54. Bermimpi Didatangi Nabi Muhammad SAW
Keesokan harinya ketika Raja sedang duduk di paseban lalu datang seseorang menghadap sambil berkata : Hamba memberi kabar bahwa dihutan-rawa ada dua orang yang sama-sama tampan rupa sedang berlindung dibawah pohon besar lagi rindang. Selama ini tak ada seorang-pun yang berani mendekati tempat itu karena banyak ularnya. Setiap tiba waktu shalat mereka adzan, tetapi kami belum tahu darimana mereka berasal. Kami tak sempat menanyainya lagi pula hamba takut digigit ular yang ada disekitarnya.
Pada saat itu Raja segera memanggil Ki Patih dan selanjutnya berkata : Patih, kabarnya sekarang di hutan-rawa itu ada dua orang laki-laki sedang bertapa. Panggillah mereka kemari !! Ki Patih : Itu kabar bohong paduka, sebab tidak mungkin ada orang yang berani datang kesana karena disana banyak ular berbisa yang berkeliaran. Raja : Menurutku kabar itu tidak mungkin bohong karena tidak mungkin ada orang yang berani berkata bohong kepadaku. Raja lalu bertanya lagi kepada orang yang mengabarkannya tadi. Pengabar itu tetap pada pendiriannya bahwa kabar yang dibawanya itu tidak bohong.
Dari sebab itu Ki Patih bersama beberapa orang termasuk si pemberi kabar lalu berangkat ke hutan-rawa. Sesampainya disana mereka langsung masuk hutan dan setelah Kiai Raba melihat banyak orang menuju kearahnya ia terkejut. Setelah dekat mereka saling bertegur sapa tentang siapa dan dari mana asalnya. Ki Patih : Saya Patih dari negara Pamekasan sedangkan para pengiring ini adalah para Menteri. Kiai Raba : Oh tuan, paduka jangan marah. Karena sebenarnya kami tidak tahu. Ki Patih : Sejak kapan anda berada disini ? Kiai Raba : Kami sudah lima tahun lamanya ada disini. Ki Patih : Apa maksud dan tujuan anda sehingga berlama-lama disini ? Kiai Raba : Kami tidak punya maksud apa-apa. Kami hanya mengemban tugas dari guru kami.
Ki Patih lalu duduk berhadap-hadapan dengan Kiai Raba. Sedangkan para Menteri duduk dibelakang Ki Patih dan Bindara Bungso duduk dibelakang Kiai Raba sambil mendengarkan pembicaraan keduanya. Kiai Raba : Sebenarnya kami sangat bangga dan bersyukur kepada Allah karena paduka telah berkenan kesini dan melihat tempat kami yang demikian ini. Tadinya kami sempat khawatir kalau-kalau paduka akan menangkap kami.
Ki Patih : Anda tidak usah takut sebab kami tidak berniat aniaya. Sebenarnya saya diperintah oleh Raja dinegara ini untuk memanggil anda berdua karena saat ini Raja sedang dalam kesusahan besar. Selama ini hujan tidak turun sehingga mengakibatkan negara kekurangan pangan. Inilah maksud Raja memanggil anda karena konon tidak ada orang yang mampu menanggulangi keadaan yang demikian menyusahkan ini kecuali anda. Kiai Raba : Baiklah. Mari kami akan ikut. Tetapi yakinlah bahwa kami tak bisa menurunkan hujan kecuali atas karunia Allah semata.
Setelah itu mereka berangkat ke keraton untuk menghadap Raja. Di keraton Raja bertanya : Dari manakah kalian dan pekerjaan apa yang sedang kalian lakukan di hutan-rawa itu ? Kiai Raba : Kami dari Sumenep. Kami berada di hutan-rawa karena menunaikan tugas dari guru kami dan kami disuruh mendiaminya. Kemudian diceriterakanlah semua tentang yang diperintahkan gurunya kepada Raja Pamekasan. Raja kembali bertanya : Aku tak keberatan kalau kalian berdiam disana dan mudah-mudahan segera banyak orang yang dapat menjadi pengikutmu. Aku memanggil kalian kemari karena ingin minta tolong. Sudah lima tahun lamanya dinegara ini tidak turun hujan sampai-sampai terjadi kekurangan pangan karena tanaman semuanya mati. Mintakanlah kepada Allah supaya hujan segera turun.
