Langsung ke konten utama

Babad Songennep Sejarah Hidup dan Perjuangan Joko Tole

Sekedar ilustrasi

Moh. Imam Farisi

Babad Songennep, Sebuah Pengantar

Upaya penggunaan cerita tutur seperti Babad, careta, hikayat, dan lain-lain, sebagai sumber penulisan sejarah modern bukanlah hal yang mustahil, akan tetapi mustahil untuk menganggap dan percaya bahwa cerita tutur tersebut sebagai fakta sejarah atau bersifat historis secara keseluruhan. Penggunaan cerita tutur tersebut, telah banyak digunakan oleh beberapa sarjana (Hoesin, 1965; 74-85: De Graaf dan TH. Pigeaud; 1974: Berg; 1965 dan 1985).

Walaupun demikian, sikap kritis dan hati-hati sangat diperlukan untuk menen-tukan mana yang "historis" dan yang "a historis". Sebab di dalamnya mengandung unsur-unsur paduan mistis, legenda, simbolis dan historis (De Graaf dan TH. Pigeaud; 1985, ix: Hoesin, 1965; 74-85). Pola penulisannya diarahkan pada usa-ha untuk menyajikan sebuah gambaran masa lampau yang bentuknya bukanlah berdasarkan pengetahuan, tetapi berda-sarkan kepercayaan yang saleh dan khidmat (Berg, 1965; 1985). Dia ditujukan untuk memuliakan nenek moyang sang raja, seperti juga ia tidak akan mengatakan/menceritakan sesuatu yang mungkin da-pat mengurangi kemegahan dan gengsi

raja yang masih berkuasa. Karena itulah karya-karya tersebut dikenal sebagai puja sastra. Naskah sastra yang dibuat sebagai alat pemujaan raja (Krom dikutip Berg; 1985, 71).

Istilah "Babad Songennep"

Babad Songennep merupakan kitab yang mengisahkan tentang sejarah Ma-dura Timur (Sumenep) pada masa lampau. Kitab ini yang kami pakai memiliki 2 versi. Versi pertama memakai huruf Jawa Modern dan berbahasa Madura tengahan,

Babad Songennep Sejarah Hidup

dikarang oleh R. Werdisastra. Diterbit-kan oleh Balai Poestaka tahun 1921. Versi kedua yang merupakan salinan dari versi pertama, disusun oleh ahli warisnya R. Wadji Sastranegara dalam huruf Latin berbahasa Madura. Diterbitkan pada tahun 1971. Kedua versi ini kami pakai untuk kajian ini.

Kajian terhadap Babad Songennep ini pernah dilakukan oleh De Graaf dan TH. Pigeaud (1985, Bab XIV; 216-220), tetapi hanya sedikit sekali. Karena kajian tersebut sudah agak lama (1974), maka upaya kajian kembali terhadap naskah tersebut sangat penting, mengingat semakin banyaknya bukti-bukti baru yang berkembang. Dengan maksud itulah kami menyusun naskah ini.

Naskah ini menggunakan istilah "Babad", yang merupakan spesifikasi tra-disi penulisan sejarah kuno di Jawa. Di dalam bahasa Madura dikenal istilah "cre-ta atau careta". Sehingga dalam hal ini timbul masalah "mengapa yang dipakai adalah istilah Babad, bukan creta atau careta. Apa yang diinginkan oleh penulis dengan penggunaan istilah tersebut.

Melihat isinya, nampak bahwa kisah-kisah yang diungkapkannya banyak mengambil dari naskah-naskah yang berasal dari Jawa, seperti Babad Tanah Jawi, Sedja-rah Dalem, dengan modifikasi tertentu sesuai dengan apa yang ingin dikisahkan tentang sejarah Sumenep.

Sehingga dengan demikian penggunaan istilah babad di sini, kiranya dimaksudkan se-bagai usaha untuk menyelaraskan/mensinambungkan dengan alur cerita tutur yang berlaku di Jawa. Mungkin juga penulis ingin menyatakan bahwa antara sejarah Jawa dengan Sejarah Madura memiliki kaitan yang erat, tidak dapat di-pisahkan.

Di lain pihak, penggunaan istilah babad dimungkinkan untuk menjadikan karyanya sebagai suatu sejarah resmi dinasti/kerajaan, seperti yang juga berlaku di Jawa. Sedangkan bila memakai istilah creta/careta tidak akan mencapai maksud yang diharapkannya, walaupun penulisan sejarah Modern tidak memutlakkan hal itu.

