natakusuma II ini ada di Selebes ia lalu pulang ke Sumenep.

Masih baru dua hari di Sumenep kemudian dia dipanggil lagi ke Semarang bersama bala tentaranya dan diperintahkan berperang melawan Pangeran Dipanagara di di Yogyakarta. Ia bersama Jenderal Mayor Van Hien menumpas pemberontakan Pangeran Dipanagara ini pada tahun 1825 Masehi. Setelah selama dua bulan di Yogyakarta ia lalu dipanggil lagi oleh Gubernur Jenderal Van der Capellen ke Betawi.

Disana ia diangkat lagi menjadi Sultan Pakunataningrat I. Setelah kembali dari Betawi ia kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan peperangan dengan Pangeran Dipanagara. Sampai lima tahun lamanya Pangeran Dipanagara baru bisa ditangkap dan dibawa ke Sumenep.

Tetapi karena di Sumenep Pangeran Dipanagara tak henti-hentinya melakukan tapa dan sering melakukan ziarah serta suka bermalam di Asta-Asta (makam-makam keramat) maka kemudian oleh Gupermen ia dipindahkan ke Manado pada tahun 1830 Masehi.

Beberapa lama kemudian Sultan Pakunataningrat I mendapat ganjaran bintang Commendeur der orde van den Nederlandse Leeuw dan ia diangkat lagi sehingga berpangkat Jenderal Mayor.

Setelah itu Kiai Adipati Semarang lalu meminta perlop (cuti) dan bersama keluarganya pulang ke Sumenep sampai wafatnya. Ia meninggal pada tanggal 25 bulan Haji 1242 tahun Arab atau 1755 tahun Jawa dan jazadnya dimakamkan di Asta Tinggi dalam sebuah cungkup genteng sebelah kanan jalan menuju Asta Sultan.

Putera-putera Kiai Adipati Suraadimenggala yang ada di Sumenep : 


1. Raden Ayu Sultan Sumenep.
2. Raden Adipati Pringgalaya (Rijksbestuurder, Patih di Sumenep).
3. Raden Panji Mertasura.
4. Raden Panji Mertapura.
5. Raden Panji Mertakusuma.
6. Raden Gandasasmita.
7. Raden Mertawijaya.
8. Raden Ayu Penghulu Zainal Abidin.
9. Raden Ayu Panji Sastradipura (Jaksa).
10. Raden Ayu Panji Mertaraddja.

Raden Adipati Pringgalaya mempunyai putera :

1. Raden Tumenggung Aria Mangkukusuma (Rijksbestuurder, Patih di Sumenep) menggantikan Raden Adipati Pringgalaya.
2. Raden Ayu Tumenggung Aria Purwanagara, Bupati Pulau Kangean Sumenep.
3. Raden Aria Sudjanakusuma.
4. Raden Panji Mertalaya.
5. Raden Panji Mertakusuma (Raden Dindang) ada di Padang.
6. Raden Panji Kusumabrata.
7. Raden Panji Tirtakusuma.
8. Raden Panji Mlajakusuma (Pensiun Wedana Kota).
9. Raden Panji Pringgajuda.
10. Raden Panji Djajabrata (ada di Kediri).
11. Raden Panji Mangkukusuma.
12.Raden Ayu Tumenggung Aria Surawinata (bersuamikan putera seorang Panembahan Pamekasan yang berada di Sumenep).
13. Raden Ayu Anggadiwirja (1).
14. Raden Ayu Mertasarana (1).
15. Raden Ayu Djajasasmita (1).
16.Raden Ayu Aria Djajakusuma (bersuamikan seorang putera Panembahan Pamekasan).
17. Raden Ayu Sumajuda.
18. Raden Ayu Nitidiredja (Asisten Wedana).
19. Raden Ayu Danukusuma (Kepala Wedono Giligenteng).
20. Raden Ayu Ardikusuma.
21. Raden Ayu Anggjaya.
22. Raden Ayu Anggadiwirja (2).
23. Raden Ayu Djajasasmita.
24. Raden Ayu Mertasarana (2).

Diterangkan bahwa angka (1) setelah meninggal digantikan oleh angka (2).

Sultan Pakunataningrat I meninggal pada tanggal 3 Rajab 1782 tahun Jawa atau 1270 tahun Arab dan dikuburkan di cungkup Panembahan Somala tepat disebelah timurnya. 


Sedangkan putera laki-laki Sultan Pakunataningrat I adalah :
1. Panembahan Natakusuma III berpangkat Kolonel, Bupati Sumenep.
2. Pangeran Aria Suryasinerrangengrana berpangkat Letnan Kolonel (Pangeran Letnan) .
3. Pangeran Aria Suryasinerrangengyuda berpangkat Kolonel (Pangeran Meriam).
4. Pangeran Aria Suryamataram.
5. Pangeran Aria Suryasinerrangengalaga berpangkat Kolonel.
6. Pangeran Aria Kusumadiputra.
7. Pangeran Aria Suryaadiputra.
8. Pangeran Aria Suryaamijaya.
9. Pangeran Aria Candraningprang (Pangeran Langsir).
10. Raden Aria Jayawinata, Hajji.
11. Raden Aria Prawirakusuma.
12. Raden Aria Tirtakusuma.
13. Raden Aria Jayakusuma.
14. Raden Aria Atmaningkusuma.
Raden Aria Atmaningkusuma  putera-putera perempuannya :
1. Ratu Moncol, isteri dari Raden Adipati di Pamekasan yaitu ibu dari Adipati
Pamekasan.
2. Raden Ayu Adipati Pekalongan.
3. Raden Ayu Aria Jayengrana (Patih di Sumenep).
4. Raden Ayu Adipati Rembang.
5. Raden Ayu Pangeran Gembung (Pasuruan).
6. Raden Ayu Tameng Mangkukusuma (Rijksbestuurder).
7. Raden Ayu Adipati Lasem.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

  Masjid Jamik Sumenep tempo dulu Pada 1712 tahun Jawa atau 1200 tahun Arab Pangeran Natakusuma I membangun Mesjid Jamik disebelah barat alu...

 

Masjid Jamik Sumenep tempo dulu

Pada 1712 tahun Jawa atau 1200 tahun Arab Pangeran Natakusuma I membangun Mesjid Jamik disebelah barat alun-alun dan selesai pada 1718 tahun Jawa atau 1206 tahun Arab. Mesjid itu sejak dulu sampai sekarang lazim disebut Mesjid Anyar (Mesjid Baru).

Sedangkan lokasi Mesjid yang lama terletak dibelakang keraton (didepan Rumah Dinas Bupati sekarang) yang pada 1724 tahun Jawa pernah diadakan perbaikan oleh Pangeran Natakusuma I tetapi kemudian disebut sebagai langgar.

Namun sampai sekarang orang Sumenep tetap menyebutnya sebagai Mesjid Laju (Mesjid Lama) dan disana ada tulisannya (prasasti) didalam Mesjid yang sampai sekarang masih terpelihara baik.

Selanjutnya disebutkan bahwa Pangeran Natakusuma I memiliki delapan orang anak yaitu :

1. Raden Aria Kusumadiningrat (Pangeran Panggung).
2. Raden Aria Tirtadiningrat atau Sultan Abdurrahman Pakunataningrat.
3. Tumenggung Kornel, bertempat tinggal di sebelah selatan Mesjid Anyar.
4. Pangeran Natapraja, bertempat tinggal di Dalem Anyar.
5. Raden Ayu Panji Sengngasare.
6. Raden Ayu Bei.
7. Raden Ayu Potre.
8. Raden Ayu Tumenggung Puger.

