![]() |
| Sekedar ilustrasi |
Moh. Imam Farisi
Upaya mengidentifikasi siapa yang dimaksud Brawijaya di dalam Babad Songennop, bukanlah hal yang mudah, sebab di sana tidak disebutkan nama dan Gelarnya, dan kapan dia berkuasa.
Abdurachman (1971;8) mengatakan bahwa Prabu Brawijaya yang dimaksud adalah Brawijaya VII. Solichin Salam mengidentikkan dengan Prabhu Udara, raja terakhir Majapahit (1980, 13). Babad Meinsma menyebutnya Raden Alit. Se-dangkan Babad Tanah Jawi versi Soewito S. (1970; 75-76). Dari pendapat di atas dapat dianggap bahwa Prabhu Brawijaya dalam Babad Songennep adalah rajaMMajapahit terakhir (Brawijaya IV, Pangeran Adipati).
Berdasarkan hasil pengkajian tentang raja-raja terakhir Kerajaan Majapahit, diketahui adalah Dyah Suraprabhawa (1466-1478). Hal ini didasarkan pada alasan:
- Identifikasi tokoh Bhre Prabhu, Sang Mokteng Kedaton i Caka-Cunya-nora-yuganing-wong = 1400 C (1478 AD) sebagai Dyah Suraprabhawa seperti tersebut di dalam Pararaton alinea 32.22 sampai 32.25 dan prasasti Pamintihan bertarikh 1473 AD.
- Pernyataan Pararaton dengan candra sengkala "sima-ilang-kertaning-bhumi" = 1400 C (1478 AD).
- Berdasarkan isi prasasti Petak (OJO XCI, 1486 AD) yang menyatakan bahwa Majapahit berhasil dikalahkan oleh raja Keling "Sang Munggwing Jinggan", "Bhattara Prabhu Sang Mokta ri Amrtawisesalaya", atau "Sang Mok-teng Indranibhawana", yang diidentikan dengan Girindrawarddhana Dya Wijaya Karana.
- Adanya ungkapan Cri Maharaja Cri Wilwatikta-pura Janggala-Kadiri Prabhu Natha Bhattara i Keling, yang harus ditafsirkan bahwa Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya Bhatara Keling se-bagai Maharaja yang menguasai Maja-pahit, Janggala dan Kedin. Dia berse-mayam di Keling dan tidak di Majapahit.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Prabu Brawijaya yang dimaksud-kan adalah Dyah Suraprabhawa, raja te-rakhir Majapahit (1466-1478 M) yang berhasil ditundukkan oleh raja Keling Dyah Wijayakarana pada tahun 1478, seperti tersebut dalam prasasti Trailokyapuri (1486). Bila pendapat itu benar, maka patih Gajah Mada yang dimaksudkan di dalam Babad Songennep dapat di-identikkan dengan Adipati (pate) Camjtan.
Dalam laporannya Tome Pires (Mulyana; 1983; 283-284) menyebutkan pelbagai nama tempat di pantai utara Jawa Timur, seperti Tuban, Surabaya, Madura, Pajarakan, Panarukan, Gamda, Camjtan, Chamda, dan Blambangan. Di antara kerajaan-kerajaan Majapahit ter-sebut yang pernah berperang melawan Blambangan adalah 3 daerah perseku-tuhan yang terdiri dari Camjtan (dekat Bangil?), Pajarakan dan Panarukan, yang dipimpin oleh penguasa Camitan bernama Pate (Adipati) Pular. Sedangkan kerajaan Blambangan dipimpin oleh Adipati Uru Besi atau Menak Jingga.
Dengan demikian patih Gajah Mada dapat diidentikkan dengan Adi Pati (Pa-te) Pular, dan Menak Jayengpati dapat di-identifikasikan dengan Adipati Uru Besi atau Menak Jingga. Peristiwa perang itu sendiri diperkirakan terjadi antara tahun 15051513 М.
Perang Antara Majapahit dan Keling
Pada akhir Bab I, Babad Songennep menceritakan tentang peristiwa perang yang terjadi antara Kerajaan Keling dengan Majapahit dan Sumenep, sebagai berikut:
Tersebutlah seorang raja Keling yang bemama "Bermana". Dia memiliki seorang putera bernama Dempo Abhang, terke-nal sebagai seorang anak yang suka me-ngambil keperawanan anak gadis. Suatu saat dia minta kepada ayahnya sebuah perahu yang bisa terbang di udara lengkap dengan peralatan perangnya. Permin-taannya dikabulkan. Setelah itu dia pergi berlayar ke negeri Cina (?), untuk mengam-bil keperawanan gadis-gadis di negeri itu. Melihat hal itu raja Cina marah, schingga timbul peperangan di antara keduanya. Akhirnya raja Čina berhasil dikalahkan.
