Header Ads

46 Perlawanan Terhadap Orang-orang Sampang


Keesokan harinya konon datang lagi orang-orang Sampang yang tak terhitung banyaknya dengan kelengkapan perang lengkap sebagai bantuan untuk melawan orang-orang Sumenep. Pangeran Lor II dan puteranya masih gigih memberi perlawanan. Tetapi karena jumlah tentaranya tak sebanding maka meski dirinya berurat kawat, bertulang besi dan berkulit tembaga sekalipun tentu tak seberapa kekuatannya. Akhirnya kedua pemimpin negara Sumenep itupun tewas.

Kedua orang tersebut kemudian sama-sama dikuburkan di Sampang. Pangeran Lor II dikubur di Asta Pangeranan kota Sampang sedangkan Pangeran Cakranegara dikuburkan didesa Palakaran sebelah barat Kota Sampang. Oleh orang-orang Sampang kedua kuburan tersebut lazim disebut sebagai Asta (makam) Pengeran Sumenep. Sedangkan Raden Bugan oleh sebagian para pengiringnya berhasil diloloskan ke Carebun dan terus dihadapkan ke Sultan Demak. Setelah Sultan Demak mendengar laporan dari orang-orang Sumenep yang berhasil lolos tadi sangat sedih hatinya. Singkat ceritera kemudian Raden Bugan disuruh mondok dan belajar mengaji ke Kiyai Carebun dan Kiyai itu konon paling terkenal kealiman maupun kekeramatannya.

Yang menggantikan sebagai pemimpin negara di Sumenep adalah orang dari Jepara bernama Mas Anggadipa berpangkat Tumenggung. Tak lama kemudian Tumenggung Anggadipa lalu diangkat sebagai Pangeran Anggadipa. Selama di Sumenep Pangeran ini sempat mendirikan sebuah Mesjid yang sekarang dinamai Mesjid Lama (Mesjid Laju) yang letaknya berada disebelah utara Kantor Kabupaten sekarang. Menurut tulisan yang ada dipintu mesjid pembangunan Mesjid itu didirikan pada 1370 tahun Jawa, atau 1639 tahun Masehi.

Tetapi akibat fitnah dari Raja Sampang, Pangeran Anggadipa dipecat dari jabatannya oleh Sultan Demak lalu diganti orang dari Sampang bernama Raden Aria Jayengpati berpangkat Tumenggung. Dengan kejadian itu Pangeran Anggadipa lalu tidak pulang lagi ke Jepara dan menetap di Sumenep karena disini banyak anak-cucunya. Dia meninggal di Sumenep dan dikubur disebuah bukit pekuburan didesa Kebonagung.

Saat Raden Aria Jayengpati menjabat Raja di Sumenep, Raden Bugan sudah dewasa. Pada saat itu guru ngajinya (Kiyai Carebun) berkata padanya : Mari sekarang kamu pulang ke Sumenep dan aku akan ikut serta untuk mendampingimu. Kamu adalah keturunan Raja di Sumenep semoga negara Sumenep akan kembali padamu. Raden Bugan : Terimakasih atas saran yang telah diberikan pada kami tetapi hasrat hati rasanya sudah tak ada keinginan lagi untuk menjabat sebagai Raja karena masih belum ada jalan menuju kesana.

Kalau mungkin, kami akan mencontoh sikap guru saja dan terus belajar mengaji untuk menjadi orang yang berilmu. Kiyai Carebun : Ucapanmu itu benar, tapi lebih baik sekarang kamu pulang untuk mengabdikan diri pada Raja Sumenep. Dibelakang hari akan ada orang alim yang punya kuasa dan dia akan menolongmu.

Singkat ceritera Raden Bugan dan gurunya lalu pulang ke Sumenep. Sesampainya didaerah pesisir mereka menumpang sebuah perahu. Setelah sampai ditengah laut, konon perahu itu tak mendapat angin . Meski telah diupayakan untuk didayung tetapi perahu itu tetap tak mau jalan. Raden Bugan lalu mengambil tombaknya untuk dibuat dayung maka lajulah perahu itu. Tombak itu selanjutnya dinamai Serrang-Dayung (mempercepat jalan perahu).

Perahu itu selanjutnya sampai di Pulau Mandangil yang letaknya berada disebelah selatan Sampang. Disana Raden Bugan bertemu dengan seorang yang sedang nyepi bernama Raden Tarunajaya seorang putera dari Bangkalan keturunan Cakraningrat. Ibunya masih keturunan Arya Kudapanole dari Sumenep. Dia dilahirkan di Sampang dan sampai sekarang tempat kelahirannya itu dinamai Pababaran (tempat kelahiran).

Setelah keduanya bertemu dipulau Mandangil mereka kemudian saling bertegur-sapa dan keduanya sepakat untuk nyepi disana beberapa saat. Setelah keduanya mendapatkan apa yang diinginkan Raden Tarunajaya berkata kepada Raden Bugan katanya : Sekarang pulanglah tuan ke Sumenep dan mengabdilah kepada Raja disana. Pada suatu saat kami akan mengadakan penyerangan ke Sumenep. Tapi kami tidak akan mengadakan pengrusakan dan tidak akan memasuki kota. Kami ingin supaya tuan menjemput kami nanti didesa Duwara dan upayakan supaya saat tuan menjumpai kami tanpa diketahui orang. Setelah keduanya sepakat Raden Bugan bersama gurunya berangkat dan pulang ke Sumenep.