Riwayat Hidup dan Perjuangan Joko Tole

Kelahiran Joko Tole

Tentang kelahiran Joko Tole diki-sahkan sebagai berikut:

Ada seorang puteri raja Sumenep P. Saccadiningrat I, bernama Puteri Kuning. Setiap hari dia bertapa. Setelah sampai 7 hari 7 malam dia bermimpi bertemu dan melakukan senggama dengan seseorang yang juga sedang bertapa di Gunung Gegger. Kejadian itu membuat dia mengandung. Peristiwa itu terjadi tepat tanggal 14 malam (malam purnama).

Setelah genap usia kandungannya Puteri Kuning mela-hirkan seorang putera. Hal itu juga terjadi pada tanggal 14 malam (malam purnama). Karena takut malu, bayi tersebut dibuang ke hutan, di bawah sebuah pohon besar. Akhirnya bayi itu ditemukan oleh seorang pandai besi dari desa Pekandangan, yang kemu-dian diasuhnya. Bayi tersebutkemudian diberi nama Joko Tole. Tubuh bayi itu putih bercahaya, wajahnya tampan.

Kisah tersebut, mengingatkan kita pada Ken Angrok, yang juga pada saat kelahirannya mengeluarkan sinar, caha-ya. Dengan demikian, sebenarnya penulis ingin mengungkapkan bahwa Joko Tole bukanlah orang sembarangan. Dia adalah orang yang mempunyai kemampuan luar biasa, dan memiliki prabhawa, isyarat kemuliaan. (Mulyana, 1983; 69, dan cat.9).

Peran sinar, cahaya sebagai isyarat, tanda keluhuran bersifat universal. Di dalam agama Kristen para Santo yang menonjol kesuciannya diberi prabha, yaitu lingkaran keemasan di atas kepalanya. Prabha itu menjadi lambang keluhuran budi, kesuci-an jiwa dan kemurnian hati orang yang bersangkutan (Mulyana, 1983; 44). De-ngan demikian penceritaan kelahiran Joko Tole yang seakan diliputi keanehan da-patlah dipahami.

Pengabdian Joko Tole di Kerajaan Majapahit

Kisah pengembaraan Joko Tole di-awali dengan adanya panggilan dari raja Majapahit Prabu Brawijaya kepada seluruh pandai besi di wilayah Jawa dan Madura. Dalam hal ini Babad Songennep mence-ritakan sebagai berikut:

Tersebutlah raja Brawijaya, sultan Majapahit berkehendak membangun pintu gerbang dari besi. Untuk itu segenap pandai besi di seluruh Jawa dan Madura dipanggil ke keraton. Singkat cerita, pada saat-saat akhir pembangunan itu, para pandai besi mengalami kesulitan membuat pele-katnya (pejer), termasuk Empu Kelleng ayah angkat Joko Tole. Kejadian itu membuat raja murka kepada patih Gajah Mada yang bertanggung jawab terhadap pembangunan itu.

Pada saat kritis inilah muncul Joko Tole, yang datang ke Majapahit untuk menyusul ayahnya Empu Kelleng, karena telah lama ditunggu namun belum juga pulang. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Joko Tole berhasil membuat pelekat, dengan cara menyuruh para pandai besi untuk membakar tubuhnya sampai hangus, dan nanti dari pusarnya akan keluar cairan putih yang dapat dipakai sebagai pelekat pintu gerbang. Akhirnya pintu gerbang tersebut dapat diselesaikan oleh Joko Tole, sekaligus dipasangkan ke bingkainya.

Setelah keberhasilannya itu Joko Tole mendapatkan hadiah berupa uang emas yang banyaknya ditimbang seberat badan-, nya. Selanjutnya Babad Songennep menceritakan:

Pada suatu saat kuda tunggangan raja Brawijaya mengamuk. Tak se-orangpun prajurit kerajaan yang mam-pu menjinakkan kuda itu. Joko Tole pun dipanggil. Akhirnya kuda si Sem-brani itu dapat dijinakkan. Raja merasa gembira. Dan karena keberhasilannya itu Joko Tole diberi gelar Kuda Panoleh (= yang berhasil menjinakkan kuda), dan diangkat sebagai Patih Muda.

Nampaknya tugas Joko Tole sebagai Patih Muda, semakin berat dan penting. Karena setelah itu dia ditugaskan bersama Patih Gajah Mada untuk menyerang Ke-rajaan Blambangan dengan rajanya Me-nak Jayengpati. Dalam hal ini Babad Songennep menceritakan sebagai berikut:

Ada seorang raja bawahan bernama Menak Jayengpati dari Blambangan. Telah beberapa kali dia tidak seba/da-tang ke Majapahit, dan tidak menye-rahkan upeti. Maka dikirimkan Gajah Mada dan Kuda Panoleh ke Blambang-an. Akan tetapi nampaknya Raja Blam-bangan telah menyiapkan bala ten-taranya. Peperangan pun tak dapat di-hindarkan. Dengan tentara sebanyak 1000 orang, Gajah Mada dan Kuda Panoleh berhasil menghancurkan ten-tara Blambangan.

