Membahas identitas, nilai budaya, religiusitas, dan struktur sosial masyarakat Madura, termasuk peran Bhuppa’, Bhabbu’, Guru, dan Rato dalam kehidupan
Indonesia merupakan negara multietnik dengan keberagaman yang sangat kaya, baik dari sisi fisik, bahasa, adat istiadat, kesenian, maupun sistem budayanya. Setiap suku bangsa memiliki ciri khas dan karakter unik yang membedakannya satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan hasil proses panjang adaptasi manusia terhadap lingkungan yang berbeda-beda di berbagai wilayah Nusantara.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, sejak kemerdekaan hingga era modern saat ini, dinamika perkembangan tiap kelompok etnik tidak selalu berjalan seimbang. Beberapa etnik mengalami kemajuan pesat, sementara yang lain menghadapi tantangan sosial, ekonomi, maupun budaya. Fenomena inilah yang tak jarang memunculkan kesenjangan antarsuku, baik dalam aspek ekonomi, sosial, teknologi, politik, maupun budaya, dan berpotensi menimbulkan konflik serta kecemburuan sosial.
Migrasi dan Persebaran Masyarakat Madura
Masyarakat Madura merupakan salah satu kelompok etnik yang memiliki tingkat migrasi tinggi. Karena keterbatasan sumber daya alam di Pulau Madura, banyak warganya merantau dan menetap di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Jawa, Kalimantan, Sumatra, Bali, serta sejumlah kota besar lainnya. Mereka umumnya bekerja di sektor perdagangan, jasa, atau pekerjaan informal lainnya.
Sementara itu, masyarakat yang tetap tinggal di Madura mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Persebaran masyarakat Madura yang luas kadang memunculkan stereotip negatif, seperti ketika terjadi konflik komunal di Sampit, Sambas, Ambon, dan beberapa wilayah lain. Watak “keras” orang Madura sering dijadikan penyebab konflik, meskipun pada kenyataannya masalah tersebut jauh lebih kompleks. Sifat kuat, tegas, dan berpendirian kokoh masyarakat Madura tak jarang dianggap sebagai hambatan dalam beradaptasi dengan budaya setempat, sehingga memunculkan prasangka negatif.
Islam sebagai Identitas Kultural Masyarakat Madura
Islam merupakan unsur yang sangat melekat pada jati diri masyarakat Madura. Dengan jumlah penganut mencapai 97–99%, agama ini telah menjadi identitas kultural sekaligus pedoman hidup. Kekuatan nilai-nilai keislaman tampak dari cara hidup, pola pikir, hingga tata krama sosial mereka. Busana sehari-hari—seperti sarung dan songko (peci)—menjadi simbol kesalehan dan identitas Madura di manapun mereka berada.
Banyaknya pondok pesantren yang diasuh oleh para kiai membuat pengaruh Islam dalam kehidupan sosial semakin kuat. Namun demikian, Islam di Madura kerap disebut sebagai “Islam lokal”, karena dalam praktiknya berpadu dengan adat dan tradisi setempat, sebagaimana terjadi pula pada masyarakat Jawa.
Ungkapan populer “abantal syahadat, asapo iman, apayung Allah” mencerminkan bahwa nilai keislaman bukan sekadar ajaran ritual, tetapi fondasi utama dalam kehidupan masyarakat Madura. Artinya, syahadat dijadikan alas kehidupan, iman sebagai selimut, dan Allah sebagai tempat berlindung—sebuah simbol totalitas penghambaan.
Agama juga berfungsi sebagai sistem pengatur sosial. Pelecehan terhadap agama dipandang sebagai penghinaan terhadap kehormatan sosial, sehingga sanksinya diperlakukan sangat serius. Inilah yang membuat masyarakat Madura dikenal sangat menjaga martabat nilai-nilai keagamaannya.
