![]() |
| Sapi sono' saat dalam kontes |
Jika Anda berkesempatan mengunjungi Pulau Madura, Anda mungkin sudah familiar dengan riuh-rendah Kerapan Sapi—tradisi yang menampilkan kekuatan dan kecepatan sapi jantan dalam arena perlombaan. Sorakan massa, debu beterbangan, dan irama Saronen yang membakar semangat selalu menjadi magnet bagi para pengunjung. Namun, di balik kemegahan kerapan yang penuh energi itu, terdapat sebuah atraksi lain yang tidak kalah menawan, justru menawarkan sisi lain dari hubungan manusia dan hewan di Madura. Atraksi itu bernama Sapi Sono’, sebuah tradisi yang memperlihatkan kehalusan, keselarasan, dan keindahan gerakan sepasang sapi betina yang “menari” mengikuti irama musik tradisional.
Sapi Sono’ mungkin tidak sepopuler kerapan, namun bagi masyarakat Madura, atraksi ini memiliki nilai rasa yang tidak dapat digantikan. Jika kerapan adalah simbol keberanian dan kejantanan, Sapi Sono’ adalah simbol kelembutan, ketertiban, dan budi pekerti. Keduanya saling melengkapi, seperti dua sisi dari satu budaya yang sama.
Akar Tradisi: Ketika Petani Mencari Hiburan Pasca Panen
Tradisi Sapi Sono’ lahir dari keseharian petani Madura. Seusai musim panen, para petani biasanya memiliki waktu senggang yang panjang. Pada masa itu hiburan tidak mudah ditemukan. Maka, mereka mencari aktivitas yang dapat mengisi waktu, sekaligus tetap dekat dengan hewan ternak yang menjadi bagian penting kehidupan sehari-hari—sapi.
Sapi betina dipilih bukan tanpa alasan. Selain digunakan membajak sawah, sapi betina memiliki sifat lebih tenang, lebih peka, dan cenderung mudah diarahkan melalui pendekatan emosional. Dari sinilah lahir tradisi melatih sapi untuk menunjukkan gerakan yang indah dan selaras. Apa yang awalnya hanya hiburan sederhana, berkembang menjadi atraksi budaya yang memukau.
Tak hanya menjadi hiburan, tradisi ini ternyata membawa banyak manfaat lain. Melalui seleksi induk berkualitas dan perawatan intensif, kualitas ternak Madura meningkat. Bibit sapi betina yang terlatih menghasilkan anak-anak sapi yang sehat, kuat, dan memiliki karakter tenang. Selain itu, daging sapi yang dihasilkan dikenal lebih halus seratnya dan berkualitas tinggi.
Sapi Sono’: Simbol Kelembutan dalam Kebudayaan Madura
Berbeda dengan Kerapan Sapi yang menonjolkan kegagahan, Sapi Sono’ menonjolkan keselarasan dan estetika. Dua ekor sapi betina dipasangkan, dilatih untuk berjalan dalam ritme yang sama, mengangkat kaki bersamaan, dan melenggak-lenggok lembut seolah-olah sedang menari di atas panggung. Setiap gerakan adalah hasil dari kedekatan antara pelatih dan sapi—kedekatan yang dibangun melalui sentuhan, perhatian, dan kesabaran.
Tanpa berlebihan, banyak orang mengatakan bahwa Sapi Sono’ adalah simbol budi pekerti. Tradisi ini mengajarkan bahwa hewan tidak hanya bisa diperintah, tetapi juga diperlakukan sebagai makhluk yang memiliki rasa. Dengan perhatian penuh, sapi mampu merespons musik, mengikuti aturan tanpa paksaan, dan bergerak serasi dengan pasangannya.
Yang menarik, dalam lomba Sapi Sono’, menang atau kalah bukanlah tujuan utama. Peserta yang kalah sering kali tersenyum bangga menyaksikan keanggunan sapi milik lawannya. Tidak ada iri dan dengki. Semua merasa bangga bisa menampilkan hasil latihan panjang dengan sapi kesayangan mereka.
Kasih Sayang yang Menumbuhkan Kepekaan
Untuk menghasilkan sepasang Sapi Sono’ yang peka dan mampu “menari”, diperlukan perlakuan khusus sejak dini. Bahkan, banyak pemilik sapi memperlakukan sapi-sapinya layaknya anak sendiri—sebuah perlakuan yang kadang membuat istri cemburu karena perhatian suaminya lebih banyak tercurah kepada sapi daripada keluarga.
Perawatan Harian yang Telaten
Sejak umur satu bulan, calon sapi Sono’ dipilih berdasarkan beberapa kriteria:
- Kulit yang halus dan mulus
- Tanduk yang ideal bentuknya
- Postur tubuh yang proporsional dan seimbang
Setelah terpilih, sapi-sapi ini mendapat perlakuan istimewa:
- Dijaga setiap malam agar tidak digigit nyamuk
- Dielus dan dipijat sebelum tidur untuk membangun kedekatan emosional
- Diberi makanan berkualitas tinggi, seperti rumput pilihan dan nasi campur singkong
- Diberi minuman herbal dari kunyit, air kelapa, dan gula merah agar kulit tetap lembut dan bercahaya
Kedekatan inilah yang membuat sapi menjadi peka. Ia mengenali suara pelatih, merespon sentuhan, dan dapat diarahkan dengan lembut.
Proses Pelatihan: Sapi yang Belajar Menari
Pada usia dua bulan, sapi betina mulai memasuki tahap pelatihan. Proses ini dilakukan secara bertahap dan sangat sabar.