Kiai Tumenggung Mangsupati atau putera Kiai Saba di Batuampar yang dalam hal itu menjadi Patih di Sumenep mempunyai putera :

1. Raden Panji Sastradipura, Jaksa di Sumenep.
2. Raden Panji Prawirakusuma.
3.Raden Wiradipura.
4. Raden Ayu Werdisastra I.
5. Raden Ayu Pangolo (Penghulu) di Batuampar.
6. Raden Ayu Chatib Abdullah.

Kiai Kandar (Kiai Parongpong) yaitu putera Kiai Jalaluddin mempunyai putera bernama Kiai Sarampa di Parongpong. Sedangkan Kiai Sarampa berputera bernama Abdurrahman bergelar Kiai Werdisastra sekretaris Sultan Sumenep. Ki Patih Sengngatarona mempunyai anak perempuan yang bersuamikan Mas Tumenggung Pratalikrama yang menjabat sebagai Hoof Jaksa Sumenep.

Menurut beslit Kanjeng Tuan Besar Gubernur Jenderal di Bogor tanggal 2 April 1827 Mas Tumenggung Pratalikrama ini diangkat bernama Mas Tumenggung Rangga Kertabasa Pratalikrama.

Setelah Pengeran Natakusuma I sepuh pemerintahan di Sumenep diserahkan kepada putera sulungnya yaitu Raden Aria Kusumadiningrat (Pangeran Panggung) dan sudah mendapat pengukuhan (beslit) dari Tuan Dellir di Semarang dengan gelar Tumenggung Nataningrat. Peristiwa itu terjadi pada 1732 tahun Jawa.

Tak lama kemudian Tumenggung Nataningrat tidak patuh terhadap perintah ayahnya (Panembahan Somala) bahkan konon ia sampai membuat ayahnya sakit disamping para bawahannya juga kurang senang atas cara-cara pemerintahannya.

Maka itu selanjutnya ia dipindahkan ke negara Gembung (Pasuruan), sedangkan di Sumenep jabatannya digantikan kepada adiknya yaitu Raden Aria Tirtadiningrat pada 1737 tahun Jawa.

Setelah Raden Aria Tirtadiningrat mengganti jabatan kakaknya, beberapa waktu kemudian Tuan Jenderal meminta tolong untuk membantu perang melawan Jipang di Karesidenan Rembang. Oleh ayahnya, Raden Aria Tirtadiningrat diperintahkan membawa bala tentara sebanyak seribu orang lengkap dengan persenjataannya.

Setelah berangkat maka ditengah perjalanan tepatnya di Kobanyar daerah Bangkalan mereka berhenti.

Raden Aria Tirtadiningrat selanjutnya dipanggil ke Surabaya dan disana ia diberi gelar Pangeran Natanagara sedangkan ayahnya yaitu Pangeran Natakusuma diangkat dengan gelar Panembahan Natakusuma I.

Kemudian Betawi diserang Inggris. Pangeran Natanagara dipanggil Tuan Residen Landrosguitba ke Surabaya untuk menjaga Sedayu (Sidayu). Pangeran Natanagara datang membawa tentara dua ribu orang lengkap dengan perkakas perangnya. Peperangan yang terjadi di Betawi, Belanda kalah. Jenderal Jansen dapat meloloskan diri ke Semarang dan menyerah.

Pangeran Natanagara selanjutnya dipanggil ke Semarang untuk bertemu Jenderal Jansen dan Tuan Jenderal Chilispi. Mereka bertemu di Loji Bojong. Disana Pangeran Natanagara mendapat perintah untuk pulang ke Sumenep. Pada saat itu negara Sumenep juga diserang oleh tentara Inggris.

Pada suatu hari tentara Inggris mendarat di Tanjung. Rakyat disana ketakutan dan berlarian. Setelah Bandar Pelabuhan tahu bahwa daerahnya didatangi musuh maka dibawalah anak dan isterinya ke Sumenep untuk menyelamatkan diri. Selanjutnya Bandar Pelabuhan melapor kejadian itu kepada Panembahan Natakusuma I. Sesampainya di keraton tanpa tatakrama sang Bandar Pelabuhan langsung masuk menerobos orang-orang yang ada dipaseban. Pada saat itu Panembahan Natakusuma I sedang mengadakan pertemuan dengan beberapa punggawanya.

Melihat kedatangan Bandar Pelabuhan, Panembahan Natakusuma I terkejut namun dia tak segera bertanya sehingga para penghadap terheran-heran dibuatnya. Sebentar kemudian orang-orang desa berduyun-duyun memasuki keraton. Dari itu Panembahan lalu bertanya : Ada apa Bandar ? Bandar : Hamba memberi kabar bahwa pada hari ini ada kapal Inggris berlabuh di dermaga Tanjung. Para serdadunya turun kedarat dengan senapan lengkap sehingga rakyat paduka disana pada lari ketakutan.

Panembahan kemudian memerintahkan Patihnya yang bernama Kiai Angabei Mangonadireja katanya : Sekarang pergilah kamu kesana bersama beberapa Menteri dan tanyakan apa kepentingan mereka. Ki Mangon selanjutnya berangkat dengan empat puluh orang Menteri namun sesampainya diluar ia mengajak sejumlah Menteri lagi sampai berpuluh-puluh jumlahnya.

Sesampainya di Kalianget mereka bertemu dengan tentara Inggris dan langsung menyerangnya. Tentara Inggris menangkis serangan itu sehingga dikedua belah pihak banyak yang luka dan tewas. Karena tentara Sumenep melakukan serangan dengan gencar maka pihak Inggris juga mengeluarkan seluruh kekuatannya. Terjadilah pertempuran seru dengan korban saling berjatuhan. Akhirnya lasykar Sumenep tinggal sedikit dan sebagiannya lagi lari menyelamatkan diri.

Ki Mangon masih gigih melakukan penyerangan meski hanya tinggal seorang diri. Dirinya memang memiliki ilmu keprajuritan dan kekebalan. Tetapi pada akhirnya diapun terluka dan mundur. Sesampainya di Loji ia meninggal dan jazadnya dikuburkan di Asta Tinggi di sebuah cungkup bercat merah kira-kira arah tenggara asta Sultan Sumenep. Ki Mangon ini meninggal tepat pada hari Jum’at tanggal 10 bulan Sya’ban 1728 tahun Jawa.

Disaat itu lalu ada ungkapan orang-orang Sumenep yang berbunyi “Jimbrit baceng, kamarong kellana maronggi, Inggris dhateng Ke Mangon mate e Loji”. Dalam bahasa Indonesia kira-kira : “ Jimbrit=udang kecil, kamarong (semacam duri pada pohon umbi-umbian), masaknya daun kelor. Inggris datang, Ki Mangon meninggal di Loji (Benteng). _ (bersambung)

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Pada kala itu dipendapa juga sedang menghadap dua orang Menteri yang cakap yaitu : 1. Kiai Sengngatarona orang dari desa Gapura Barat dan ia...


Pada kala itu dipendapa juga sedang menghadap dua orang Menteri yang cakap yaitu :

1. Kiai Sengngatarona orang dari desa Gapura Barat dan ia adalah anak dari seorang alim bernama Kiai Rombu.

2. Kiai Sawunggaling.

 Kiai Sengngatarona berkata : Kami punya pendapat paduka Ratu. Ratu : Apa pendapatmu ? Kiai Sengngatarona : Begini. Dandani kawula paduka Kiai Sawunggaling ini seperti seorang Raja lalu dudukkan ia di kursi kebesaran dipaseban. Hamba akan mendampingi dia dengan sebuah tombak. Sesudah itu panggillah lagi Raden Patih dan katakan bahwa yang sedang duduk dipaseban itu adalah suami paduka. Kalau Raden Patih nanti mendekati Sawunggaling dan menyerangnya maka akan hamba bunuh dengan tombak yang hamba pegang.

