![]() |
| Protret Kepala Desa di Madura (Wikipedia) |
Sejarah Madura menyimpan catatan panjang tentang ketangguhan rakyatnya menghadapi berbagai tekanan politik, ekonomi, dan sosial dari rezim kolonial yang datang silih berganti. Selain kekerasan fisik dan penguasaan tanah, tekanan terbesar yang dirasakan masyarakat Madura selama masa penjajahan adalah beban pajak yang sangat memberatkan. Pajak—yang semestinya menjadi instrumen pembangunan dan kesejahteraan—justru berubah menjadi alat eksploitasi ekonomi yang sistematis, menjerat petani, nelayan, pedagang, hingga kaum buruh di tingkat paling bawah.
Dalam periode panjang sejak VOC, Inggris, Belanda, hingga Jepang, pola pajak yang diterapkan memang berubah-ubah. Namun esensinya sama: memaksimalkan keuntungan kolonial dengan menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi. Madura, yang secara geografis tandus dan penduduknya mengandalkan pertanian subsisten serta perdagangan kecil, menjadi salah satu wilayah yang merasakan dampak paling keras dari kebijakan-kebijakan itu.
Artikel ini menguraikan berbagai fase pajak yang diterapkan di Madura selama masa penjajahan—khususnya pada era Raffles (Inggris), masa Belanda, serta kebijakan pajak lokal yang tercatat dalam sumber tradisional—serta respon perlawanan yang muncul dari masyarakat. Penjelasan disusun untuk memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana sistem pajak kolonial bukan hanya memberatkan secara ekonomi, tetapi juga menciptakan luka sosial yang dalam bagi masyarakat Madura.
Madura di Bawah Kolonialisme: Sebuah Gambaran Umum
Madura bukan wilayah yang dianugerahi tanah subur seperti sebagian besar Jawa. Keterbatasan alam membuat kehidupan ekonomi masyarakat sangat bergantung pada kerja keras dan kecermatan mengelola sumber daya. Ketika pajak kolonial diberlakukan, beban itu menjadi berlipat ganda.
Sejak abad ke-18, pemerintah kolonial memandang Madura sebagai wilayah strategis yang mampu memberikan pemasukan tinggi, terutama karena penduduknya dikenal disiplin bekerja dan patuh pada struktur pemerintahan lokal. Sayangnya, perspektif itu justru membuat Madura menjadi sasaran empuk kebijakan pajak yang keras. Kolonial melihat rakyat Madura sebagai tenaga kerja murah serta sumber pungutan yang stabil.
Penerapan pajak akhirnya menjadi perangkat utama kolonial untuk menguras kekayaan rakyat. Bahkan dalam beberapa fase, pajak tidak hanya dikenakan dalam bentuk uang atau hasil bumi, tetapi juga berupa tenaga kerja paksa yang menghilangkan hak asasi manusia rakyat Madura.
Masa Raffles dan Sistem Landrente (1811–1816)
Ketika Inggris mengambil alih Hindia Belanda pada 1811, Thomas Stamford Raffles membawa konsep baru dalam administrasi perpajakan. Ia mempromosikan sistem landrente, yaitu pajak tanah yang bersifat individual dan langsung dibebankan kepada petani. Sistem ini dianggap lebih modern dibanding sistem tradisional yang berbasis komunal atau feodal, namun kenyataannya tetap memberatkan masyarakat.
a Pajak berdasarkan kesuburan tanah
Landrente menilai bahwa setiap jengkal tanah milik rakyat harus dikonversi menjadi kewajiban pajak. Pada praktiknya, Raffles menetapkan bahwa petani wajib membayar 1/5 hingga 1/3 dari hasil panennya, baik dalam bentuk uang maupun barang. Di Madura, tanah relatif kurang produktif. Namun sistem Inggris tidak mempertimbangkan kondisi ini secara memadai. Akibatnya, meskipun hasil panen tidak seberapa, pajak tetap ditarik dengan jumlah yang sama seperti di wilayah yang lebih subur.
Bagi petani Madura yang mengandalkan musim hujan dan ladang tadah hujan, kewajiban pajak sebesar itu adalah pukulan telak. Banyak keluarga kehilangan cadangan pangan untuk setahun hanya agar dapat memenuhi tuntutan kolonial.
b Eliminasi peran elite lokal
Raffles berusaha menghapus peran bangsawan dan bupati dalam urusan pajak. Hal ini memotong struktur feodal, tetapi juga menciptakan kekosongan dalam sistem distribusi dan supervisi. Petani yang selama ratusan tahun berinteraksi dengan penguasa lokal kini harus berhadapan langsung dengan pejabat kolonial yang tidak memahami kondisi sosial mereka.
Untuk rakyat Madura, perubahan ini tidak hanya membuat pajak berat, tetapi juga membingungkan. Mereka tidak terbiasa dengan administrasi formal. Perubahan mendadak ini memicu ketidakpastian dan kecemasan karena salah sedikit saja bisa dituduh melawan pemerintah dan dikenakan hukuman.
c Dampak sosial ekonomi pada rakyat Madura
Beban pajak yang tinggi menyebabkan:
- Berutang kepada tengkulak atau pedagang Cina untuk membayar pajak.
