50. Tumenggung Adikara Tewas dalam Pertempuran
Pada suatu hari Pak Lesap berkata pada Gunturgeni : Kalau engkau suka maka aku sekarang bermaksud menggempur negara Sumenep maka dari itu persiapkanlah tentaramu. Gunturgeni : Apalagi yang akan kita tunggu ? Maka dengan empatpuluh orang menterinya yang diikuti ribuan prajurit Pak Lesap berangkat ke Sumenep untuk menantang perang. Disepanjang jalan yang dilalui prajurit Pak Lesap bersorak-sorak membangkitkan semangat. Mendengar adanya suara hiruk-pikuk dari kejauhan Raja Sumenep memerintahkan seorang Menterinya untuk menyelidiki. Sesampainya diluar kota sang Menteri melihat begitu banyak tentara pimpinan Pak Lesap yang saat itu sedang duduk ditandu sedang mendatangi pusat kota. Menteri yang juga diikuti beberapa tentara kerajaan Sumenep itu mencegatnya dan terjadilah perang.
Pak Lesap lalu turun dari tandunya dan mengamuk. Banyaklah korban di kedua pihak sedangkan tentara Sumenep yang masih hidup berusaha lari ke keraton dan melapor kejadian itu pada Rajanya. Mendengar laporan tentaranya Raja selanjutnya memerintahkan Ki Patih untuk menemui Pak Lesap. Ki Patih segera berangkat diikuti seratus orang Menteri dan bala tentara sebanyak limaratus orang. Selanjutnya mereka terlibat perang sampai sembilan hari lamanya. Korban saling berjatuhan dikedua belah pihak, tetapi Ki Patih dan Raden Tirtanagara tak bergerak dari tempatnya serta terus mengadakan perlawanan.
Sesudah tentara Pak Lesap hampir kalah maka Pak Lesap maju sendiri kemedan perang. Pak Lesap menyerang Ki Patih tetapi disambutnya dengan tusukan tombak sehingga Pak Lesap sempat terjengkang. Bersoraklah tentara Sumenep. Melihat keadaan yang tak memungkinkan itu Pak Lesap lalu mengeluarkan ilmu kedigjayaannya. Dan dengan hanya mengatakan ‘Gelap’ maka seketika datanglah angin dan hujan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar. Sebentar kemudian menjadi gelap-lah medan perang seperti malam layaknya.
Ki Patih bersama tentaranya kalang-kabut dan akhirnya kalah karena tak mampu melakukan perlawanan. Ki Patih dan bala tentaranya melarikan diri ke keraton dan melaporkan kejadian itu kepada Raja katanya : Seribu murka paduka akan hamba terima. Hamba dan kawan-kawan sudah tidak mampu lagi melawan Pak Lesap karena dia memiliki senjata Kodhi’ (semacam arit berpamor keris) yang bisa mengamuk sendiri. Maka dari itu lasykar Sumenep banyak yang menemui ajalnya. Disamping itu ia juga memiliki kedigjayaan dalam ucapannya (mandi pangoca’. Mad) sehingga apapun yang ia inginkan bisa terkabul. Seperti kalau ia menyebut petir maka datanglah petir, begitu juga kalau ia mengatakan gelap maka datanglah hujan dan angin.
Pangeran Sumenep : Kalau kamu sudah menyerah maka alangkah lebih baik kalau kita lari saja. Karena kalau terus kita lawan maka tak urung kita semua akan mati. Setelah itu mereka sepakat untuk meloloskan diri dan seluruh isi istana dibawa termasuk para Menterinya. Setibanya di pelabuhan Marengan mereka naik perahu. Sebagian dari mereka melaporkan peristiwa itu kepada tuan Residen di Surabaya, sedangkan sebagian lagi dikabarkan lari ke daerah Besuki. Oleh sebab ia lari karena kalah perang maka Pangeran itu lalu disebutnya sebagai Pangeran Lolos.
Dengan larinya Raja Sumenep maka Pak Lesap dan pengikutnya lalu memasuki keraton. Sesampainya di keraton Sumenep Pak Lesap menyelenggarakan keramaian dengan mengundang pesinden. Setelah setengah bulan lamanya ia di Sumenep Pak Lesap berembuk lagi dengan para Menterinya untuk mengadakan penyerangan ke Pamekasan.
Diceriterakan, bahwa Ki Patih Pamekasan sudah mendengar bahwa Sumenep telah ditaklukkan oleh Pak Lesap dan Rajanya meloloskan diri. Karena itu maka dia mengadakan perembukan dengan para Menterinya, katanya : Bagaimana kalau begini keadaannya sedang paduka Tumenggung Adikara masih belum datang dari Semarang ?? Dari hasil rembukan tersebut akhirnya diperoleh kesepakatan supaya seluruh rakyat Pamekasan melakukan perlawanan.
Dengan kesepakatan itu Ki Patih lalu memerintahkan untuk mengumpulkan lasykar lengkap dengan perkakas perangnya. Sementara Pak Lesap dengan tentaranya sudah berangkat ke Pamekasan dan berhenti di desa Kaduwara (tapal batas Sumenep-Pamekasan).