 

Esok harinya Sawunggaling lalu didandani laksana Raja dan didudukkan dikursi Ratu dipaseban dengan dihadap para menteri dan lainnya. Sedangkan Kiai Sengngatarona berdiri disamping Kiai Sawunggaling dengan sebuah tombak pusaka Ratu ditangannya. Sesudah itu Ratu lalu mengutus seorang utusan untuk memanggil lagi Raden Patih.

 

Utusan segera berangkat dan setelah sampai dikepatihan dia melihat Raden Patih sedang duduk dikursi sambil menimang-nimang pedangnya. Utusan berkata : Hamba diutus adik paduka. Raden Patih : Apa keperluannya ? Utusan : Paduka diharap datang menghadap ke keraton sedangkan apa maksudnya hamba tidak tahu. Raden Patih : Orang dari gunung itu ada dimana ? Utusan : Sekarang ada dipaseban sedang dihadap para Menteri dan semua kawula. Raden Patih : Siapa lagi temannya disana ? Utusan : Tidak ada siapa-siapa kecuali beliau sendiri yang duduk dikursi kebesaran. Raden Patih : Ratumu ada dimana ? Utusan : Ratu ada dikeraton.

 

Setelah mendengar ungkapan utusan tadi Raden Patih gembira hatinya dan segera berpakaian. Setelah siap ia berangkat dengan membawa pedang terhunus. Sesampainya di alun-alun dilihatnya seseorang sedang duduk dikursi kebesaran Ratu. Dengan hati lega ia memasuki paseban, disangkanya yang duduk itu adalah Bindara Saud. Saat hampir tiba dipaseban ia semakin mempercepat langkahnya dan dari utara paseban dia naik.

 

Karena dikuasai nafsu meski jaraknya masih tinggal setombak dari orang yang duduk dikursi kebesaran itu seketika ia menebaskan pedangnya tapi meleset. Pedang yang diasah berhari-hari itu menancap ditiang paseban. Karena tajamnya pedang dan kuatnya daya ayun yang disertai dengan nafsu amarah maka pedang itu lengket ditiang paseban dan tak bisa dicabut. Melihat kesempatan itu Kiai Sengngatarona segera menyarangkan tombak kearah rusuk Raden Patih dan mengenainya. Raden Patih lalu jatuh tersungkur dan meninggal.

 

Dari jasanya itu Kiai Sengngatarona lalu diangkat menjadi Patih, sedangkan Kiai Sawunggaling diangkat menjadi pelindung Ratu. Pada suatu hari Ratu Tirtanagara bertanya kepada suaminya Bindara Saud : Apakah kakanda mempunyai isteri ? Bindara Saud : Ya, aku telah beristeri dan sudah dikaruniai dua orang anak yang semuanya laki-laki. Ratu : Dinda bersyukur kalau kakanda sudah dikaruniai anak. Tapi dinda minta kerelaan kanda supaya isteri kakanda dicerai saja.

 

Bawalah kedua anak kanda itu kemari dan akan dinda asuh. Maka dari itu isteri yang tua (Nyai Izza) kemudian dicerai oleh Bindara Saud sedangkan kedua puteranya dibawa ke keraton.

 

Dalam perjalanan kekeraton kedua anak Bindara Saud itu berembuk. Kakaknya : Kalau sudah sampai dikeraton nanti kepada siapakah engkau pertama kali akan sungkem ? Adiknya : Adik akan sungkem pertama kali pada paduka Ratu. Kakaknya : Kalau aku akan sungkem pada ayah dahulu. Sampai mereka dikeraton kakaknya langsung sungkem kepada Bindara Saud sedangkan adiknya sungkem pada Ratu.

 

Pada saat adiknya sungkem pada Ratu lalu sambil memegang kepala anak itu sang Ratu berkata : Kamu-lah yang akan menjadi penguasa di negara Sumenep ini sampai pada anak cucumu. Setelah acara sungkeman selesai maka kemudian sang kakak diberi gelar Raden Aria Pacenan alias Raden Aria Kusumanagara, sedangkan sang adik diberi gelar Raden Aria Atmajanagara.

 

Setelah perceraiannya dengan Bindara Saud, Nyai Izza lalu kawin lagi dan bersuamikan Kiai Samporna. Mereka dikaruniai putera :

 

 1. Kiai Cakrayuda.

2. Raden Ardikusuma.

3. Raden Jayakusuma.

4. Raden Surakusuma.

 

Kiai Samporna meninggal dunia di desa Samporna dan desa ini sekarang menjadi perdikan. Disana ada kepala perdikannya yang tugasnya sambil lalu merawat makam Kiai Samporna.

 

Desa Samporna termasuk wilayah Kecamatan Pasongsongan, kawedanan Barat Laut Ambunten.

 

Diceriterakan bahwa saudara Bindara Saud yaitu Kiai Saba di Batuampar mempunyai putera :

 

1. Kiai Tumenggung Mangsupati, Patih Sumenep.
2. Kiai Pangolo I di Batuampar.
3. Ramana Molasir.
4. Kiai Parisin.
5. Nyai Bara’.
6. Nyai Suriya.

 

Berikutnya diceriterakan bahwa Bindara Saud (Tumenggung Tirtanagara) dan Ratu Tirtanagara sekarang sudah wafat. Sedangkan waktu wafat antara keduanya berselang tak seberapa lama yaitu Tumenggung Tirtanagara wafat pada tanggal 17 Jumadilawal 1685 tahun Jawa, 1171 tahun Arab atau 1754 tahun Masehi, sedangkan Ratu Tirtanagara wafat tanggal 25 Jumadilawal 1685 tahun Jawa, 1171 tahun Arab atau 1754 tahun Masehi (berselang delapan hari).

 

Makam keduanya terletak di Asta Tinggi Desa Kebonagung berkumpul dalam satu cungkup dan ada disebelah timur cungkup Pangeran Jimat. Menurut para sepuh di Sumenep cungkup ini adalah bekas pendapa Pangeran Lor. Makam Bindara Saud terletak di paling barat deretan utara berdampingan dengan Ratu Tirtanagara.

 

Sepeninggal Bindara Saud dan Ratu Tirtanagara pemerintahan di Sumenep dipegang oleh Raden Aria Atmajanagara (Panembahan Somala) yang bergelar lagi sebagai Raden Tumenggung Aria Natakusuma I. Dia menjabat sebagai Bupati Sumenep pada 1685 tahun Jawa, sebab Ratu Tirtanagara dalam perkawinannya dengan Bindara Saud tidak dikaruniai anak.

 

Tak lama kemudian Tumenggung Aria Natakusuma I bersama-sama Kompeni Belanda berperang dengan negara Blambangan dan perang itu dimenangkannya. Dari itu dia diberi hadiah tanah Panarukan oleh Kompeni. Seusai perang dengan Blambangan Tumenggung Natakusuma I diundang ke Betawi, diangkat dan diberi gelar Pangeran Natakusuma I pada tahun 1768 Masehi. Sekembalinya dari Betawi, tanah Panarukan diserahkan lagi pada Kompeni karena Pangeran Natakusuma I meminta kembali negara Sumenep dan setelah itu ia lalu membangun keraton.

 

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Karena kecerdasan Kiai Raba para santri tersebut tidak merasa kesulitan untuk menerima setiap pelajaran yang diberikan kepadanya. Lama kelam...


