![]() |
| Ilustrasi Turnojoyo dalam imajinasi |
Dalam ingatan kolektif masyarakat Madura, nama Trunojoyo berdiri tegak laksana monumen yang tak lekang oleh zaman. Ia hadir bukan hanya sebagai sosok dalam catatan sejarah, melainkan sebagai representasi heroisme, keberanian, dan kegigihan orang Madura. Namanya menembus batas wilayah pulau kecil di timur Jawa itu, diabadikan di jalan-jalan protokol kota besar, di perempatan ramai, hingga pada sebuah universitas negeri yang berdiri megah di Bangkalan: Universitas Trunojoyo Madura.
Namun jejak sejarah tak selalu seragam. Di tengah puja-puji yang mengiringi nama besar itu, masih saja muncul suara yang menyangsikan: benarkah Trunojoyo seorang pahlawan? Apakah gelar hero yang terlanjur disematkan padanya memang pantas ia sandang? Atau kah ia sekadar petualang politik yang mengambil momentum dan menuai badai?
Tulisan ini mencoba menelusuri kembali jalan panjang sang tokoh. Menyusuri setiap alur, merekam setiap simpangan, dan memotret Trunojoyo sebagai manusia: dengan segala kecemerlangan, kelicikan, idealisme, atau bahkan ambisinya.
Masa Kecil: Antara Istana dan Padang Kerbau
Trunojoyo lahir dari lingkungan bangsawan, tetapi tak serta-merta hidup sebagai pangeran istana. Ia adalah cucu Panembahan Cakraningrat I, raja Madura yang berpengaruh. Namun ayahnya, Demang Melaya, hanya seorang dari sembilan putra raja yang dilahirkan oleh seorang selir. Status itu membuat posisi keluarga kecil ini tidak begitu diperhitungkan di lingkungan istana.
Maka tak heran bila masa kecil Trunojoyo tumbuh jauh dari glamor kemegahan. Ia lebih sering berkawan dengan alam: dengan debu padang, dengan suara angin, dengan seekor kerbau kesayangannya yang konon memiliki kesaktian. Dari halaman inilah, karakter keras, teguh, dan tak mudah tunduk itu dibentuk.
Menginjak remaja, Trunojoyo menjelma menjadi pemuda gagah. Celurit adalah identitas sekaligus simbol harga diri. Tetapi lebih dari itu, ia memiliki sesuatu yang istimewa: bakat memimpin. Caranya bergaul, cara ia mendekati orang-orang, membangun kepercayaan, mempengaruhi mereka—semua berlangsung begitu alami. Kelak, karisma inilah yang menjadikannya tokoh sentral dalam pergolakan besar Madura–Mataram.
Bara di Madura dan Kejatuhan Cakraningrat II
Ketika dewasa, Trunojoyo menyaksikan bagaimana Madura kehilangan martabatnya di tangan pemimpinnya sendiri. Cakraningrat II, penguasa Madura saat itu, dianggap terlalu patuh kepada Mataram. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di pusat kekuasaan kerajaan Jawa itu, sehingga nasib rakyat Madura terabaikan.
Dalam pandangan Trunojoyo, kondisi ini tak bisa dibiarkan. Madura seolah hanya pelengkap kekuasaan orang lain—tanah garam dijadikan kepanjangan tangan kepentingan politik Mataram. Masyarakat mulai gelisah, kecewa, dan membutuhkan tokoh yang siap berdiri di depan.
Gayung bersambut. Ketika Trunojoyo menggulirkan niat untuk menurunkan Cakraningrat II, dukungan mengalir begitu deras. Rakyat yang sekian lama terpinggirkan tak ragu mengangkat senjata bersama pemuda bertubuh kekar itu. Tanpa perlawanan berarti, Cakraningrat II dilengserkan dan diasingkan ke Lodaya, Kediri.
Sejak saat itu, Trunojoyo naik menjadi penguasa Madura.
Namun roda sejarah bergerak dengan logika yang tak pernah sederhana. Jika seseorang menabur angin, ia harus bersiap menuai badai. Begitu pula dengan Trunojoyo.
Amangkurat Murka, Mataram Bergolak
Lengsernya Cakraningrat II bukan hanya pergolakan lokal. Itu adalah pukulan telak bagi Mataram yang tengah dipimpin Amangkurat I. Cakraningrat II adalah sekutu, bahkan lebih dari itu: ia adalah kaki tangan kerajaan Jawa. Hilangnya Cakraningrat II berarti hilangnya kendali Mataram atas Madura, wilayah yang penting secara ekonomi dan militer.
Tak terhindarkan, Mataram murka.
Pasukan besar dikirim. Amangkurat II, putra raja, mendapat mandat memimpin serangan ke Madura demi menumpas “pemberontakan” Trunojoyo. Namun sejarah kembali menunjukkan bahwa peperangan bukan hanya ditentukan oleh senjata dan jumlah pasukan, tetapi juga strategi, kelicikan, dan kemampuan membaca peluang.
Peristiwa berikutnya justru lebih dramatis dari yang dibayangkan.
Ketika pasukan Mataram hampir memasuki Madura, kabar mengejutkan menyergap Amangkurat I: pasukan yang dikirimnya justru berbalik arah, memihak Trunojoyo, dan bersama-sama menyerbu pusat pemerintahan Mataram.
Amangkurat I melarikan diri hingga ke arah barat, jatuh sakit, dan wafat di Tegal.
Dua Wajah Trunojoyo: Negarawan atau Serdadu?
Kisah dramatis pergolakan Madura–Mataram yang ditulis oleh Risang Bima Wijaya (Radar Madura, 1/10/1999) seakan membuka ruang tafsir yang luas tentang siapa sebenarnya Trunojoyo. Setidaknya ada dua persepsi yang berkembang.