Setelah itu Dempo Abhang melanjutkan perjalanannya ke negeri Jawa (Kerajaan Majapahit). Kerajaan Majapahitpun berhasil ditundukkan. Selanjutnya yang menjadi sasaran adalah kerajaan Sume-nep yang diperintah oleh Raden Arya Ku-da Panoleh (Pangeran Saccadiningrat). Peperangan tak dapat dielakkan. Dempo Abhang berkendaraan perahu terbang, sedangkan Arya Kuda Panoleh berken-daraan kuda terbang bernama Si Mega Remmeng. Singkat cerita Dempo Abhang yang dibantu ayahnya berhasil dikalahkan, keduanya mati.
Peristiwa perang yang terjadi antara Kerajaan Majapahit dan Keling, disebutkan di dalam prasasti Trailokyapuri (OJOXCI = 1486 M). Di situ disebutkan tentang peng-anugerahan tanah di desa Petak oleh Bhatara Prabhu Sang Mokta ring Amre-tawisesalaya dan Sang Mokta ing Maha-layabhawana (Mulyana, 1983; 249) ke-pada Sri Brahmaraja Ganggadhara, atas usahanya memenangkan perang mela-wan Kerajaan Majapahit. Peristiwa perang itu terjadi pada masa pemerintahan Dyah Suraprabhawa (1466-1478). Tidak di-nyatakan apa yang menjadi alasan pe-rang melawan Majapahit.
Kiranya dapat diperkirakan bahwa hal tersebut karena perebutan kekuasaan. Prasasti itu juga menguraikan bahwa Sang Munggwing Jinggan berperang melawan Majapahit, dan bahwa Sri Brahmaraja Ganggadhara atas jasa-jasanya kepada Sang Mung-gwing Jinggan dalam perang melawan Majapahit menerima anugerah tanah di desa Petak (Mulyana, 269). Dengan de-mikian kiranya Sang Munggwing Jinggan identik dengan Bhatara Prabu Sang Mokta ring Wisesalaya, penguasa Kerajaan Keling.
Di dalam prasasti Waringin Pitu (1447) dikatakan bahwa Bhre Keling bernama Girindrawarddhana Dya Wijayakarana, yang menurut Pararaton 30/16 sebagai putera bungsu Bhre Tumapel (Sri Kerta-wijaya) dari hasil perkawinannya dengan Bhre Daha Jayawarddhani Dyah Jayes-wari. Ada kemungkinan bahwa antara tahun 1474-1478 dia meninggalkanb Keling dan pindah ke Jinggan (sebelah utara Majapahit), sedangkan kekuasa-annya diserahkan kepada puteranya Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma, seperti tersebut dalam prasasti Trailokya-puri (1486). Dengan demikian Sang Mung-gwing Jinggan dapat diidentikkan dengan Girindrawarddhana Dya Wijayakarana. Dan dialah yang melakukan peperangan dengan Kerajaan Majapahit.
Bila pendapat ini benar, maka dia juga dapat diidentikkan dengan demiki-an, bahwa raja Keling yang melakukan perang dengan Kerajaan Majapahit adalah Girindrawarddhana Dya Wijayakarana, yang oleh Girindrawarddhana Dyah Ra-nawijaya diadakan pesta sraddha sem-puma, 12 tahun setelah wafatnya orang tersebut (Dyah Wijayakarana wafat tahun 1474 M).
Berdasarkan analisa di atas, maka raja Bermana dalam Babad Songennep dapat diidentikkan dengan Girindra-warddhana Dyan Wijayakarana. (Bermana = Warddhana), singkatan dari Girin-drawarddhana.