Akan tetapi raja Me-nak Jayengpati berhasil meloloskan diri ke Gunung. Kuda Panoleh ber-usaha mengejarnya bersama pasu-kannya. Namun sementara itu Patih Gajah Mada bersama pasukannya pulang ke Majapahit dengan membawa puteri tawanan yang bernama Puteri Asmarawati, anak raja Menak Jayeng-pati. Dan mengabarkan bahwa Kuda Panoleh kalah dan meninggal di dalam peperangan.

Sementara itu peperangan antara pasukan Kuda Panoleh sedang ber-tempur dengan pasukan Blambangan dibawah pimpinan Menak Jayengpati. Singkat cerita, akhirnya Menak Ja-yengpati berhasil dibunuh oleh Kuda Panoleh, dan pasukannya menyerah. Setelah itu Joko Tole kembali ke Majapahit. Kedatangannya itu sangat mencengangkan raja karena Gajah mada telah mengabarkan sebelumnya kalau Kuda Panoleh telah mati....

Karena keberhasilannya itu Kuda Panoleh diberi gelar Raden Arya Kuda Panoleh, dan dikawinkan dengan pu-terinya yang bernama Ratnadi. Tak seberapa setelah itu, Arya Kuda Pa-noleh pulang ke Sumenep bersama is-trinya.

Demikian apa yang dikisahkan Babad Songennep tentang pengembaraa Joko Tole di Kerajaan Majapahit.

Tafsir Sejarah Cerita Joko Tole

Identifikasi Joko Tole (Kuda Panoleh)

Joko Tole adalah seorang tokoh yang sangat populer di dalam masyarakat Ma-dura. Bahkan namanya kemudian diabadi-kan menjadi nama sebuah kapal Ferry di penyeberangan antara Kamal-Ujung Sura-baya. Babad Songennep menyatakan bah-wa Joko Tole adalah putera seorang raja Sumenep, dari Puteri Kuning (karena kulit-nya berwarna kuning). Jadi dia seorang putera asli Madura (Sumenep).

Sadjarah Dalam (h.238-248), yang memuat cerita tentang keluarga raja-raja Sumenep, di antaranya menyebut seorang penguasa Sumenep yang bernama Jaran Panolih (Kuda Panolih) dan patihnya banyak Wide. Dikatakan bahwa Kuda Panolih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga raja Majapahit, lewat perkawinannya dengan puteri Brawijaya bernama Puteri Dewi Ratna Adi.

Babad Tanah Jawi Meinsma menge-nai aluran Jaka Tingkir, pendiri Kerajaan Pajang menceritakan bahwa seorang Prabu Brawijaya sedang bersengketa dengan raja Blambangan bernama Dadali Putih yang sangat sakti. Oleh karena ke-seser dalam perang, sang prabu lalu me-ngadakan "swayamwara". Barang siapa yang mampu mengalahkan Dadali Putih, akan dianugerahi puteri sang Prabu yang bernama Ratna Ayu (Ratna Adi), dan daerah Pengging (Surakarta). Jaka Sengara, dengan dibantu oleh ayahnya Bajul Sengara menyanggupi, dan berhasil mengalahkan Dadali Putih. Maka diapun dikawinkan dengan puteri Rata Adi dan dianugerahi daerah Pengging, diangkat sebagai Bupati Pengging dengan gelar Andayaningrat (bdk. pula dengan Babad Tanah Jawi versi Soewito Santoso; 1971-73).

Sampai di sini, ada 3 hal yang patut dicatat. Pertama, Joko Tole atau Kuda Panolih memang benar-benar tokoh sejarah, yang memiliki hubungan keluar-ga dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kedua, nama Joko Tole atau Kuda Panoleh adalah identik dengan Jaran Panoleh dan Andayaningrat (Prabu Dayaningrat). Ketiga, terdapat perbedaan di antara ke-empat cerita tutur di atas asal-usul Kuda Panoleh, tetapi yang jelas dia merupakan seorang keturunan raja. Dengan demiki-an dapatlah disimpulkan bahwa Joko Tole atau Kuda Panoleh memang benar-benar ada dan merupakan tokoh sejarah yang dilegendakan.

Tulisan bersambung: Prabu Brawijaya sebagai Raja Majapahit

 

 

© 2020 Babad Madura

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.

close