Dengan kesiapan yang ada lasykar Pamekasan berangkat menyongsong musuh kedesa dimaksud. Dalam pertempuran itu tentara Pak Lesap sempat kalang-kabut dan lasykar Pamekasan terus maju. Melihat kejadian itu Pak Lesap turun tangan dan mengamuk sendiri. Pada saat bersamaan bedil yang dipegang Ki Patih macet.
Karena itu lasykar Pamekasan banyak yang lari untuk menyelamatkan diri. Tak lama kemudian lasykar Pamekasan menyerah dan banyak rakyat Pamekasan yang lalu patuh pada Pak Lesap.
Keesokan harinya Pak Lesap menuju kota Pamekasan dan langsung memasuki keraton. Di keraton Pamekasan Pak lesap tidak menemukan apa-apa karena harta keraton sebelumnya sudah diselamatkan oleh lasykar Pamekasan.
Dibagian lain diceriterakan bahwa Raden Tumenggung Adikara sudah pulang dari Semarang. Sesampainya di Bangkalan ia sempat mampir pada mertuanya yaitu Pangeran Cakraningrat V. Pangeran Cakraningrat V berkata pada Tumenggung Adikara : Aku mendengar kabar bahwa negara Sumenep sekarang sudah dapat ditaklukkan oleh Pak Lesap sedangkan Rajanya telah meloloskan diri. Tumenggung Adikara : Kalau demikian sekarang nanda mohon pamit karena sudah pasti setelah menaklukkan Sumenep Pak Lesap akan menuju ke Pamekasan. Pangeran Cakraningrat V : Aku mengizinkanmu untuk segera kembali. Berhati-hatilah dan selalu ingat kepada Allah.
Setelah itu Tumenggung Adikara lalu berangkat diiringi tentara sebanyak delapan puluh orang diantaranya empatpuluh orang Menteri dari Bangkalan yang kesemuanya mengendarai kuda. Sesampainya di Sampang Tumenggung Adikara sudah mendengar tentang kesediaan rakyat Sampang untuk menyerah kepada Pak Lesap. Salah seorang rakyat Sampang menuturkan kepada Tumenggung Adikara, tuturnya : Aduh Gusti, kalau paduka suka maka alangkah baiknya kalau paduka segera kembali saja ke Bangkalan. Sebab kalau paduka tetap meneruskan perjalanan tentu akan mendapat celaka. Pamekasan sekarang sudah ditaklukkan oleh Pak Lesap.
Mendengar kabar itu Tumenggung Adikara semakin mempercepat lari kudanya untuk segera sampai di Pamekasan. Setelah memasuki kota Pamekasan mereka berpapasan dengan bala tentara Pak Lesap yang saat itu sedang bersiap menuju Sampang. Setelah Pak Lesap melihat Tumenggung Adikara dan tentaranya, lalu mengepungnya. Maka terjadilah peperangan.
Setelah jatuh beberapa korban dari kedua belah pihak maka Pak Lesap maju lagi ke arena pertempuran. Pak Lesap agak gentar menghadapi Tumenggung Adikara karena pada saat itu ia menggunakan tombaknya yang dikenal dengan tombak si Apoy (si Api). Keduanya lalu saling menyabung nyawa dan saling adu kepandaian dalam berperang. Pak Lesap dengan tentaranya sempat mundur ke desa Bulangan. Disana Pak Lesap lalu mengeluarkan senjata Kodhi’-nya yang bisa mengamuk sendiri sampai tentara Tumenggung Adikara habis samasekali.
Namun Tumenggung Adikara tetap tegar berdiri bahkan dengan tekad bajanya ia terus menyerang membabi buta. Dengan tombak si Apoy yang dipegangnya berguguranlah tentara Pak Lesap. Karena kemudian ia sudah tinggal seorang diri maka tak lama kemudian Tumenggung Adikara tewas dalam pertempuran itu. Maka dari itu orang-orang Pamekasan lazim menyebutnya sebagai Tumenggung Seda Bulangan (Tumenggung yang meninggal di Bulangan). Makamnya terletak di Kota Pamekasan didalam sebuah cungkup genteng di Asta-Daja (Asta Utara) dan berkumpul dengan Pangeran Rangga.
Sesudah tiga hari lamanya, Pangeran Cakraningrat V baru mendengar bahwa menantunya telah gugur di Bulangan. Ia sangat sedih hatinya. Waktu itu lalu datang seorang Menteri yang menjaga perbatasan Tanjung dan menghadap kepadanya. Pangeran Cakraningrat V : Apa maksudmu menghadap kemari ?? Menteri Tanjung : Hamba memberi kabar bahwa musuh paduka yakni Pak Lesap sekarang sudah sampai diperbatasan Sampang untuk menyerang Baliga. Orang-orang Sampang dan Baliga sudah bersiap-siap untuk menyerah.
Post a Comment