Kiai Raba : Dengan suka hati kami akan mengabulkan keinginan paduka. Dan sekarang kami akan memohon kepada Allah semoga doa kami diterima. Tetapi kalau nanti hujan datang yang susah adalah kami paduka, sebab kami akan kedinginan. Kami tak punya kediaman yang pantas untuk berteduh dari siraman air hujan. Dan hal itu sudah dimaklumi oleh Ki Patih tentang kediaman yang kami tempati karena kami hanya bernaung dibawah pohon yang rindang.
Ki Patih membenarkan apa yang diucapkan Kiai Raba tersebut. Dari itu Raja lalu memanggil Menteri Ajek Gedong dan kepadanya diperintahkan supaya segera membuat sebuah rumah tembok yang bagus lengkap dengan langgarnya dan ditempatkan di hutan-rawa itu untuk tempat tinggal Kiai Raba. Setelah rumah dan langgar selesai dibangun Kiai Raba dan Bindara Bungso kemudian pindah dan mendiami rumah barunya. Pada saat mereka pindah, disaat itu pula hujan turun dengan derasnya.
Raja dan rakyat Pamekasan sangat gembira pada waktu itu dan berkata : Sungguh nyata bahwa Kiai Raba itu adalah seorang wali. Hujan deras tadi tak mau reda hingga tujuh hari lamanya sampai keadaan kota dan desa kebanjiran. Karena itu Raja susah lagi hatinya. Raja lalu memerintahkan lagi Patihnya untuk memanggil Kiai Raba ke keraton katanya : Aku sekarang semakin susah kalau demikian keadaannya. Hujan yang datang sudah tujuh hari lamanya tapi tak kunjung reda sampai-sampai orang disini tak bisa menggarap sawah-ladangnya. Maka dari itu katakan pada Kiai Raba bahwa ia sangat kuharapkan bisa menghadapku sekarang juga.
Setelah Kiai Raba datang menghadap, Raja Pamekasan menyatakan kesedihannya seperti yang dituturkan diatas dan selanjutnya ia meminta kesediaan Kiai Raba untuk kembali memohon kepada Allah supaya hujan dapat reda. Sambil tersenyum Kiai Raba berkata : Hamba sekarang kok jadi repot dalam memenuhi kehendak paduka. Dulu sewaktu hujan tidak datang hamba disuruh meminta supaya hujan turun. Tapi setelah hujan turun justeru minta supaya diredakan. Kalau demikian terus-menerus akhirnya Allah tidak akan mengabulkan doa kita.
Raja : Iya, ucapanmu benar. Kenyataannya akulah yang salah maka itu maafkanlah aku. Tapi sekarang aku mohon kerelaanmu untuk memintakan hujan yang sedang-sedang saja kepada Allah sehingga bisa menjadi sesuatu yang menghidupkan bagi tanaman di negara ini. Dimana dengan hujan tadi akan dapat membuat lahan-lahan menjadi subur serta menjadikan keselamatan dan kemakmuran bagi negara. Kiai Raba setuju lalu pamit pulang. Setelah sampai dirumahnya lalu hujan yang semula deras sekarang berobah menjadi sedang-sedang saja seperti yang dikehendaki Raja tadi. Kemudian sejak saat itu negara Pamekasan menjadi negara yang murah rejeki dan tanaman pangan setiap tahunnya tak pernah gagal malah banyak hasil tanaman rakyat yang dijual ke negara lain.