- Trunojoyo Sang Negarawan dan Diplomat Ulung
Dalam persepsi pertama, Trunojoyo dipandang sebagai negarawan idealis. Ketika melihat rakyatnya terpuruk, ia tak tinggal diam. Ia berani mengambil risiko besar: menggulingkan penguasa yang dinilai hanya menjadi perpanjangan tangan kekuatan lain.
Ada yang menarik: Trunojoyo tidak membunuh Cakraningrat II meski ia punya kekuatan untuk melakukannya. Ia memilih mengasingkannya. Langkah yang—dalam kacamata politik masa itu—sangat luar biasa. Sebuah isyarat bahwa Trunojoyo tidak berjuang demi dendam, tetapi demi martabat rakyatnya.
Ketika Mataram hendak menyerbunya, Trunojoyo kembali menunjukkan kecerdikan politik. Ia tidak frontal melawan. Ia tidak gegabah. Sebaliknya, dengan seni diplomasi yang tinggi, ia berhasil mempengaruhi Amangkurat II untuk berbalik menyerang ayahnya sendiri.
Tawaran itu sangat menggiurkan bagi seorang putra mahkota yang ingin cepat menjadi raja.
Dalam narasi ini, Trunojoyo tampil sebagai tokoh visioner, memainkan catur politik dengan elegan. Ia mampu mélange kekuatan militer dan diplomasi dalam satu napas.
- Trunojoyo Sang Serdadu Gagah Berani, Tak Gentar Perang
Persepsi kedua menampilkan wajah lain Trunojoyo: ia adalah serdadu keras, pemberani, agresif, dan memiliki naluri bertarung yang kuat. Dengan kesaktian yang melegenda dan tubuh perkasa, ia selalu memilih paradoks paling berani: menyelesaikan konflik di medan perang.
Dalam perspektif ini, Trunojoyo tetap cerdik, tetapi tindakan-tindakannya dilihat lebih sebagai hasil dari naluri berperang ketimbang ketajaman politik.
“Petualangan politiknya”—demikian sebutan sebagian peneliti—bermula ketika ia menggulingkan Cakraningrat II. Mereka berpendapat bahwa ia sebenarnya bisa menempuh jalan yang lebih soft, lebih diplomatis, lebih arif. Namun instingnya yang meledak-ledak dan ketidaksabarannya terhadap kebijakan Cakraningrat II membuatnya menempuh jalur kudeta.
Ia berperang melawan Mataram, melawan Belanda, melawan musuh-musuh politiknya. Beberapa kali menang, sebelum akhirnya tumbang di tangan orang yang sempat ia bantu naik ke singgasana: Amangkurat II. Ironi sejarah yang pahit, tetapi tak asing di tanah Jawa.
Trunojoyo dalam Memori Kolektif Orang Madura
Terlepas dari berbagai sudut pandang itu, satu hal tak bisa disangkal: nama Trunojoyo telah terukir dalam sejarah Madura. Ia adalah simbol keberanian. Simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Simbol harga diri.
Dari Kamal hingga Kalianget, dari pelosok Bangkalan hingga bukit-bukit Sapudi, kisah Trunojoyo hidup di tengah masyarakat. Ia bukan hanya tokoh sejarah—ia telah menjadi bagian dari identitas orang Madura.
Namun zaman telah berubah. Pertanyaan-pertanyaan baru muncul. Perdebatan tentang apakah ia pahlawan atau tidak kadang berbenturan dengan narasi nasional, akademik, dan romantisme budaya.
Apakah persepsi negatif tentang dirinya akan menggerus citra heroik yang terlanjur melekat begitu dalam?
Pertanyaan itu tidak perlu dijawab tergesa-gesa.
Mungkin yang perlu dilakukan adalah menatap sosok Trunojoyo dengan lebih jernih. Tidak harus memujanya secara membabi buta. Tidak pula menjelek-jelekkan hanya karena sebagian catatan sejarah menampilkan sisi gelapnya.
Setiap pahlawan memiliki dua wajah. Setiap tokoh besar membawa cahaya sekaligus bayangan. Di sanalah letak kemanusiaan mereka.
Menghargai Warisan Kepahlawanan
Dalam konteks sejarah dan budaya, Trunojoyo bukan hanya milik Madura, melainkan bagian dari mosaik perjuangan di Nusantara. Ia adalah cermin dari sebuah zaman ketika kekuasaan bergolak, ketika nilai-nilai kesetiaan diuji, ketika keberanian menjadi taruhan hidup dan mati.
Heroisme Trunojoyo tak tunggal. Ia adalah perpaduan:
- antara keberanian dan ambisi,
- antara kecerdikan dan kelicikan,
- antara diplomasi dan perang,
- antara harapan rakyat dan pergulatan batin pribadi.*
Tetapi bukankah justru kompleksitas itulah yang menegaskan kemanusiaannya?
Pada akhirnya, kisah Trunojoyo mengajak kita untuk melihat nilai kepahlawanan dengan lebih arif. Bahwa seorang pahlawan bukan berarti tanpa cela. Bahwa tokoh besar tak selalu hidup dalam garis lurus antara kebaikan dan keburukan. Dan bahwa setiap warisan sejarah perlu dihargai sebagai cermin perjalanan bangsa.
Madura, dengan segala gurat tradisi dan keberaniannya, telah melahirkan satu sosok yang namanya tak akan pernah selesai dibaca.
Dan di tanah garam itu, nama Trunojoyo akan terus berdiri—sebagai kisah, sebagai simbol, sebagai inspirasi.
(dari beberapa sumber)

