53. Setelah Pangeran Katandur Wafat
Pintu masuk Asta Katandur dan Kuburan Pangeran Katandur (insert) |
Setelah Pangeran Katandur wafat ketiga puteranya sama-sama menjadi orang alim yang ternama dan keramat. Makam Pangeran Katandur dengan orang-orang dinamakannya Asta Sabu bertempat di kampung Paddusan sebelah selatan tambak irigasi. Disebelah tenggara Asta itu terletak Asta Pangeran Sidhing Puri. Kadua Asta tersebut sampai sekarang masih baik keadaannya karena ada yang menjaganya. Kata orang, kedua Asta tersebut sama-sama keramat dan angker sehingga tak boleh ada orang sembarangan datang kesana.
Sedangkan Kiai Hatib Paddusan mempunyai duabelas putera, namun hanya diceriterakan dua orang yaitu :
1. Kiai Barangbang, berdiam di Barangbang (sekarang jadi perdikan), masuk desa Kalimo’o’ Kecamatan Marengan, kawedanan Kota Sumenep. Disana ada kepala perdikannya sambil lalu merawat Asta Gumo’ yakni Asta Kiai Barangbang dan keturunannya.
2. Nyai Cendir, yang bersuamikan Kiai Tengnga. Kiai ini adalah putera Kiai Wangsadikara yang asalnya dari Mataram. Kiai Wangsadikara tersebut beristeri Nyai Berrek yaitu puteri dari Kiai Hatib Karanggan. Makam Kiai Tengga terletak didesa Ngenbungen Kawedanan Batang-batang (Pembantu Bupati Timur Laut). Yang merawat makamnya adalah kepala perdikan Barungbung.
Asta Kiai Hatib Paddusan ada disebelah timur sungai Asta Pangeran Katandur, dimana orang Sumenep juga menyebutnya Asta Tobato, yang jauhnya dari Asta Sabu kira-kira setengah kilometer.
Nyai Cendir mempunyai putera : Nyai Karteka dan Kiai Jalaluddin. Kiai Jalaluddin beristerikan Nyai Galu yaitu puteri dari Kiai Hatib Bangil dan ia berdiam di Parongpong. Kiai Hatib Bangil ini adalah putera Kiai Talang-Parongpong, cucu Kiai Talang Sendir yang bermukim di perbukitan Gelugur atau cicit Kiai Kecer-Banasare. Kiai Kecer-Banasare itu adalah putera Astamana, cucu Pangeran Bukabu.
Sekarang Parongpong menjadi perdikan dan ada kepala perdikannya, sambil lalu menjaga makam Kiai Hatib Bangil dan Kiai Jalaluddin. Kiai Jalaluddin mempunyai putera :
1. Nyai Izza.
2. Nyai Saba.
3. Kiai Kandar (Kiai Parongpong).
4. Kiai Wiradipuspa (Manteri).
5. Kiai Fatta.
6. Kiai Wiradipura (Manteri).
7. Nyai Parongpong.
Kiai Hatib Bangil beristerikan Nyai Salama, puteri seorang Modin Tadja di Pamekasan dan berputera empat orang yaitu :
1. Nyai Narema.
2. Nyai Galu.
3. Bindara Faki.
4. Nyai Lima.
Nyai Izza bersuamikan Bindara Saod, yaitu putera Bindara Bungso di Batuampar tetapi ia bertempat tinggal di Lembung. Kemudian mereka dikaruniai putera dua orang. Sekarang Lembung menjadi perdikan termasuk Kecamatan Lenteng, jauhnya kira-kira tujuh kilometer. Disana ada kepala perdikannya yang sambil lalu merawat makam Nyai Cendir, Nyai Izza dan Kiai Faki. Disebelah selatan Asta itu ada sungainya dan disebelah timurnya ada mesjid.
Diceriterakan bahwa puteri Pangeran Sidhing Puri yang bersuamikan Kiai Rawan di Sendir lalu disebut Nyai Susur. Dari perkawinannya mereka dikaruniai seorang putera bernama Kumbakara atau Kiai Sendir I. Sedangkan setelah Kumbakara beristeri ia dikaruniai putera bernama Abdirrahim atau Kiai Sendir II. Kiai Sendir II ini kawin dengan puteri Kiai Galugur dan dari perkawinannya mereka dikaruniai putera bernama Kiai Abdullah.
Kiai Rawan, Kumbakara, Kiai Abdirrahim dan Kiai Abdullah ini adalah orang-orang alim yang mempunyai pengaruh cukup besar disamping diakui kekeramatannya sampai sekarang. Setelah Kiai Abdullah kawin, ia dikaruniai tiga orang putera diantaranya puteri. Salah seorang puteranya adalah bernama Kiai Raba di Pamekasan. Kiai Raba sewaktu kecil kira-kira berumur dua tahun, mempunyai kebiasaan yang tidak sama seperti anak-anak kebanyakan pada masanya. Kalau sedang berkumpul ia tak mau bergurau. Ia pendiam terkadang kelihatan seperti orang dungu. Kalau tidur ia tak mau beralaskan tikar dan sebagainya bahkan kalau ingin tidur ia langsung membaringkan tubuhnya.