Karena kecerdasan Kiai Raba para santri tersebut tidak merasa kesulitan untuk menerima setiap pelajaran yang diberikan kepadanya. Lama kelamaan semakin terkenal pula nama Kiai Raba sehingga banyak pula orang alim yang sudah terkenal masih belajar ilmu agama lagi kepada Kiai Raba.

Selama Kiai Raba menetap didaerah itu orang-orang yang membangun rumah disekitarnya semakin ramai juga bahkan banyak orang dari lain desa pindah kesana. Setelah Kiai Raba sepuh maka semua kewajibannya diwakilkan kepada Bindara Bungso dan dialah kemudian yang ditugaskan untuk memberi pelajaran bagi para santrinya. Tata cara memberi pelajaran tak beda dengan Kiai Raba, karena itu kemudian banyak santri yang senang terhadap Bindara Bungso. Bindara Bungso akhirnya dianggap sebagai orang alim dan keramat.

Pada suatu hari Kiai Raba berkata kepada Bindara Bungso : Karena kamu sekarang sudah menjadi orang alim maka kiranya sudah pantas bagimu untuk membangun sebuah pedukuhan. Sambil memberi pelajaran mengaji maka pantas pula bagimu kalau membuka kegiatan di desa Batuampar-Sumenep. Apalagi karena menurutku dikemudian hari kamu akan memiliki keturunan yang akan menjadi Raja di Sumenep.

Dengan suka hati Bindara Bungso lalu berangkat meninggalkan hutan-rawa di Pamekasan menuju Batuampar-Sumenep. Kepergiannya itu disertai oleh empat orang santrinya. Sesampainya di Batuampar ia langsung membuka pedukuhan sebagaimana disarankan Kiai Raba dan dalam beberapa waktu kemudian ia juga memiliki banyak santri dan dianggap sebagai ulama besar pula. Kabar itu segera didengar oleh Ratu sehingga ia lalu disebut Kiai Batuampar.

Disana ia diberi bengkok tanah oleh kerajaan dan sampai sekarang Batuampar menjadi perdikan dan ada kepala perdikannya yang tugasnya sambil lalu merawat makam Kiai Batuampar.

Perdikan Batuampar ini termasuk wilayah kecamatan Guluk-Guluk dibawah kawedanan Guluk-Guluk (Barat Daya) kira-kira tujuh kilometer jauhnya dari pusat kawedanan itu kearah barat laut. Setelah beberapa tahun kemudian Kiai Raba lalu meninggal dan dikuburkan di Asta Raba Pamekasan. Asta tersebut keramat sampai sekarang dan orang-orang banyak yang berziarah kesana.

Diceriterakan bahwa Kiai Batuampar atau Kiai Abdullah (Bindara Bungso) atau putera Kiai Abdulkidam ini beristeri dua orang masing-masing :

1. Nyai Kursi, puteri Kiai Bayukalung di Pasean-Pamekasan dan mempunyai putera :

  • Kiai Saba, berdiam di Batuampar.
  • Nyai Tanjung, berdiam di Batuampar.
  • Kiai Bandungan.
  • Nyai Tengnga.
  • Bindara Hasan.


2. Nyai Narema, puteri Kiai Hatib Bangil di Parongpong dan memiliki putera :

  • Nyai Talang.
  • Nyai Kadungdung.
  • Bindara Saud (Saghud). Sedangkan Bindara Saud ini diasuh oleh pamannya yaitu saudara dari ibunya yang bernama Kiai Faki yaitu putera Kiai Hatib Bangil yang berdiam di Lembung.

Bindara Saud ini sangat suka berpuasa serta cerdas. Pada suatu malam ia bersama santri yang lain tidur dilanggar. Tepat waktu tengah malam guru ngajinya keluar melihat-lihat ruangan pondok para santrinya. Sang guru ngaji ini kemudian melihat sebuah cahaya terang dari arah timur dan masuk kesalah-satu ruang pondok. Dengan terheran-heran ia menghampiri ruang pondok yang didatangi cahaya tadi. Sesampainya disana dan didalam gelapnya malam tiba-tiba ia melihat ada seorang santri yang terlihat mengeluarkan cahaya seperti terbakar layaknya.

Karena tidak jelas rupa si santri maka dengan hati-hati dia menandainya dengan cara membolongi sarung santri tersebut dengan api rokok. Keesokan harinya sang guru mengumpulkan semua santrinya dan diperiksanya sarung mereka satu persatu. Kemudian diketahui bahwa sarung yang dibolonginya semalam adalah sarung Bindara Saud. Sang guru ngaji selanjutnya berkata kepada santrinya itu katanya : Insyaallah bahwa keturunan kamu kelak akan menjadi orang besar.

Setelah dewasa Bindara Saud lalu beristeri Nyai Izza yaitu puteri Kiai Jalaluddin di Parongpong. Tak lama kemudian mereka dikaruniai dua orang putera. Sementara ditempat lain yaitu di keraton Sumenep Ratu Tirtanagara bermimpi bersuamikan Bindara Saud. Dari sebab itu Bindara Saud lalu dipanggil menghadap ke keraton. Sesampainya disana Ratu Tirtanagara lalu bertanya : Siapakah namamu, dimana rumahmu, apa sudah memiliki keturunan, apa pekerjaanmu dan anak dari siapa ? Bindara Saud : Hamba bernama Bindara Saud tinggal di desa Lembung. Pekerjaan hamba mengajar ngaji sedangkan ayah hamba bernama Bindara Bungso bertempat tinggal di Batuampar dan masih keturunan Pangeran Sidhingpuri. Setelah itu Bindara Saud lalu menuturkan tentang asal-usulnya dari awal hingga akhir.

Setelah Ratu Tirtanagara mendengar penuturan Bindara Saud ia lalu merasa gembira dan selanjutnya Bindara Saud dijadikan sebagai suami dengan diberinya gelar Tumenggung Tirtanagara.

Diceriterakan pula bahwa yang menjadi Patih Ratu Tirtanagara kala itu adalah kakak sepupunya yang bernama Raden Purwanagara. Dengan kawinnya Ratu Tirtanagara dia sangat membenci Bindara Saud bahkan ia bermaksud membunuhnya. Karena dia juga sangat menyintai sang Ratu serta ingin menjabat sebagai Raja. Sejak Ratu Tirtanagara bersuamikan  Bindara Saud, Patih Raden Purwanagara tak pernah lagi menghadap ke keraton karena dirinya merasa muak melihat suami Ratu yang orang desa itu.

Pada suatu hari Ratu Tirtanagara menugaskan seorang utusan untuk memanggil Raden Patih. Setelah sang utusan sampai di Kepatihan ia melihat Raden Patih sedang mengasah pedang. Utusan tadi lalu mendekat dan menyampaikan semua perintah Ratu-nya katanya : Paduka sekarang dipanggil Ratu untuk menghadap kekeraton. Raden Patih : Mau apa dia ? Utusan : Paduka sekarang diharap datang ke keraton karena adik paduka kangen dan ingin bertemu meskipun sebentar. Raden Patih : Ada dimana orang dari gunung itu ? Utusan : Hamba tidak tahu dia dimana tetapi menurut sepengetahuan hamba paduka Ratu selama ini tak punya punggawa orang dari gunung. Raden Patih : Suami Ratumu sekarang ada dimana ? Utusan : O, sekarang beliau ada di keraton dan sedang duduk bersanding dengan paduka Ratu.

Raden Patih : Katakan pada Ratumu bahwa saat ini aku tak bisa menghadap karena masih mengasah pedang yang kurang tajam untuk memotong leher orang gunung itu. Sekarang dan katakan pada Ratu tentang apa aku katakan tadi. Utusan segera meninggalkan kepatihan dan sesampainya di keraton sang Ratu masih duduk dipendapa bersama Bindara Saud. Ratu kemudian bertanya kepada utusan tetapi sang utusan diam tak menjawab karena takut Bindara Saud dan Ratu tersinggung dengan apa yang dikatakan Raden Patih kepadanya.