Sesampainya di Sumenep mereka langsung menghadap Raja dan mengajukan keinginannya untuk mengabdi. Permintaannya diterima oleh Raja dan selanjutnya ia dijadikan punggawa bawahan dengan pangkat Kabayan bergelar Wangsajaya. Karena Raden Bugan rajin dan jujur, tak lama kemudian ia diangkat jadi Menteri dan didudukkan sebagai Ajek Kabayan.

Dilain pihak diceriterakan bahwa Raden Tarunajaya sudah banyak menaklukkan negara-negara. Maka ia lalu diberi julukan Pengeran Tarunajaya berkedudukan di Sampang. Pada suatu hari Pangeran Tarunajaya berangkat ke Sumenep. Sesampainya didesa Bangkoneng yaitu batas Sumenep dan Pamekasan ia lalu berhenti. Keesokan harinya lalu membuat surat tantangan kepada Raden Aria Jayengpati Raja Sumenep dan disuruh antarkan kepada beberapa orang pengiringnya.

Setelah Raden Aria Jayengpati menerima surat tersebut dan surat tersebut selesai dibacanya maka ia mengatakan pada Ajek Kabayan dan para Menteri yang lain begini : Aku menerima surat dari Pangeran Tarunajaya untuk menantang perang dan sekarang mereka sedang berada diperbatasan negara yaitu didesa Bangkoneng. Siapa diantara kalian sekarang yang berani menghadapinya ??

Para Menteri : Lebih baik paduka Raja saja yang berangkat kesana biar kami akan mengikuti dibelakang. Kami dengar kabar bahwa Pangeran Tarunajaya sangat terkenal keprajuritannya serta kekebalannya sehingga banyak para Raja yang takluk kepadanya. Kalau kami yang menemuinya sama saja seperti ketimun menantang lalap.

Tetapi kalau paduka sendiri sudah tentu masih jaya-dijaya. Wangsajaya : Kalau menjadi suka paduka perkenankan kami saja untuk menemui Pangeran Tarunajaya. Kami rela mengemban tugas dari paduka Raja dan berikanlah kepada kami sebanyak tujuh ratus tentara. Raja Sumenep sangat gembira mendengar kesediaan Wangsajaya lalu diperintahkannya untuk mengumpulkan tentara sebanyak yang diminta serta membunyikan bendi perang. Sesudah tentara Sumenep berkumpul maka berangkatlah mereka kemedan pertempuran.

Sesampainya didesa Prenduan hari sudah senja jadi orang-orang Sumenep bermalam disana. Pada saat orang-orang tidur nyenyak di tengah malam Wangsajaya menemui Pangeran Tarunajaya. Dia membawa senjata berbentuk tombak yaitu si Serrang-Dayung. Setelah berjumpa lalu mereka duduk berdua. Orang-orang Sampang tercengang melihat Rajanya duduk bersama seorang bawahan.

Pada saat pagi hari tiba tentara Sumenep terkejut sesudah mengetahui bahwa pimpinannya yaitu Wangsajaya hilang. Setelah Raden Aria Jayengpati mendengar kabar itu dia sangat marah, sedih bercampur khawatir kalau Wangsajaya sampai tertangkap musuh dan dibunuhnya.

Keesokan hari berikutnya Pangeran Tarunajaya bersama bala tentaranya berangkat ke Sumenep. Sesampainya di desa Prenduan orang-orang Sumenep sudah tak ada. Jadi Pangeran Tarunajaya terus memasuki kota. Sesampainya dibatas kota orang-orang Sumenep pada berlarian mengungsi kedalam keraton karena takut pada tentara musuh yang sedang datang. Raden Aria Jayengpati kebingungan dan memerintahkan untuk mengumpulkan orang-orang seisi keraton. Setelah terkumpul lalu mereka melarikan diri kearah barat.

Maka itu Wangsajaya kemudian lalu dilantik oleh Pangeran Tarunajaya menggantikan Tumenggung Jayengpati dengan gelar Tumenggung Yudanagara. Pada masa itu juga diceriterakan bahwa rakyat Sumenep menentang pelantikan itu karena mereka masih belum mengetahui bahwa Tumenggung Yudanagara adalah keturunan Raja Sumenep juga.

Maka itu Tumenggung Yudanagara lalu menceriterakan asal-usul keturunannya kepada para kawulanya. Sesudah mengetahui rakyat Sumenep merasa bersyukur karena negaranya sekarang jatuh ketangan ahli warisnya sehingga mereka bertambah setia kepada Tumenggung Yudanagara. Negara Sumenep saat itu konon bertambah tenteram keadaannya. (bersambung)



Diberdayakan oleh Blogger.
close