Langsung ke konten utama

SARONEN: Musik Tradisional Madura yang Menjadi Identitas Budaya dan Iringan Sakral Kerapan Sapi


Oleh: Lilik Rosida Irmawati

Ketika menyaksikan berbagai atraksi kesenian di Pulau Madura, satu instrumen musik yang hampir tidak pernah absen adalah Saronen. Suaranya yang melengking kuat, melompat-lompat, dan berenergi tinggi menjadi ciri utama orkes musik tradisional Madura yang sangat digemari. Saronen bukan sekadar instrumen musik, melainkan identitas budaya yang melekat pada kehidupan sosial masyarakat Madura—baik dalam upacara adat, hiburan rakyat, maupun ritual-ritual keagamaan.

Meski terdiri dari perpaduan berbagai alat musik tradisional, Saronen tetap menjadi pusat perhatian karena karakter suaranya yang khas dan kemampuan menghadirkan nuansa emosional yang beragam: dari semangat, riang, gagah, hingga khidmat. Tak berlebihan jika musik ini disebut musik serba guna yang memainkan peran penting dalam sejarah panjang budaya Madura.

Asal-usul Saronen: Dari Media Dakwah Menjadi Musik Rakyat Madura

Menurut tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat, orkes Saronen lahir di Desa Sendang, Kecamatan Pragaan, Sumenep. Nama Saronen diduga berasal dari kata Senninan—yang berarti hari Senin. Pada masa lalu, hari pasaran Senin dipilih sebagai waktu bermainnya orkes ini.

Pencipta orkes Saronen adalah Kyai Khatib Sendang, cicit dari Sunan Kudus. Sang kyai dikenal sebagai tokoh penyebar Islam yang sangat kreatif dan mampu memadukan pendekatan dakwah dengan unsur seni budaya. Pada masa itu, ia memperkenalkan ajaran Islam melalui pertunjukan orkes Saronen di ruang publik.

Pertunjukan biasanya dibuka dengan kemunculan dua badut yang menari, menyanyi, dan melawak. Materi lawakan sering memuat kritik sosial dan sindiran politik, sehingga menarik perhatian masyarakat. Untuk membangun suasana meriah, dimainkanlah musik pengiring yang ceria dan dinamis. Ketika kerumunan sudah terkumpul, barulah Kyai Khatib menyampaikan ceramah agama. Dakwah kreatif ini terbukti sangat efektif hingga banyak masyarakat yang kemudian memeluk Islam.

Selain sebagai media dakwah, Kyai Khatib menciptakan karakter musik Saronen selaras dengan sifat dasar masyarakat Madura yang dikenal tegas, jujur, lugas, dan bersemangat, sehingga irama mars menjadi pilihan utama. Sejak itu, Saronen berkembang pesat dan menjadi musik rakyat Madura yang tetap eksis hingga kini.

Komposisi dan Ciri Khas Instrumen Saronen

Pada awalnya, orkes Saronen dimainkan dengan sembilan jenis instrumen, yang secara simbolik melambangkan sembilan huruf pembentuk kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”.

Sembilan alat musik utama orkes Saronen:

  • Satu Saronen (alat musik tiup utama)
  • Satu gong besar
  • Satu kempul
  • Satu kenong besar
  • Satu kenong sedang
  • Satu kenong kecil
  • Satu korca
  • Satu gendang besar
  • Satu gendang dik-gudik (kecil)

Saronen sendiri terbuat dari kayu jati dengan tujuh lubang nada (enam di depan, satu di belakang). Bagian ujungnya menggunakan kayu siwalan serta lidah gandanya yang dipasang dengan penjepit daun pohon siwalan. Di bagian pangkalnya terdapat hiasan dari tempurung kelapa berbentuk kumis—menjadi ciri khas estetika alat musik ini. Instrumen tiup ini diyakini berkembang dari alat musik Timur Tengah yang masuk ke Nusantara melalui jalur dakwah Islam.

Seiring perkembangan zaman, komposisi instrumen mengalami perubahan: dari sembilan menjadi dua belas instrumen, dengan penambahan satu Saronen dan satu kempul. Jumlah pemain pun menyesuaikan: versi lama dimainkan oleh sembilan orang, sementara versi modern dimainkan oleh dua belas orang penabuh.

Irama Saronen: Dinamis, Energik, dan Penuh Semangat

Irama khas Saronen adalah irama mars (sarka’), yaitu irama cepat dan menghentak yang menghadirkan suasana semarak. Musik ini menjadi pengiring utama berbagai prosesi budaya Madura, seperti:

  • Kerapan sapi
  • Atraksi Sapi Sono’
  • Atraksi Kuda Kenca’
  • Prosesi pernikahan
  • Upacara ritual di makam keramat
  • Penyambutan tamu kehormatan
  • Festival budaya dan hiburan rakyat

Selain irama mars, orkes Saronen juga mampu memainkan dua jenis irama lain:

  1. Irama Lorongan Jhalan (sedang)

Digunakan saat perjalanan prosesi, mengiringi arak-arakan, atau dalam kegiatan ritual adat.

  1. Irama Lorongan Toju’ (slow)

Memainkan lagu melankolis yang lembut, biasanya untuk mengiringi pengantin menuju pelaminan atau menggambarkan rasa haru dan rindu.

Suara pembuka permainan biasanya dimainkan secara solo oleh alat musik Saronen, lalu disusul tabuhan gendang dan kenong yang menyatu dalam harmoni. Tempo permainan bergerak variatif—lambat, sedang, dan sangat cepat—dan diakhiri dengan penghentian nada secara serentak.

Pertunjukan Visual dan Estetika Panggung

Pesona orkes Saronen bukan hanya terletak pada komposisi musiknya, tetapi juga pada penampilan visual para pemainnya. Pada acara ritual, pemain biasanya mengenakan Odheng Madura dan sarung batik, atau pakaian hitam longgar khas petani Madura. Sementara kelompok muda tampil lebih modern dengan rompi berhias rumbai emas, pakaian warna cerah, kacamata hitam, dan topi lakan.

Perpaduan musik dan performa fisik terlihat ketika para pemain berjalan mengikuti irama musik dengan langkah-langkah pendek sambil berlenggak-lenggok, menciptakan tontonan atraktif yang menghibur.

Eksistensi Saronen di Era Modern

Meskipun berakar pada tradisi, musik Saronen masih sangat diminati generasi muda Madura. Bahkan banyak kelompok musik memadukan Saronen dengan genre-genre modern seperti pop, dangdut, keroncong, rock, tembang karawitan hingga musik kontemporer. Kreativitas aransemen dan improvisasi musikal menjadikan Saronen tetap relevan dan tidak tergerus zaman.

Fleksibilitas inilah yang membuat musik Saronen terus bertahan sebagai warisan budaya takbenda yang berharga. Ia tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi simbol identitas, kebanggaan sosial, serta medium perekat budaya masyarakat Madura.

Saronen merupakan salah satu kekayaan budaya penting di Nusantara—bukan sekadar alat musik tradisional, tetapi cermin karakter masyarakat Madura yang penuh semangat, terbuka, dan tangguh. Perjalanan sejarahnya dari media dakwah hingga menjadi ikon budaya menunjukkan bagaimana seni dapat berperan sebagai jembatan sosial dan spiritual.

Menjaga kelestarian Saronen berarti menjaga warisan budaya, mempertahankan identitas, serta menghormati perjalanan panjang tradisi Madura yang masih terus hidup dan berkembang.

Editor: Syaf Anton

© 2020 Babad Madura

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.