- Migrasi sementara ke Jawa untuk mencari kerja tambahan.
- Penurunan produksi pangan, karena sebagian besar panen diserahkan untuk pajak.
- Meningkatnya angka kemiskinan, terutama di kalangan petani kecil.
Sistem pajak Inggris yang dianggap modern ini pada akhirnya tidak membawa kesejahteraan, melainkan menambah penderitaan rakyat Madura.
Kembalinya Belanda dan Rezim Pajak yang Lebih Represif
Setelah Inggris menyerahkan kembali Hindia Belanda pada 1816, pemerintahan kolonial Belanda segera merevisi berbagai kebijakan, termasuk sistem pajak. Jika landrente Raffles dianggap berat, pajak ala Belanda justru lebih represif dan sistemik.
a Pajak kepala (hoofdelijke belasting)
Ini adalah pajak yang paling mengerikan bagi rakyat Madura. Pajak kepala mewajibkan setiap orang dewasa, tanpa memandang kaya miskin, untuk membayar sejumlah uang setiap tahun. Besarnya pajak tidak memperhitungkan kemampuan ekonomi. Masyarakat dengan pendapatan tidak stabil tetap harus membayar.
Bagi rakyat Madura yang ekonominya bertumpu pada musiman, pajak kepala menjadi momok. Banyak keluarga terjerat hutang permanen hanya demi membayar pajak.
b Pajak tanah, pajak rumah, pajak usaha
Selain pajak kepala, terdapat berbagai pungutan lain yang membuat beban ekonomi semakin berat:
- Pajak tanah, sering kali ditetapkan tanpa kompromi meskipun tanah tidak produktif.
- Pajak rumah, yang mengharuskan rakyat membayar berdasarkan ukuran rumah.
- Pajak usaha, membebani pedagang kecil dan pengrajin.
Hubungan rakyat dengan kolonial menjadi semakin renggang. Ketidakadilan dan pemaksaan menjadi wajah utama pemerintahan Belanda di Madura.
c Eksploitasi tenaga kerja
Selain pajak dalam bentuk uang dan hasil bumi, Belanda juga menerapkan kebijakan kerja paksa (heerendiensten), terutama untuk pembangunan infrastruktur dan perkebunan. Di Madura, kerja paksa sering kali digunakan untuk membangun jalan, gudang garam, dan fasilitas militer.
Tenaga kerja dipungut secara paksa sebagai bentuk “kewajiban pajak”, sehingga tidak selalu tercatat sebagai pajak resmi. Namun bagi rakyat, ini sama saja: mereka kehilangan waktu, tenaga, dan kesempatan untuk bekerja demi keluarga sendiri.
Pajak Tradisional dalam Babad Madura
Di luar pajak kolonial, Madura memiliki sistem pajak lokal yang sudah berjalan sejak masa kerajaan dan kadipaten. Babad Madura mencatat adanya berbagai jenis pajak pasangan dan pungutan lain yang ditetapkan oleh raja atau adipati.
Namun yang membedakan pajak lokal dengan pajak kolonial adalah:
- Pajak lokal cenderung bersifat sosial dan komunal, bukan eksploitatif.
- Pajak dipungut berdasarkan kemampuan dan kesepakatan adat.
- Hasil pajak dipakai untuk kepentingan publik dan upacara keagamaan.
Bagi masyarakat, pajak lokal bukan beban mematikan seperti pajak kolonial. Ketika Belanda mengambil alih kewenangan pajak dan menghapus struktur lokal, masyarakat kehilangan ruang negosiasi dan perlindungan.
Pajak sebagai Pemicu Perlawanan
Beban pajak yang sangat berat memicu berbagai bentuk perlawanan dari rakyat Madura. Penolakan terhadap pajak terjadi karena:
- Pajak dikenakan pada semua aset, termasuk sawah, ternak, bahkan hasil hutan.
- Ketidakadilan dalam penentuan besar pajak.
- Kekerasan dalam proses penagihan oleh mandor dan pejabat kolonial.
a Perlawanan ulama
Di Madura, ulama memegang otoritas moral dan spiritual yang tinggi. Banyak ulama menjadi pemimpin protes terhadap pajak kolonial, karena pajak dianggap zalim dan bertentangan dengan keadilan sosial dalam ajaran Islam.
Ulama menyerukan untuk:
- Menolak pembayaran pajak yang tidak adil.
- Mengorganisir solidaritas masyarakat.
- Melakukan negosiasi dengan pejabat lokal kolonial.
Dalam beberapa kasus, penolakan pajak berubah menjadi gerakan perlawanan bersenjata.
b Bentuk perlawanan masyarakat
Perlawanan rakyat Madura umumnya bersifat spontan namun solid, antara lain:
- Menghindari petugas pajak dengan berpindah ke daerah pegunungan.