Dikatakan bahwa Bermana mempu-nyai putera bernama Dempo Abhang. Di dalam prasasti Trailokyapuri disebut seorang patih bernama Pu Wahan yang bergelar Rakryan Pati Pu Wahan Maha-wirotama. Sedangkan Serat Kandha menyebutnya patih Udara (Mulyana; 1983, 279: DeGraaf dan TH. Pigeaud; 1985; 58-59). Tome Pires di dalam laporannya (h.176) menyatakan Guste Pate bernama Pate Amdura mertua sang perabu. Dengan demikian, maka Dempo Abhang dapat diidentikkan dengan Pu Wahan dan Patih Udara (Pate Amdura).
Sebab Dempo Abhang artinya yang dapat terbang di angkasa atau udara. Bila hal itu benar, maka yang menyerang Songennep bu-kanlah raja Dyah Wijayakarana, tetapi Guste Pate Udara bersama anaknya Adipati Gamda Sepetat (Surya Putra). Sebab Dyah Wijayakarana telah wafat pada tahun 1474 M. Anggapan demikian didasarkan pada laporan Pires yang menyatakan bahwa Adipati Gamda, sebagai seorang bangsawan tinggi yang sangat dihormati.
Dia suka kawin dengan puteri-puteri Madura dan Blambangan. Dia sanggup berperang dengan Madura, karena mempunyai banyak tentara, dia juga memiliki beberapa perahu pembajak (perahu terbang menurut Babad So-ngennep). Dengan demikian diperkira-kan perang antara Keling dengan So-ngennep terjadi antara tahun 1486-1527 M pada masa pemerintahan Dyah Rana-wijaya.
Penutup
Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapatlah kami simpulkan beberapa hal tentang sejarah hidup dan perjuangan Joko Tole dalam Babad Songennep. Pertama, Joko Tole adalah benar-benar tokoh sejarah yang dilegendakan. Dia adalah seorang keturunan bangsawan (raja), hidup dan berjuang dalam rangka ikut menegakkan kewibawaan Kerajaan Majapahit pada masa-masa terakhirnya (1466-1478 M) membangun kerajaan
Majapahit dan membelanya terhadap usaha perlawanan yang ditimbulkan oleh negara bawahan. Kedua, Apa yang di-kisahkan di dalam Babad Songennep mempunyai latar belakang sejarah yang faktual, walaupun di dalamnya diselipkan unsur-unsur yang bersifat simbolis dan mistis. Hal ini memang tidak lepas dari sifatnya sebagai puja sastra.
Di dalam pembahasan kami telah mencoba mem-buktikan kefaktualan tersebut. Ketiga, sebagai usaha rintisan, studi ini tentunya tidak luput dari kesalahan. Dan ini tentu harus membawa konsekuensi ke arah studi-studi lanjut yang bersifat kon-prehensif. Dan ini berarti upaya pengkajian sejarah Madura lebih menggairahkan, dan membawa dampak yang penting bagi for-mat Sejarah Nasional.
Akhirnya, semoga karya ini menda-pat tanggapan yang respektif, sesuai de-ngan apa yang menjadi harapan kami se-mula.
Daftar Pustaka
Berg, C.C, 1965, "The Javanese Picture of the Past", dalam Soedjatmoko, eds An Introduction to Indonesian Historiography, h.87-118, Cornell University Press, Ithaca, New York.
1985, Penulisan Sejarah Jawa, bhratara, Jakarta.
De Graaf dan TH. Pigeaud, 1985, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, penerbit Grafitti Press, Jakarta.
Djajadiningrat Husein, 1965, "Local Traditions and the Study of Indonesian Historio-graphy", dalam Soedjatmoko, eds. Cornell University; An Introduction to Indonesian Historiography. h. 74-86.
Djafar, Hasan, 1978, Girindrawarddhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir skripsi sarjana, Jurusan Ilmu-ilmu Sejarah FSUI, Jakarta.
Muljana, Slamet, 1979, Nagara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya, Bhratara Karya Ak-sara, Jakarta.
1983, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Inti Idayu Press, Jakarta. Salam, Solichin, 1980, Sekitar Wali Sanga, Penerbit Menara, Kudus.
Santoso, Soewito, 1970, Babad Tanah Jawi (Galuh-Mataram), penerbit CV. Citra Jaya, Solo.
Werdisastra, R., 1921, Babad Songennep, Balai Poestaka, Jakarta (edisi huruf Jawa). - Babad Songennep, disalin oleh R. Wadji S. dalam huruf Latin, tt.
(Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Maret 1993). XV(66), hal. 88-94.)
Tulisan sebelumnya: Babad Songennep Sejarah Hidup dan Perjuangan Joko Tole