Sambil diliputi rasa dongkol kemudian Ratu bertanya lagi yang kemudian diceriterakanlah oleh utusan itu tentang apa yang disampaikan Raden Patih sebagaimana adanya. Setelah Ratu mendengar tutur sang utusan tadi dirinya sangat marah. Bindara Saud : Sekarang aku minta kerelaan dinda supaya aku diijinkan untuk menemui Raden Patih. Ratu : Jangan kanda, karena masih banyak tugas yang harus kanda selesaikan. (bersambung)



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Keesokan harinya ketika Raja sedang duduk di paseban lalu datang seseorang menghadap sambil berkata : Hamba memberi kabar bahwa dihutan-rawa...


Keesokan harinya ketika Raja sedang duduk di paseban lalu datang seseorang menghadap sambil berkata : Hamba memberi kabar bahwa dihutan-rawa ada dua orang yang sama-sama tampan rupa sedang berlindung dibawah pohon besar lagi rindang. Selama ini tak ada seorang-pun yang berani mendekati tempat itu karena banyak ularnya. Setiap tiba waktu shalat mereka adzan, tetapi kami belum tahu darimana mereka berasal. Kami tak sempat menanyainya lagi pula hamba takut digigit ular yang ada disekitarnya.

Pada saat itu Raja segera memanggil Ki Patih dan selanjutnya berkata : Patih, kabarnya sekarang di hutan-rawa itu ada dua orang laki-laki sedang bertapa. Panggillah mereka kemari !! Ki Patih : Itu kabar bohong paduka, sebab tidak mungkin ada orang yang berani datang kesana karena disana banyak ular berbisa yang berkeliaran. Raja : Menurutku kabar itu tidak mungkin bohong karena tidak mungkin ada orang yang berani berkata bohong kepadaku. Raja lalu bertanya lagi kepada orang yang mengabarkannya tadi. Pengabar itu tetap pada pendiriannya bahwa kabar yang dibawanya itu tidak bohong.

Dari sebab itu Ki Patih bersama beberapa orang termasuk si pemberi kabar lalu berangkat ke hutan-rawa. Sesampainya disana mereka langsung masuk hutan dan setelah Kiai Raba melihat banyak orang menuju kearahnya ia terkejut. Setelah dekat mereka saling bertegur sapa tentang siapa dan dari mana asalnya. Ki Patih : Saya Patih dari negara Pamekasan sedangkan para pengiring ini adalah para Menteri. Kiai Raba : Oh tuan, paduka jangan marah. Karena sebenarnya kami tidak tahu. Ki Patih : Sejak kapan anda berada disini ? Kiai Raba : Kami sudah lima tahun lamanya ada disini. Ki Patih : Apa maksud dan tujuan anda sehingga berlama-lama disini ? Kiai Raba : Kami tidak punya maksud apa-apa. Kami hanya mengemban tugas dari guru kami.

Ki Patih lalu duduk berhadap-hadapan dengan Kiai Raba. Sedangkan para Menteri duduk dibelakang Ki Patih dan Bindara Bungso duduk dibelakang Kiai Raba sambil mendengarkan pembicaraan keduanya. Kiai Raba : Sebenarnya kami sangat bangga dan bersyukur kepada Allah karena paduka telah berkenan kesini dan melihat tempat kami yang demikian ini. Tadinya kami sempat khawatir kalau-kalau paduka akan menangkap kami.

Ki Patih : Anda tidak usah takut sebab kami tidak berniat aniaya. Sebenarnya saya diperintah oleh Raja dinegara ini untuk memanggil anda berdua karena saat ini Raja sedang dalam kesusahan besar. Selama ini hujan tidak turun sehingga mengakibatkan negara kekurangan pangan. Inilah maksud Raja memanggil anda karena konon tidak ada orang yang mampu menanggulangi keadaan yang demikian menyusahkan ini kecuali anda. Kiai Raba : Baiklah. Mari kami akan ikut. Tetapi yakinlah bahwa kami tak bisa menurunkan hujan kecuali atas karunia Allah semata.

Setelah itu mereka berangkat ke keraton untuk menghadap Raja. Di keraton Raja bertanya : Dari manakah kalian dan pekerjaan apa yang sedang kalian lakukan di hutan-rawa itu ? Kiai Raba : Kami dari Sumenep. Kami berada di hutan-rawa karena menunaikan tugas dari guru kami dan kami disuruh mendiaminya. Kemudian diceriterakanlah semua tentang yang diperintahkan gurunya kepada Raja Pamekasan. Raja kembali bertanya : Aku tak keberatan kalau kalian berdiam disana dan mudah-mudahan segera banyak orang yang dapat menjadi pengikutmu. Aku memanggil kalian kemari karena ingin minta tolong. Sudah lima tahun lamanya dinegara ini tidak turun hujan sampai-sampai terjadi kekurangan pangan karena tanaman semuanya mati. Mintakanlah kepada Allah supaya hujan segera turun.

Kiai Raba : Dengan suka hati kami akan mengabulkan keinginan paduka. Dan sekarang kami akan memohon kepada Allah semoga doa kami diterima. Tetapi kalau nanti hujan datang yang susah adalah kami paduka, sebab kami akan kedinginan. Kami tak punya kediaman yang pantas untuk berteduh dari siraman air hujan. Dan hal itu sudah dimaklumi oleh Ki Patih tentang kediaman yang kami tempati karena kami hanya bernaung dibawah pohon yang rindang.

Ki Patih membenarkan apa yang diucapkan Kiai Raba tersebut. Dari itu Raja lalu memanggil Menteri Ajek Gedong dan kepadanya diperintahkan supaya segera membuat sebuah rumah tembok yang bagus lengkap dengan langgarnya dan ditempatkan di hutan-rawa itu untuk tempat tinggal Kiai Raba. Setelah rumah dan langgar selesai dibangun Kiai Raba dan Bindara Bungso kemudian pindah dan mendiami rumah barunya. Pada saat mereka pindah, disaat itu pula hujan turun dengan derasnya.

Raja dan rakyat Pamekasan sangat gembira pada waktu itu dan berkata : Sungguh nyata bahwa Kiai Raba itu adalah seorang wali. Hujan deras tadi tak mau reda hingga tujuh hari lamanya sampai keadaan kota dan desa kebanjiran. Karena itu Raja susah lagi hatinya. Raja lalu memerintahkan lagi Patihnya untuk memanggil Kiai Raba ke keraton katanya : Aku sekarang semakin susah kalau demikian keadaannya. Hujan yang datang sudah tujuh hari lamanya tapi tak kunjung reda sampai-sampai orang disini tak bisa menggarap sawah-ladangnya. Maka dari itu katakan pada Kiai Raba bahwa ia sangat kuharapkan bisa menghadapku sekarang juga.

Setelah Kiai Raba datang menghadap, Raja Pamekasan menyatakan kesedihannya seperti yang dituturkan diatas dan selanjutnya ia meminta kesediaan Kiai Raba untuk kembali memohon kepada Allah supaya hujan dapat reda. Sambil tersenyum Kiai Raba berkata : Hamba sekarang kok jadi repot dalam memenuhi kehendak paduka. Dulu sewaktu hujan tidak datang hamba disuruh meminta supaya hujan turun. Tapi setelah hujan turun justeru minta supaya diredakan. Kalau demikian terus-menerus akhirnya Allah tidak akan mengabulkan doa kita.