- Mengurangi lahan garapan agar pajak tidak terlalu besar.
- Mengalihkan pekerjaan menjadi pelaut atau perantau ke luar Jawa.
- Gerakan sosial melalui masjid dan pesantren.
Kolonial sering merespon perlawanan ini dengan intimidasi dan hukuman.
Masa Jepang: Pajak yang Lebih Kejam
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, rakyat Madura berharap kondisi ekonomi berubah. Namun kenyataannya rezim Jepang menerapkan pajak dan kerja paksa lebih keras daripada Belanda.
a Pajak bahan pangan
Jepang mewajibkan rakyat menyerahkan hasil pertanian berupa padi, jagung, dan ternak. Jumlahnya besar dan merampas cadangan pangan rakyat. Akibatnya terjadi kelaparan di beberapa daerah.
b Romusha sebagai pajak tenaga
Bagi Jepang, tenaga rakyat adalah komoditas paling berharga. Gerakan Romusha dianggap sebagai “kewajiban rakyat” atau bentuk pajak tenaga. Ratusan ribu orang dari Madura dikirim untuk proyek militer Jepang. Banyak yang tidak kembali.
c Pengawasan militer yang keras
Tidak seperti Belanda, Jepang mengawasi pungutan pajak dengan disiplin militer:
- Warga dipaksa setor hasil bumi.
- Tidak ada ruang negosiasi.
- Hukuman langsung diterapkan tanpa proses.
Rakyat Madura berada dalam kondisi mental dan fisik paling sulit selama masa Jepang.
Desentralisasi dan Perubahan Sistem Pajak di Abad ke-20
Memasuki awal abad ke-20, di bawah tekanan internasional dan pertumbuhan birokrasi modern, Belanda mulai menerapkan kebijakan desentralisasi. Hal ini membawa perubahan dalam sistem pajak.
a Penghapusan sebagian pajak memberatkan
Beberapa pajak yang paling menyakitkan, seperti pajak kepala dan pajak rumah tangga, mulai dihapus pada dekade awal 1900-an. Namun prosesnya bertahap dan tidak sepenuhnya meringankan rakyat.
b Pengenalan pajak baru yang lebih ringan
Pemerintah kolonial memperkenalkan iuran kecil yang tidak terlalu membebani rakyat. Meski demikian, pajak ini tetap dikontrol ketat oleh kolonial.
c Perubahan peran raja dan bupati
Sejak awal abad ke-20, raja dan bupati di Madura digaji oleh pemerintah kolonial dan dijadikan bagian dari administrasi resmi. Mereka tidak lagi punya kebebasan menentukan pajak lokal. Perubahan ini:
- Mengurangi otonomi lokal.
- Membuat elite Madura menjadi alat kolonial.
- Mengubah hubungan rakyat–penguasa.
Dampak Jangka Panjang: Luka Ekonomi dan Sosial
Sistem pajak di masa penjajahan meninggalkan bekas panjang bagi masyarakat Madura.
a Tradisi merantau
Beban pajak dan minimnya peluang ekonomi membuat banyak orang Madura memilih merantau ke Kalimantan, Sumatera, hingga Malaysia. Tradisi ini berlanjut hingga masa kini.
b Pola ekonomi subsisten
Masyarakat enggan menyimpan materi berlebih karena takut dikenai pajak berlebih, sebuah trauma sosial yang diwariskan antar generasi.
c Ketimpangan hubungan dengan penguasa
Sejak era kolonial, rakyat Madura menjadi skeptis terhadap kebijakan pemerintah pusat, terutama terkait ekonomi dan perpajakan. Pengalaman eksploitasi membuat mereka berhati-hati terhadap intervensi pemerintah.
Pajak Sebagai Luka Kolonial yang Tak Terhapuskan
Sejarah perpajakan di Madura pada masa penjajahan menunjukkan bahwa pajak bukan sekadar kewajiban administrasi, melainkan instrumen politik dan kontrol sosial. Inggris, Belanda, maupun Jepang sama-sama menggunakan pajak untuk mengeksploitasi rakyat.
Meski sistem pajak saat ini telah berubah dan lebih berkeadilan, ingatan kolektif tentang masa lalu tetap hidup dalam budaya, tradisi, dan cara pandang masyarakat Madura terhadap kekuasaan. Pajak pada masa penjajahan bukan hanya membebani, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan struktural yang pengaruhnya terasa sampai sekarang.
Penderitaan itu menjadi bukti bahwa kolonialisme tidak hanya merebut sumber daya, tetapi juga merusak struktur sosial dan spiritual masyarakat.
Dari perspektif ini, mempelajari sejarah pajak di Madura bukan hanya mengingat masa lalu, tetapi juga memahami bagaimana bangsa ini belajar membangun sistem perpajakan yang adil, manusiawi, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat—bukan sekadar kepentingan penguasa.
(babad_madura/ai)

