Langsung ke konten utama

Sampang: Epos Pesisir dalam Bayang Mataram

Sekedar ilustrasi

Di tanah pesisir yang dihantam angin timur dan diasuh oleh debur ombak Selat Madura, berdirilah sebuah kota yang sejarahnya ditempa bukan oleh ketenangan, tetapi oleh badai. Kota itu bernama Sampang—sebuah nama yang bagi banyak orang hanya bagian dari peta, namun sejatinya menyimpan satu epos panjang tentang perebutan kuasa, pengkhianatan, cinta, darah, dan keteguhan manusia Madura di antara bengisnya politik Jawa abad ke-17.

Dan dari sinilah semuanya bermula: 23 Desember 1624, hari ketika seorang bangsawan muda bernama Raden Prasena—kelak dikenang sebagai Pangeran Adipati Cakraningrat I, Seda ing Magiri—diangkat sebagai penguasa Madura Barat. Tanggal itulah yang hari ini dirayakan sebagai Hari Jadi Kota Sampang. Namun sesungguhnya, yang dirayakan bukan sekadar penobatan, melainkan kelahiran sebuah babak sejarah yang mengubah wajah Madura selamanya.

Api Perang Mataram dan Anak yang Diselamatkan Takdir

Tahun 1624 bukan tahun biasa. Di Jawa bagian timur, asap pertempuran naik ke langit. Sultan Agung Anyakrakusuma, raja Mataram yang ambisi besar dan visi tunggalnya adalah mempersatukan Nusantara di bawah payung Mataram, mengirimkan dua gelombang pasukan besar untuk menaklukkan Madura. Serangan itu tidak hanya militer; ia adalah pernyataan politik, pesan keras bahwa tidak boleh ada kekuasaan yang berdiri di luar Mataram, terutama kekuatan pesisir yang menguasai jalur dagang Laut Jawa.

Invasi itu ibarat badai yang merontokkan seluruh pohon besar di halaman. Satu demi satu bangsawan Madura Barat tumbang, baik di medan perang maupun dalam serangkaian tikaman politik. Dan dari kehancuran itu, hanya satu anak yang bertahan hidup: Raden Prasena.

Ia adalah harapan terakhir trah penguasa Madura Barat. Sebuah lilin kecil yang tetap menyala di tengah angin yang menggila. Sultan Agung, yang melihat potensi serta darah bangsawan di tubuh anak ini, mengambilnya sebagai bagian keluarga. Sebuah tindakan yang entah lahir dari strategi atau simpati—tak ada yang tahu. Yang jelas, ia kemudian dinikahkan dengan adik Sultan Agung dan diberi posisi terhormat.

Tetapi takdir tidak berhenti di sana.

Prasena juga menikahi Syarifah Ambami, keturunan langsung Sunan Giri I dari Giri Kedaton, pusat kekuatan ulama yang disegani se-Asia Tenggara. Melalui dua garis inilah darah Prasena menyatu: darah Mataram dan darah Giri. Dua kekuatan besar dalam sejarah Jawa.

Ketika Mataram memulangkan tahta Madura Barat kepada Prasena, ia membuat keputusan bersejarah yang mengubah arah Madura: memindahkan pusat kekuasaan ke Sampang.

Di sinilah epos Sampang dimulai.

Sampang: Kota Baru, Bayang Lama

Sampang pada masa itu bukan kota yang luas. Ia hanyalah sebuah pelabuhan pesisir, jalur lalu lintas garam, perahu, dan para pelaut yang keras. Namun begitu pusat kekuasaan dipindah, Sampang berubah menjadi rumah bagi para pangeran, sanak keluarga bangsawan, prajurit, bahkan utusan Mataram yang mengawasi gerak-gerik para penguasa Madura.

Meski demikian, Prasena tidak hidup di Madura. Ironis, namun begitulah politik. Ia lebih sering berada di Mataram, menjalankan loyalitas kepada Sultan Agung. Madura kemudian diwakilkan kepada Pangeran Santamerta, pamannya sendiri, seorang bangsawan tua yang tegas namun halus tutur katanya. Di tangan Santamerta, Sampang berdiri sebagai daerah penting yang tetap tunduk kepada Mataram.

Tetapi gelombang sejarah jarang tenang. Abad ke-17 adalah masa ketika Madura bukan hanya pesisir, tetapi tambang politik yang diperebutkan oleh banyak pihak.

Adipati, Pertalian Darah, dan Kabut Feodalisme

Setelah era Santamerta, Sampang dikelola oleh trah besar yang berasal dari Pangeran Demang Plakaran. Nama-nama besar seperti Adipati Pramono (Pangeran Bonorogo) dan pasangannya Ratu Banu memegang kekuasaan. Dari garis keturunan ini lahirlah figur-figur lain seperti Pangeran Adipati Pamadekan dan Pangeran Adipati Mertosari, yang menjadi jembatan antara masa Sampang lama dan masa ketika Mataram kembali mencengkeram Madura.

Mertosari adalah titik penting. Ia memerintah sebelum gelombang besar politik Mataram datang kembali. Ketika ia wafat, Sampang masuk ke fase baru: fase dominasi penuh oleh Cakraningrat I.