Tahap Pertama: Pengenalan Gerak
Di tahap awal, sapi dicancang pada tonggak khusus di panggung latihan. Di sini sapi dilatih untuk:
- Mengangkat kaki depan secara bergantian
- Mengangkat kaki depan secara bersamaan
- Mengikuti komando lembut pelatih
Gerakan ini bukan untuk menunjukkan kekuatan, tetapi untuk membangun ketepatan ritme.
Tahap Kedua: Pengenalan Musik
Sapi diperkenalkan dengan alunan musik Saronen, yang menjadi pengiring utama dalam atraksi. Awalnya, musik diperdengarkan melalui tape recorder. Lama-kelamaan, sapi akan mengasosiasikan musik dengan gerakan yang harus dilakukan. Mereka menjadi peka terhadap nada, ritme, dan tempo.
Tahap Ketiga: Latihan Lapangan
Setelah terbiasa di panggung, sapi dibawa ke arena terbuka. Sepasang sapi dihela mengelilingi lapangan mengikuti alunan musik. Pelatih menjaga langkah mereka agar tetap selaras. Latihan ini dilakukan setiap hari selama satu tahun.
Pada usia satu hingga dua tahun, sapi biasanya sudah mahir:
- Mengangkat kaki di momen tepat
- Melenggak-lenggok mengikuti irama
- Mengikuti gerakan pasangannya tanpa diperintah
Sapi pun mulai menunjukkan “karakternya”—ada yang sangat peka terhadap musik, ada yang gerakannya lebih kaku, dan ada pula yang memiliki bakat alami.
Hingga kini, sapi-sapi berbakat banyak berasal dari Kecamatan Waru, Pamekasan, yang dikenal sebagai penghasil bibit sapi unggulan Madura.
Dua Mode Pertunjukan: Kontes dan Aduan
Atraksi Sapi Sono’ biasanya diselenggarakan dalam dua format: kontes dan aduan.
- Kontes: Pesta Keindahan dan Kebanggaan
Pada format kontes, penilaian lebih menonjolkan aspek estetika:
- Keelokan sapi
- Kelembutan gerakan
- Keindahan aksesoris
- Kemulusan kulit
- Kecocokan irama dengan langkah
Kontes ini lebih bersifat hiburan. Semua peserta mendapatkan hadiah sebagai bentuk apresiasi. Musik pengiring pun lebih halus—kleningan dan suara pesinden menambah suasana anggun dan merdu.
- Aduan: Ketelitian dan Disiplin Gerak
Berbeda dengan kontes, aduan menekankan aturan dan ketepatan. Sapi dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh menjadi Pool A, B, dan C. Penilaian berfokus pada kesalahan atau pelanggaran.
Beberapa kriteria penilaian:
- Menginjak garis (tiap injakan dikurangi poin)
- Kemiringan pangonong saat memasuki finis
- Ketidakselarasan gerakan kaki pada papan akhir
Tim juri berjumlah tujuh orang dengan tugas khusus di garis start, finis, dan waktu. Keseimbangan antara estetika dan ketelitian membuat aduan Sapi Sono’ menjadi tontonan yang memikat.
Ritual Pawai: Sapi sebagai Peragawati Catwalk Desa
Sebelum lomba dimulai, sapi-sapi peserta biasanya dipamerkan dalam sebuah pawai meriah. Inilah momen di mana masyarakat dapat melihat secara langsung keanggunan sapi dari dekat.
Sapi telah dipersiapkan dengan dandanan khusus:
- Pangonong yang kokoh namun estetik
- Pancong berhiaskan miniatur burung atau kuda
- Kalung gungseng yang berbunyi gemerincing
- Selop tanduk buatan tembaga putih
- Kain sabrek bertabur benang emas
Ketika musik Saronen mengalun, sapi-sapi itu mulai melenggak-lenggok mengikuti irama. Pelatih pun ikut berjalan selaras, seolah berada dalam duet harmoni antara manusia dan hewan. Pemandangan ini membuat banyak orang membandingkannya dengan peragawati yang tampil percaya diri di atas catwalk.
Humanisme dalam Sebuah Tradisi
Atraksi Sapi Sono’ bukan sekadar pertunjukan. Ia mencerminkan nilai-nilai mendalam dalam budaya Madura:
- Kedekatan manusia dengan alam dan hewan
- Kesabaran dan ketekunan dalam merawat makhluk hidup
- Perlakuan penuh kasih yang melahirkan hubungan emosional
- Sportivitas dan keikhlasan dalam menerima hasil pertandingan
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, tradisi ini seperti napas segar yang mengingatkan kita bahwa hubungan harmonis antar makhluk hidup masih mungkin terjalin. Bahwa keindahan tidak selalu hadir dari sesuatu yang megah, tetapi justru dari gerakan lembut dua sapi betina yang menari mengikuti musik tradisional.
Tradisi yang Patut Dijaga
Sapi Sono’ adalah jendela kecil yang membuka pandangan kita tentang kekayaan budaya Madura. Tradisi ini mengajarkan bahwa kekuatan tidak selalu tentang kecepatan seperti Kerapan Sapi. Ada aspek lain yang sama pentingnya: kepekaan, keselarasan, dan penghargaan terhadap makhluk hidup lain.
Dengan semakin berkembangnya dunia modern, tradisi seperti Sapi Sono’ perlu dijaga agar tidak hilang ditelan zaman. Di balik setiap lenggak-lenggok sapi betina yang menari, terdapat kisah panjang tentang cinta, kesabaran, dan kearifan lokal yang tak ternilai.
Penulis Lilik Rosida Irmawati
Editor : Syaf Anton