Nilai Kesopanan dan Kehormatan
Salah satu karakter dasar masyarakat Madura adalah menjunjung tinggi kesopanan (tatakrama). Walau sering disalahpahami sebagai masyarakat “keras”, sesungguhnya mereka memiliki etika kesopanan yang sangat kuat dan berlapis-lapis, terutama terkait penghormatan kepada orang lain berdasarkan usia dan status sosial.
Kesopanan di Madura berkaitan erat dengan konsep harga diri (kobhâ) dan kehormatan keluarga. Pelanggaran terhadap norma kesopanan dianggap sebagai pelanggaran terhadap martabat keluarga, yang dapat memicu konflik.
Masyarakat Madura terkenal responsif terhadap sikap orang yang mereka hadapi: bila diperlakukan dengan baik, mereka akan menunjukkan penghormatan yang lebih tinggi; namun bila diperlakukan dengan sombong, mereka dapat bersikap lebih keras sebagai bentuk pertahanan harga diri.
Empat Figur Kehormatan: “Bhuppa’, Bhabbu’, Guru, Rato”
Keunikan budaya Madura tampak pada adanya empat figur utama yang harus dihormati dan dipatuhi:
- Bhuppa’ (Ayah)
- Bhabbu’ (Ibu)
- Guru (terutama kiai/ustadz)
- Rato (pemimpin/penguasa)
Kepatuhan terhadap Ayah dan Ibu merupakan perintah agama, namun secara kultural hierarki tertinggi sering diberikan kepada Bapak, karena ia dianggap memiliki tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan keluarga.
Guru, khususnya Kiai, memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Mereka menjadi panutan moral, pembimbing spiritual, bahkan simbol status sosial. Perintah dan nasihat seorang kiai sering kali dipatuhi tanpa banyak pertimbangan.
Figur Rato atau pemimpin pemerintahan dipandang sebagai ulil amri yang wajib ditaati demi kemaslahatan hidup bersama. Pada masa lampau, kedudukan ini hanya dimiliki oleh bangsawan keturunan keraton, namun sejak berlakunya Otonomi Daerah tahun 1999, masyarakat Madura dari berbagai latar belakang memiliki kesempatan menjadi pemimpin. Meski demikian, kedudukan Rato tetap dianggap istimewa karena hanya dapat diraih melalui prestasi dan kemampuan.
Kepatuhan terhadap empat figur tersebut mencerminkan tatanan sosial Madura yang subordinatif-hegemonik, di mana individu ditempatkan dalam sistem hierarki yang kuat sebagai bagian dari identitas budaya dan religiusitas mereka.
Orientasi Kehidupan Sosial: Harmoni dan Ketertiban
Kehidupan sosial masyarakat Madura berorientasi pada terciptanya harmoni, keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan. Dalam berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain, masyarakat Madura berusaha menyesuaikan diri agar hubungan tetap selaras. Nilai ini sejalan dengan prinsip keagamaan dan kultural yang mereka anut.
Kesopanan, penghormatan terhadap hierarki, serta kepatuhan kepada empat figur utama menjadi fondasi yang menjaga ketertiban sosial. Pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut tidak hanya dianggap sebagai kesalahan pribadi, tetapi juga sebagai ancaman terhadap kehormatan keluarga dan tatanan sosial yang lebih luas.
Masyarakat Madura merupakan kelompok etnik yang memiliki karakter unik, khas, dan kuat. Islam sebagai identitas kultural, nilai kesopanan, penghormatan terhadap hierarki, serta dinamika migrasi dan stereotip sosial membentuk corak kehidupan mereka. Di balik citra “keras” yang kerap dilekatkan, terdapat struktur nilai yang sangat menghargai kehormatan, kesopanan, dan keharmonisan sosial. Melalui pemahaman yang lebih objektif, masyarakat luas dapat melihat bahwa orang Madura memiliki sistem budaya yang kaya, kompleks, dan layak dihargai sebagai bagian integral dari keberagaman Indonesia.
(Pustaka Madura)