Dengan keberhasilan itu Kiai Raba lalu mendapat hadiah lagi dari Raja berupa tanah bengkok sebagai bekal serta hadiah bagi Bindara Bungso. Hutan-rawa itu lalu dibabatnya dan dibuatnya sebagai tegalan, sawah dan ada juga yang dibuat pekarangan untuk bakal perumahan. Tak lama kemudian Kiai Raba tambah dikenal orang dan tiap harinya banyak orang datang berkunjung ke kediamannya bahkan banyak orang yang mendirikan rumah disekitarnya.
Pada suatu hari beberapa orang sedang berkunjung kerumah Kiai Raba dengan maksud mencari ilmu dan mengaji. Sesampainya dikediaman Kiai Raba mereka menyampaikan maksudnya katanya : Kami kemari bermaksud mengabdi dan belajar ngaji. Kami rela mengabdi kepada Kiai dunia-akhirat. Kiai Raba : Sebenarnya saya tidak tahu ilmu ajar-mengajari maka itu tuan-tuan lebih baik mencari guru yang lain saja sebab orang yang bisa memberikan ilmu seperti para Ulama terkenal misalnya.
Santri : Hasrat kami semua untuk mengaji dan mengabdi pada Kiai sudah tak dapat dirobah lagi. Kiai Raba : Kalau tuan-tuan sudah bertekad dan bersungguh-sungguh maka baiklah, akan saya akan berikan apa yang saya miliki sesuai dengan kemampuan yang saya punyai. Kami adalah orang bodoh dan mudah-mudahan Allah akan selalu memberi bimbingan dan dapat mengabulkan semua hajad kita dengan selamat.
Tetapi waktunya bukan hari ini untuk mulai, karena itu silakan tuan-tuan pulang terlebih dahulu sebab pada hari ini kami belum siap untuk memulainya. Tiga hari lagi kami harapkan tuan-tuan dapat kembali. Sedangkan kitab yang tuan-tuan bawa itu sebaiknya ditinggalkan saja disini dulu supaya kami dapat mempelajarinya. Mudah-mudahan kami dapat keterbukaan hati untuk mengerti akan maksud-maksudnya.
Setelah itu maka pulanglah para calon santri itu dengan hati gembira. Sepulang para calon santrinya itu Kiai Raba merasa bimbang terhadap kemampuan ilmunya sendiri karena takut tidak memadai untuk memenuhi keinginan para calon santrinya itu. Sejak itu ia lalu memohon kepada Allah untuk diberikan kekuatan hati dan petunjuk. Selama dua hari ia menyendiri di langgarnya dan akhirnya disuatu malam ia bermimpi.
Dalam mimpinya ia merasa didatangi Nabi Muhammad didampingi oleh empat orang sahabatnya. Dalam mimpinya itu Nabi Muhammad berkata begini : Sekarang kamu boleh mengajarkan kitab sebagaimana keinginan orang-orang yang akan mengaji kepadamu. Jangan kamu tolak apa yang dihasratkan orang. Kiai Raba : Kami tidak tahu tentang apa yang harus kami berikan kepada mereka karena kami tak memiliki ilmu yang sempurna.
Nabi Muhammad lalu menyuruh Kiai Raba membuka mulut dan diludahinya. Hal itu juga dilakukan oleh empat sahabat Nabi yang secara bergiliran meludahi mulut Kiai Raba dan memerintahkan untuk ditelannya. Setelah air ludah itu terasa sampai diperutnya Kiai Raba lalu terbangun.
Sejenak ia termenung memikirkan mimpinya tadi dan sampai fajar tiba ia tidak tidur. Mimpi itu selanjutnya dituturkan kepada anak angkatnya yaitu Bindara Bungso. Setelah pagi tiba beberapa santri yang akan berguru itu datang lagi padanya. Setelah santri tadi juga mendengar ceritera tentang mimpi yang dialami gurunya mereka sangat gembira dan berharap mimpi seperti itu juga datang pada dirinya. Tekad mereka semakin pasti untuk mengabdi pada Kiai Raba dan beberapa waktu kemudian para santri itu baru mendapat pelajaran ilmu dari Kiai Raba sebagaimana mestinya. (bersambung)
Post a Comment