Cakraningrat II dan Keputusan yang Mengubah Segalanya

Setelah Cakraningrat I wafat pada 1648, tahta jatuh kepada putranya, Raden Undakan, putra dari Syarifah Ambami. Ia bergelar Panembahan Cakraningrat II—penguasa muda yang ambisinya mengalir deras seperti darah ibunya yang berasal dari Giri.

Cakraningrat II ingin kekuasaan yang lebih terpusat. Maka ia memindahkan ibu kota pemerintahan dari Sampang ke Tunjung Sekar (Bangkalan). Sejak saat itu, Sampang tidak lagi menjadi kadipaten. Kota itu turun kasta, dipimpin oleh seorang Kuasa, jabatan setingkat patih, namun dengan kuasa penuh atas wilayah.

Kuasa yang pertama adalah Raden Ario Purbonagoro, anak Cakraningrat II. Dari sinilah lahir dinasti Purbonagoro, garis bangsawan yang memegang kendali Sampang selama lebih dari satu abad.

Para Purbonagoro: Darah Bangsawan, Bayang VOC

Purbonagoro pertama digantikan oleh putranya, Purbonagoro Ganta’, lalu oleh cucunya, Purbonagoro Jerring—yang dijuluki demikian karena suaranya yang lantang dan keberaniannya yang luar biasa.

Setelah Jerring, kekuasaan jatuh kepada adiknya, Purbonagoro Cettet, lalu kepada Panjangsuro, dan akhirnya kepada Raden Adipati Purbonagoro, keturunan mereka yang paling dihormati. Ia menikah dengan putri Sultan Bangkalan I dan memiliki anak bernama Raden Minggu.

Dalam diri Raden Minggu, gelar Purbonagoro mencapai puncaknya. Ia bergelar Raden Tumenggung Purbonagoro, namun rakyat memanggilnya dengan satu nama penuh ketakziman:

Gung Porba.

Nama itu bukan sekadar gelar. Ia adalah legenda.

Gung Porba: Sang Waliyullah dari Pesisir

Gung Porba bukan sekadar pejabat. Ia adalah sosok yang diselimuti aura kesaktian, dihormati sebagai pemimpin sekaligus tokoh spiritual. Dalam kisah-kisah tua yang dituturkan dari satu generasi ke generasi lain, Gung Porba memiliki karomah yang membuatnya dekat di hati rakyat.

Orang datang dari desa-desa terpencil untuk mencari berkah dan nasihatnya. Dan ketika ia wafat, makamnya menjadi tempat yang tak pernah sepi. Hingga kini, peziarah berdatangan, membawa doa dan harapan, menempatkannya sejajar dengan tokoh-tokoh alim Madura lainnya.

Gung Porba adalah bukti bahwa kekuasaan bukan hanya diwariskan lewat garis darah, tetapi lewat keteladanan dan cahaya batin.

Akhir Sebuah Epos Keraton

Setelah Gung Porba, posisi Kuasa Sampang diberikan kepada Raden Ario Mloyokusumo, putra Patih Bangkalan. Namun masa pemerintahannya sudah berada di ambang zaman yang berubah cepat.

Pada 1880-an, pemerintah kolonial Belanda menghapus sistem keraton di Madura. Dengan satu kebijakan, berakhirlah ratusan tahun sistem feodalisme yang membentuk Sampang. Gelar-gelar bangsawan diturunkan, kekuasaan lokal dipangkas, dan Sampang memasuki babak baru sebagai kota administratif modern.

Epos panjang itu pun menemukan jedanya—bukan akhir, tetapi jeda. Karena sejarah tidak pernah mati; ia hanya tidur sejenak.

Sampang Hari Ini: Kota yang Hidup dari Jejak Eposnya

Setiap tahun ketika Sampang merayakan 23 Desember, sebenarnya kota itu sedang membuka kembali lembaran lama—lembaran yang dipenuhi darah para raja, strategi politik, pelayaran para pelaut, perang besar Mataram, dan kisah para wali.

Sejarah Sampang adalah sejarah tentang:

  • bagaimana seorang anak kecil bernama Prasena selamat dari invasi,
  • bagaimana sebuah kota pesisir menjadi pusat kekuasaan,
  • bagaimana keluarga Purbonagoro membentuk watak politik Sampang,
  • bagaimana Gung Porba menjadi cahaya spiritual,
  • dan bagaimana akhirnya Sampang memasuki zaman baru setelah keraton runtuh.

Sampang bukan kota kecil. Ia adalah ibu dari banyak epos. Ia adalah wilayah yang berdiri di antara gelombang sejarah dan tetap tegak. Sebuah kota yang dibentuk oleh badai, namun tidak pernah tenggelam.

Ketika angin timur bertiup dan matahari terbit di atas Selat Madura, ada sesuatu yang diam-diam berbisik dari masa lalu:

Bahwa Sampang adalah kota yang lahir dari sejarah besar—dan sejarah itu terus hidup dalam nadi setiap warganya hari ini.

 (dari beberapa sumber)

© 2020 Babad Madura

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.