Tetapi meskipun begitu pada dirinya terdapat suatu ilmu ganjil dan sulit ditemui yaitu bertuah dalam ucapannya. Kalau dia berkata hujan, meskipun tak sepotong awanpun melayang dilangit maka seketika hujan akan datang. Begitu pula kalau ia berkata terang, maka meskipun awan menebal diangkasa sekejap akan terhapus dan menyembullah sinar matahari yang terang benderang. Oleh karena itu ia selalu dijaga oleh kedua orang tuanya takut-takut keganjilannya itu terdengar oleh Raja dan diambilnya.
Setelah berumur sembilan tahun Kiai Raba lalu minta kepada kedua orang tuanya untuk diijinkan nyantri. Kedua orang tuanya sangat gembira dengan kemauan anaknya itu maka lalu diijinkannya untuk nyantri pada Kiai Sendang. Dipesantren Kiai Sendang dia menjadi santri yang cerdas dan tak gampang lupa terhadap ilmu yang diberikan oleh gurunya. Beberapa waktu kemudian oleh gurunya dianjurkan pindah ke lain pesantren sebab Kiai Sendang sudah tak punya ilmu yang akan diajarkannya lagi.
Dari itu ia lalu pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Disepanjang pengalamannya ia selalu mendapat pujian dari guru-gurunya karena selain cerdas ia juga tekun dan suka berpuasa. Setiap ia pindah pesantren maka disanalah ia selalu dikasihi gurunya dan seringkali dijadikan wakil untuk memberi pelajaran mengaji bagi santri lainnya. Dengan kecerdasannya itu maka dalam waktu singkat ia telah banyak menguasai ilmu dari kitab-kitab Islam dan banyak pula para santri yang sungkan kepadanya.
Diceriterakan bahwa saudara perempuan Kiai Raba yang sulung bersuamikan paman sepupu dari ayahnya yaitu putera Kiai Talang Parongpong bernama Kiai Abdulkidam (Kiai Tellu). Tak lama kemudian mereka dikaruniai putera diberi nama Bindara Bungso. Sesudah Bindara Bungso dewasa lalu diasuh oleh Kiai Raba dan diikut sertakan nyantri. Suatu hari Kiai Raba dinasihati oleh gurunya begini : Sekarang kamu aku tugaskan membuka pedukuhan sambil mengajar ilmu Agama Muhammad dihutan-rawa di Pamekasan. Semua ilmu-ku telah aku berikan kepadamu dan amalkanlah. Kata orang-orang alim, barang siapa orang yang kikir akan ilmunya maka diakhirat nanti akan mendapat hukuman yang pedih. Dari sebab itu maka camkanlah ucapanku ini.
Setelah mendapat pesan demikian dari gurunya maka berangkatlah Kiai Raba (Rawa) dan Bindara Bungso. Sesampainya ditempat yang disebut gurunya tadi mereka berhenti. Disitu masih merupakan hutan berawa-rawa tanpa penduduk sama sekali bahkan yang ada disana hanya ular. Tetapi dengan tekad baja kedua orang itu tak gentar sedikitpun. Keduanya lalu memasuki hutan-rawa itu dan duduk disebuah akar pohon besar. Binatang-binatang buas yang ada dihutan itu konon tidak mengganggunya bahkan menjadi jinak pada kedua orang itu. Burung-burung yang ada disana setiap hari konon selalu membawa buah-buahan sebagai makanan sehari-hari mereka.
Sejak Kiai Raba ada disana negara Pamekasan sedang dilanda kekeringan bahkan selama lima tahun konon tak pernah turun hujan. Tanaman banyak mati dan kelaparan merajalela. Rakyat Pamekasan saat itu sungguh dirundung kemelaratan. Dari sebab itu Raja Pamekasan lalu memerintahkan para Alim Ulama supaya mengadakan shalat dan berpuasa untuk meminta hujan. Berkali-kali usaha itu dilakukan tetapi sang hujan tak mau turun juga sehingga Raja sangat susahnya. Setiap hari dirinya tak henti-henti berpuasa dan bersadaqah.
Disuatu malam pada saat Raja tidur ia bermimpi didatangi seseorang yang perawakannya sudah renta dan berkata kepadanya : Yang menjadi lantaran mengapa negara ini tidak turun hujan sebab disini ada dua orang yang sedang bertapa. Selama ini mereka hanya berlindung disebuah pohon besar yang terletak di alas (hutan) rawa. Karenanya kalau kamu mau minta turun hujan hendaknya kedua orang itu kamu beri tempat berlindung supaya tidak kehujanan.
Post a Comment