Raja : Iya, ucapanmu benar. Kenyataannya akulah yang salah maka itu maafkanlah aku. Tapi sekarang aku mohon kerelaanmu untuk memintakan hujan yang sedang-sedang saja kepada Allah sehingga bisa menjadi sesuatu yang menghidupkan bagi tanaman di negara ini. Dimana dengan hujan tadi akan dapat membuat lahan-lahan menjadi subur serta menjadikan keselamatan dan kemakmuran bagi negara. Kiai Raba setuju lalu pamit pulang. Setelah sampai dirumahnya lalu hujan yang semula deras sekarang berobah menjadi sedang-sedang saja seperti yang dikehendaki Raja tadi. Kemudian sejak saat itu negara Pamekasan menjadi negara yang murah rejeki dan tanaman pangan setiap tahunnya tak pernah gagal malah banyak hasil tanaman rakyat yang dijual ke negara lain.

Dengan keberhasilan itu Kiai Raba lalu mendapat hadiah lagi dari Raja berupa tanah bengkok sebagai bekal serta hadiah bagi Bindara Bungso. Hutan-rawa itu lalu dibabatnya dan dibuatnya sebagai tegalan, sawah dan ada juga yang dibuat pekarangan untuk bakal perumahan. Tak lama kemudian Kiai Raba tambah dikenal orang dan tiap harinya banyak orang datang berkunjung ke kediamannya bahkan banyak orang yang mendirikan rumah disekitarnya.

Pada suatu hari beberapa orang sedang berkunjung kerumah Kiai Raba dengan maksud mencari ilmu dan mengaji. Sesampainya dikediaman Kiai Raba mereka menyampaikan maksudnya katanya : Kami kemari bermaksud mengabdi dan belajar ngaji. Kami rela mengabdi kepada Kiai dunia-akhirat. Kiai Raba : Sebenarnya saya tidak tahu ilmu ajar-mengajari maka itu tuan-tuan lebih baik mencari guru yang lain saja sebab orang yang bisa memberikan ilmu seperti para Ulama terkenal misalnya.

Santri : Hasrat kami semua untuk mengaji dan mengabdi pada Kiai sudah tak dapat dirobah lagi. Kiai Raba : Kalau tuan-tuan sudah bertekad dan bersungguh-sungguh maka baiklah, akan saya akan berikan apa yang saya miliki sesuai dengan kemampuan yang saya punyai. Kami adalah orang bodoh dan mudah-mudahan Allah akan selalu memberi bimbingan dan dapat mengabulkan semua hajad kita dengan selamat.

Tetapi waktunya bukan hari ini untuk mulai, karena itu silakan tuan-tuan pulang terlebih dahulu sebab pada hari ini kami belum siap untuk memulainya. Tiga hari lagi kami harapkan tuan-tuan dapat kembali. Sedangkan kitab yang tuan-tuan bawa itu sebaiknya ditinggalkan saja disini dulu supaya kami dapat mempelajarinya. Mudah-mudahan kami dapat keterbukaan hati untuk mengerti akan maksud-maksudnya.

Setelah itu maka pulanglah para calon santri itu dengan hati gembira. Sepulang para calon santrinya itu Kiai Raba merasa bimbang terhadap kemampuan ilmunya sendiri karena takut tidak memadai untuk memenuhi keinginan para calon santrinya itu. Sejak itu ia lalu memohon kepada Allah untuk diberikan kekuatan hati dan petunjuk. Selama dua hari ia menyendiri di langgarnya dan akhirnya disuatu malam ia bermimpi.

Dalam mimpinya ia merasa didatangi Nabi Muhammad didampingi oleh empat orang sahabatnya. Dalam mimpinya itu Nabi Muhammad berkata begini : Sekarang kamu boleh mengajarkan kitab sebagaimana keinginan orang-orang yang akan mengaji kepadamu. Jangan kamu tolak apa yang dihasratkan orang. Kiai Raba : Kami tidak tahu tentang apa yang harus kami berikan kepada mereka karena kami tak memiliki ilmu yang sempurna.

Nabi Muhammad lalu menyuruh Kiai Raba membuka mulut dan diludahinya. Hal itu juga dilakukan oleh empat sahabat Nabi yang secara bergiliran meludahi mulut Kiai Raba dan memerintahkan untuk ditelannya. Setelah air ludah itu terasa sampai diperutnya Kiai Raba lalu terbangun.

Sejenak ia termenung memikirkan mimpinya tadi dan sampai fajar tiba ia tidak tidur. Mimpi itu selanjutnya dituturkan kepada anak angkatnya yaitu Bindara Bungso. Setelah pagi tiba beberapa santri yang akan berguru itu datang lagi padanya. Setelah santri tadi juga mendengar ceritera tentang mimpi yang dialami gurunya mereka sangat gembira dan berharap mimpi seperti itu juga datang pada dirinya. Tekad mereka semakin pasti untuk mengabdi pada Kiai Raba dan beberapa waktu kemudian para santri itu baru mendapat pelajaran ilmu dari Kiai Raba sebagaimana mestinya.  (bersambung)


xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Pintu masuk Asta Katandur dan Kuburan Pangeran Katandur (insert) Setelah Pangeran Katandur wafat ketiga puteranya sama-sama menjadi orang al...



Pintu masuk Asta Katandur dan Kuburan Pangeran Katandur (insert)

Setelah Pangeran Katandur wafat ketiga puteranya sama-sama menjadi orang alim yang ternama dan keramat. Makam Pangeran Katandur dengan orang-orang dinamakannya Asta Sabu bertempat di kampung Paddusan sebelah selatan tambak irigasi. Disebelah tenggara Asta itu terletak Asta Pangeran Sidhing Puri. Kadua Asta tersebut sampai sekarang masih baik keadaannya karena ada yang menjaganya. Kata orang, kedua Asta tersebut sama-sama keramat dan angker sehingga tak boleh ada orang sembarangan datang kesana.

Sedangkan Kiai Hatib Paddusan mempunyai duabelas putera, namun hanya diceriterakan dua orang yaitu :

1. Kiai Barangbang, berdiam di Barangbang (sekarang jadi perdikan), masuk desa Kalimo’o’ Kecamatan Marengan, kawedanan Kota Sumenep. Disana ada kepala perdikannya sambil lalu merawat Asta Gumo’ yakni Asta Kiai Barangbang dan keturunannya.

2. Nyai Cendir, yang bersuamikan Kiai Tengnga. Kiai ini adalah putera Kiai Wangsadikara yang asalnya dari Mataram. Kiai Wangsadikara tersebut beristeri Nyai Berrek yaitu puteri dari Kiai Hatib Karanggan. Makam Kiai Tengga terletak didesa Ngenbungen Kawedanan Batang-batang (Pembantu Bupati Timur Laut). Yang merawat makamnya adalah kepala perdikan Barungbung.

Asta Kiai Hatib Paddusan ada disebelah timur sungai Asta Pangeran Katandur, dimana orang Sumenep juga menyebutnya Asta Tobato, yang jauhnya dari Asta Sabu kira-kira setengah kilometer.

Nyai Cendir mempunyai putera : Nyai Karteka dan Kiai Jalaluddin. Kiai Jalaluddin beristerikan Nyai Galu yaitu puteri dari Kiai Hatib Bangil dan ia berdiam di Parongpong. Kiai Hatib Bangil ini adalah putera Kiai Talang-Parongpong, cucu Kiai Talang Sendir yang bermukim di perbukitan Gelugur atau cicit Kiai Kecer-Banasare. Kiai Kecer-Banasare itu adalah putera Astamana, cucu Pangeran Bukabu.

Sekarang Parongpong menjadi perdikan dan ada kepala perdikannya, sambil lalu menjaga makam Kiai Hatib Bangil dan Kiai Jalaluddin. Kiai Jalaluddin mempunyai putera :

1. Nyai Izza.
2. Nyai Saba.
3. Kiai Kandar (Kiai Parongpong).
4. Kiai Wiradipuspa (Manteri).
5. Kiai Fatta.
6. Kiai Wiradipura (Manteri).
7. Nyai Parongpong.

Kiai Hatib Bangil beristerikan Nyai Salama, puteri seorang Modin Tadja di Pamekasan dan berputera empat orang yaitu :

1. Nyai Narema.
2. Nyai Galu.
3. Bindara Faki.
4. Nyai Lima.

Nyai Izza bersuamikan Bindara Saod, yaitu putera Bindara Bungso di Batuampar tetapi ia  bertempat tinggal di Lembung. Kemudian mereka dikaruniai putera dua orang. Sekarang Lembung menjadi perdikan termasuk Kecamatan Lenteng, jauhnya kira-kira tujuh kilometer. Disana ada kepala perdikannya yang sambil lalu merawat makam Nyai Cendir, Nyai Izza dan Kiai Faki. Disebelah selatan Asta itu ada sungainya dan disebelah timurnya ada mesjid.

Diceriterakan bahwa puteri Pangeran Sidhing Puri yang bersuamikan Kiai Rawan di Sendir lalu disebut Nyai Susur. Dari perkawinannya mereka dikaruniai seorang putera bernama Kumbakara atau Kiai Sendir I. Sedangkan setelah Kumbakara beristeri ia dikaruniai putera bernama Abdirrahim atau Kiai Sendir II. Kiai Sendir II ini kawin dengan puteri Kiai Galugur dan dari perkawinannya mereka dikaruniai putera bernama Kiai Abdullah.

Kiai Rawan, Kumbakara, Kiai Abdirrahim dan Kiai Abdullah ini adalah orang-orang alim yang mempunyai pengaruh cukup besar disamping diakui kekeramatannya sampai sekarang. Setelah Kiai Abdullah kawin, ia dikaruniai tiga orang putera diantaranya puteri. Salah seorang puteranya adalah bernama Kiai Raba di Pamekasan. Kiai Raba sewaktu kecil kira-kira berumur dua tahun, mempunyai kebiasaan yang tidak sama seperti anak-anak kebanyakan pada masanya. Kalau sedang berkumpul ia tak mau bergurau. Ia pendiam terkadang kelihatan seperti orang dungu. Kalau tidur ia tak mau beralaskan tikar dan sebagainya bahkan kalau ingin tidur ia langsung membaringkan tubuhnya.

Tetapi meskipun begitu pada dirinya terdapat suatu ilmu ganjil dan sulit ditemui yaitu bertuah dalam ucapannya. Kalau dia berkata hujan, meskipun tak sepotong awanpun melayang dilangit maka seketika hujan akan datang. Begitu pula kalau ia berkata terang, maka meskipun awan menebal diangkasa sekejap akan terhapus dan menyembullah sinar matahari yang terang benderang. Oleh karena itu ia selalu dijaga oleh kedua orang tuanya takut-takut keganjilannya itu terdengar oleh Raja dan diambilnya.

Setelah berumur sembilan tahun Kiai Raba lalu minta kepada kedua orang tuanya untuk diijinkan nyantri. Kedua orang tuanya sangat gembira dengan kemauan anaknya itu maka lalu diijinkannya untuk nyantri pada Kiai Sendang. Dipesantren Kiai Sendang dia menjadi santri yang cerdas dan tak gampang lupa terhadap ilmu yang diberikan oleh gurunya. Beberapa waktu kemudian oleh gurunya dianjurkan pindah ke lain pesantren sebab Kiai Sendang sudah tak punya ilmu yang akan diajarkannya lagi.

Dari itu ia lalu pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Disepanjang pengalamannya ia selalu mendapat pujian dari guru-gurunya karena selain cerdas ia juga tekun dan suka berpuasa. Setiap ia pindah pesantren maka disanalah ia selalu dikasihi gurunya dan seringkali dijadikan wakil untuk memberi pelajaran mengaji bagi santri lainnya. Dengan kecerdasannya itu maka dalam waktu singkat ia telah banyak menguasai ilmu dari kitab-kitab Islam dan banyak pula para santri yang sungkan kepadanya.

Diceriterakan bahwa saudara perempuan Kiai Raba yang sulung bersuamikan paman sepupu dari ayahnya yaitu putera Kiai Talang Parongpong bernama Kiai Abdulkidam (Kiai Tellu). Tak lama kemudian mereka dikaruniai putera diberi nama Bindara Bungso. Sesudah Bindara Bungso dewasa lalu diasuh oleh Kiai Raba dan diikut sertakan nyantri. Suatu hari Kiai Raba dinasihati oleh gurunya begini : Sekarang kamu aku tugaskan membuka pedukuhan sambil mengajar ilmu Agama Muhammad dihutan-rawa di Pamekasan. Semua ilmu-ku telah aku berikan kepadamu dan amalkanlah. Kata orang-orang alim, barang siapa orang yang kikir akan ilmunya maka diakhirat nanti akan mendapat hukuman yang pedih. Dari sebab itu maka camkanlah ucapanku ini.

Setelah mendapat pesan demikian dari gurunya maka berangkatlah Kiai Raba (Rawa) dan Bindara Bungso. Sesampainya ditempat yang disebut gurunya tadi mereka berhenti. Disitu masih merupakan hutan berawa-rawa tanpa penduduk sama sekali bahkan yang ada disana hanya ular. Tetapi dengan tekad baja kedua orang itu tak gentar sedikitpun. Keduanya lalu memasuki hutan-rawa itu dan duduk disebuah akar pohon besar. Binatang-binatang buas yang ada dihutan itu konon tidak mengganggunya bahkan menjadi jinak pada kedua orang itu. Burung-burung yang ada disana setiap hari konon selalu membawa buah-buahan sebagai makanan sehari-hari mereka.

Sejak Kiai Raba ada disana negara Pamekasan sedang dilanda kekeringan bahkan selama lima tahun konon tak pernah turun hujan. Tanaman banyak mati dan kelaparan merajalela. Rakyat Pamekasan saat itu sungguh dirundung kemelaratan. Dari sebab itu Raja Pamekasan lalu memerintahkan para Alim Ulama supaya mengadakan shalat dan berpuasa untuk meminta hujan. Berkali-kali usaha itu dilakukan tetapi sang hujan tak mau turun juga sehingga Raja sangat susahnya. Setiap hari dirinya tak henti-henti berpuasa dan bersadaqah.

Disuatu malam pada saat Raja tidur ia bermimpi didatangi seseorang yang perawakannya sudah renta dan berkata kepadanya : Yang menjadi lantaran mengapa negara ini tidak turun hujan sebab disini ada dua orang yang sedang bertapa. Selama ini mereka hanya berlindung disebuah pohon besar yang terletak di alas (hutan) rawa. Karenanya kalau kamu mau minta turun hujan hendaknya kedua orang itu kamu beri tempat berlindung supaya tidak kehujanan.





xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Sekejap saja tentara Pak Lesap banyak yang tersungkur dan tewas bermandi darah terkena peluru-peluru yang dimuntahkan senapan dan meriam mus...



Sekejap saja tentara Pak Lesap banyak yang tersungkur dan tewas bermandi darah terkena peluru-peluru yang dimuntahkan senapan dan meriam musuhnya. Mereka terus ditekan dan tidak diberi kesempatan untuk mengadakan perlawanan. Orang-orang Sampang dan Baliga yang sebelumnya berdiri dibelakang Pak Lesap akhirnya menyerah pada Pangeran Cakraningrat V. Hanya tinggal orang-orang Pamekasan dan Sumenep yang terus bertahan dipihak Pak Lesap.

Para Menteri Pak Lesap yang empat puluh orang sekarang mulai khawatir dan berkata kepada Pak Lesap : Kami rasa bahwa kemenangan sekarang bukan lagi dipihak kita. Orang-orang Sampang dan Baliga sudah menyerah kepada musuh. Apalagi sekarang Pangeran Cakraningrat sedang membawa tombak pusaka si Nanggala dan si Talagura.

Kedua pusaka sakti itu sekarang telah terhunus dan mengeluarkan warna merah membara. (Ceritera orang-orang kuno bahwa, kalau kedua pusaka itu dibawa berperang dan dari padanya keluar warna merah membara maka itu pertanda bahwa perang akan dimenangkan). Maka itu kalau jadi kerelaan paduka lebih baik mari kita kembali saja ke Sumenep. Paduka menjadi Raja di Sumenep dan Pamekasan dan dari sana nanti kita atur perlawanan lagi. Kalau sekarang besar kemungkinan kita akan kalah. Paduka bersama kami dan seluruh lasykar sudah tentu akan tewas secara menyedihkan.

Pak Lesap : Ayo, sekarang aku yang akan menghadapinya sendiri dan saksikan tentang keprajuritanku. Keempat puluh Menteri Pak Lesap menuruti kehendak tuannya. Namun hati mereka tetap khawatir. Tak berapa lama kemudian maka terjadilah perang tanding. Tentara Pak Lesap maju lagi tapi dalam sekejap mereka tewas tertembus peluru Kompeni sedang sebagiannya lagi lari dan berlindung dibelakang Pak Lesap.

Dengan begitu kamudian Pak Lesap mengeluarkan kesaktiannya dan datanglah kemudian hujan deras dan angin kencang serta gelaplah arena pertempuran. Namun dengan hanya mengibas-ibaskan si Nenggala cuaca menjadi terang kembali. Keempat puluh Menteri Pak Lesap segera menyerang kelompok tentara Kompeni. Serangan mendadak itu mengakibatkan beberapa serdadu Kompeni maupun sejumlah Menteri Pak Lesap tewas.

Serdadu Kompeni yang masih tersisa maju kedepan, sedangkan beberapa Menteri dipihak Pak Lesap mundur. Pada saat mereka mundur itulah kemudian disambut dengan tombak oleh para Kapetteng yang sudah lebih dulu mengepungnya. Melihat kejadian itu Pak Lesap makin kalap. Ia keluarkan kesaktiannya lagi maka bersambaran-lah halilintar sehingga para serdadu Kompeni banyak yang pingsan.

Namun Pangeran Cakraningrat V tak beranjak dari tempatnya. Dikibaskannya lagi tombak si Nanggala maka lenyap pula petir-petir itu dari langit. Tentara Bangkalan merangsek semakin maju sedang sebaliknya musuh semakin mundur.
Pak Lesap berdoa lagi. Sekejap kemudian datanglah beribu-ribu tentara dengan rupa bermacam-macam. Mereka adalah bangsa jin. Tetapi dengan sekali kibasan tombak si Nanggala dan si Talagura maka makhluk jadi-jadian itupun musnah. Merasa usahanya gagal maka kemudian Pak Lesap mengamuk dengan senjata Kodhi’. Senjata itu selanjutnya dilepas oleh Pak Lesap maka tersungkurlah berpuluh-puluh prajurit Bangkalan yang tertebas lehernya oleh senjata itu.

Senjata Kodhi’ itu kemudian terbang kearah Cakraningrat namun dengan cekatan si Pangeran mengibaskan si Nanggala sehingga senjata Pak Lesap itu patah dan jatuh ketanah. Senjata itu kemudian diambil oleh seorang Menteri dan diserahkan pada Pangeran Cakraningrat. Dengan peristiwa itu pucatlah wajah Pak Lesap.

Bala tentara Bangkalan kemudian maju sambil bersorak-sorai sampai-sampai tentara Pak Lesap tinggal sedikit. Saat itu tentara Pak Lesap bermaksud menyerah, tetapi Pak Lesap sendiri masih terus melakukan perlawanan. Akhirnya Pak Lesap maju kearah Cakraningrat dengan menusukkan senjatanya. Tetapi pada jarak kira-kira satu tombak Pak Lesap disambut dengan si Nanggala oleh Pangeran Cakraningrat. Pak Lesap terkena dadanya, jatuh tersungkur terus meninggal.

Pangeran Cakraningrat V lalu turun dari kudanya dan memotong kepala Pak Lesap. Sedangkan tubuh Pak Lesap diikat dijembatan Ormang yang letaknya disebelah timur benteng. Sesudah Pak Lesap tewas sisa tentaranya lari menyelamatkan diri.

Dilain tempat yaitu dinegara Sumenep, setelah Pangeran Cakranagara meloloskan diri lalu diganti oleh seorang Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtanagara. Dia adalah adik Pangeran Jimat. Sedangkan yang menjadi Patihnya ialah saudara sepupunya sendiri yang lebih tua bernama Raden Purwanagara.

Sementara saat itu ada pula seorang alim dan keramat bergelar Pangeran Katandur (nama ini diambil dari kesukaannya terhadap tanam-tanaman, tandur = menanam atau nandur). Ia adalah putera Panembahan Pakaos dinegara Kudus. Panembahan Pakaos ini adalah anak Sunan Kudus atau cucu Sunan Andung. Sunan Andung bersaudara dengan Sunan Paddusan di Sumenep, sama-sama putera Usmanhaji.

Diceriterakan bahwa pada saat Pangeran Katandur tiba di Sumenep keadaan negara ini sedang ditimpa kekeringan. Tanaman kering bertahun-tahun. Melihat itu Pangeran Katandur lalu turun kesawah ikut bertani. Hasil tani Pangeran ini sangat melimpah sehingga sebagian hasilnya dibagi-bagikan kepada para petani disekitarnya.

Oleh sebab itu banyak petani yang berusaha untuk bisa dekat dengannya sebab tanaman lain banyak yang gagal. Mereka juga ingin tahu ilmu dan tatacara bertani disamping ada pula yang minta jimat demi keberhasilan usaha taninya. Orang-orang yang datang ke Pangeran Katandur konon banyak yang berhasil sehingga ia dikenal oleh orang-orang termasuk dari negara lain.

Tiap hari tak ada putusnya orang yang berkunjung kerumah Pangeran itu sekaligus banyak pula yang belajar kitab suci Alqur’an serta kitab-kitab pelajaran agama Islam lainnya. Mulai saat itu orang-orang Sumenep lalu banyak yang taat beribadah dan beriman. Siapa saja yang dekat dengan Pangeran Katandur dan taat mengikuti perintahnya banyak yang makmur hidupnya sedangkan yang tidak tentu akan selalu menemui kesulitan.

Pangeran Katandur ini katanya seorang wali Allah dan bertuah ucapan-ucapannya. Maka dari itu tentang kekeramatannya masih ada tanda-tandanya sampai sekarang dengan masih banyaknya orang yang berziarah kemakamnya.

Pangeran Katandur mempunyai tiga orang putera : 

  1. Kiai Hatib Paddusan, bertempat tinggal di kampung Paddusan.
  2. Kiai Hatib Sendang, berdiam di Sendang. Sampai sekarang Sendang masih tetap menjadi pesantren dan banyak santri yang belajar ilmu agama Islam disana.
  3. Kiai Hatib Karanggan, berdiam di kampung Karanggan. 

(bersambung)


xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Mungkin Menarik