55. Bindara Saud Suka Berpuasa Serta Cerdas.
Karena kecerdasan Kiai Raba para santri tersebut tidak merasa kesulitan untuk menerima setiap pelajaran yang diberikan kepadanya. Lama kelamaan semakin terkenal pula nama Kiai Raba sehingga banyak pula orang alim yang sudah terkenal masih belajar ilmu agama lagi kepada Kiai Raba.
Selama Kiai Raba menetap didaerah itu orang-orang yang membangun rumah disekitarnya semakin ramai juga bahkan banyak orang dari lain desa pindah kesana. Setelah Kiai Raba sepuh maka semua kewajibannya diwakilkan kepada Bindara Bungso dan dialah kemudian yang ditugaskan untuk memberi pelajaran bagi para santrinya. Tata cara memberi pelajaran tak beda dengan Kiai Raba, karena itu kemudian banyak santri yang senang terhadap Bindara Bungso. Bindara Bungso akhirnya dianggap sebagai orang alim dan keramat.
Pada suatu hari Kiai Raba berkata kepada Bindara Bungso : Karena kamu sekarang sudah menjadi orang alim maka kiranya sudah pantas bagimu untuk membangun sebuah pedukuhan. Sambil memberi pelajaran mengaji maka pantas pula bagimu kalau membuka kegiatan di desa Batuampar-Sumenep. Apalagi karena menurutku dikemudian hari kamu akan memiliki keturunan yang akan menjadi Raja di Sumenep.
Dengan suka hati Bindara Bungso lalu berangkat meninggalkan hutan-rawa di Pamekasan menuju Batuampar-Sumenep. Kepergiannya itu disertai oleh empat orang santrinya. Sesampainya di Batuampar ia langsung membuka pedukuhan sebagaimana disarankan Kiai Raba dan dalam beberapa waktu kemudian ia juga memiliki banyak santri dan dianggap sebagai ulama besar pula. Kabar itu segera didengar oleh Ratu sehingga ia lalu disebut Kiai Batuampar.
Disana ia diberi bengkok tanah oleh kerajaan dan sampai sekarang Batuampar menjadi perdikan dan ada kepala perdikannya yang tugasnya sambil lalu merawat makam Kiai Batuampar.
Perdikan Batuampar ini termasuk wilayah kecamatan Guluk-Guluk dibawah kawedanan Guluk-Guluk (Barat Daya) kira-kira tujuh kilometer jauhnya dari pusat kawedanan itu kearah barat laut. Setelah beberapa tahun kemudian Kiai Raba lalu meninggal dan dikuburkan di Asta Raba Pamekasan. Asta tersebut keramat sampai sekarang dan orang-orang banyak yang berziarah kesana.
Diceriterakan bahwa Kiai Batuampar atau Kiai Abdullah (Bindara Bungso) atau putera Kiai Abdulkidam ini beristeri dua orang masing-masing :
1. Nyai Kursi, puteri Kiai Bayukalung di Pasean-Pamekasan dan mempunyai putera :
- Kiai Saba, berdiam di Batuampar.
- Nyai Tanjung, berdiam di Batuampar.
- Kiai Bandungan.
- Nyai Tengnga.
- Bindara Hasan.
2. Nyai Narema, puteri Kiai Hatib Bangil di Parongpong dan memiliki putera :
- Nyai Talang.
- Nyai Kadungdung.
- Bindara Saud (Saghud). Sedangkan Bindara Saud ini diasuh oleh pamannya yaitu saudara dari ibunya yang bernama Kiai Faki yaitu putera Kiai Hatib Bangil yang berdiam di Lembung.
Bindara Saud ini sangat suka berpuasa serta cerdas. Pada suatu malam ia bersama santri yang lain tidur dilanggar. Tepat waktu tengah malam guru ngajinya keluar melihat-lihat ruangan pondok para santrinya. Sang guru ngaji ini kemudian melihat sebuah cahaya terang dari arah timur dan masuk kesalah-satu ruang pondok. Dengan terheran-heran ia menghampiri ruang pondok yang didatangi cahaya tadi. Sesampainya disana dan didalam gelapnya malam tiba-tiba ia melihat ada seorang santri yang terlihat mengeluarkan cahaya seperti terbakar layaknya.
Karena tidak jelas rupa si santri maka dengan hati-hati dia menandainya dengan cara membolongi sarung santri tersebut dengan api rokok. Keesokan harinya sang guru mengumpulkan semua santrinya dan diperiksanya sarung mereka satu persatu. Kemudian diketahui bahwa sarung yang dibolonginya semalam adalah sarung Bindara Saud. Sang guru ngaji selanjutnya berkata kepada santrinya itu katanya : Insyaallah bahwa keturunan kamu kelak akan menjadi orang besar.
Setelah dewasa Bindara Saud lalu beristeri Nyai Izza yaitu puteri Kiai Jalaluddin di Parongpong. Tak lama kemudian mereka dikaruniai dua orang putera. Sementara ditempat lain yaitu di keraton Sumenep Ratu Tirtanagara bermimpi bersuamikan Bindara Saud. Dari sebab itu Bindara Saud lalu dipanggil menghadap ke keraton. Sesampainya disana Ratu Tirtanagara lalu bertanya : Siapakah namamu, dimana rumahmu, apa sudah memiliki keturunan, apa pekerjaanmu dan anak dari siapa ? Bindara Saud : Hamba bernama Bindara Saud tinggal di desa Lembung. Pekerjaan hamba mengajar ngaji sedangkan ayah hamba bernama Bindara Bungso bertempat tinggal di Batuampar dan masih keturunan Pangeran Sidhingpuri. Setelah itu Bindara Saud lalu menuturkan tentang asal-usulnya dari awal hingga akhir.
Setelah Ratu Tirtanagara mendengar penuturan Bindara Saud ia lalu merasa gembira dan selanjutnya Bindara Saud dijadikan sebagai suami dengan diberinya gelar Tumenggung Tirtanagara.
Diceriterakan pula bahwa yang menjadi Patih Ratu Tirtanagara kala itu adalah kakak sepupunya yang bernama Raden Purwanagara. Dengan kawinnya Ratu Tirtanagara dia sangat membenci Bindara Saud bahkan ia bermaksud membunuhnya. Karena dia juga sangat menyintai sang Ratu serta ingin menjabat sebagai Raja. Sejak Ratu Tirtanagara bersuamikan Bindara Saud, Patih Raden Purwanagara tak pernah lagi menghadap ke keraton karena dirinya merasa muak melihat suami Ratu yang orang desa itu.
Pada suatu hari Ratu Tirtanagara menugaskan seorang utusan untuk memanggil Raden Patih. Setelah sang utusan sampai di Kepatihan ia melihat Raden Patih sedang mengasah pedang. Utusan tadi lalu mendekat dan menyampaikan semua perintah Ratu-nya katanya : Paduka sekarang dipanggil Ratu untuk menghadap kekeraton. Raden Patih : Mau apa dia ? Utusan : Paduka sekarang diharap datang ke keraton karena adik paduka kangen dan ingin bertemu meskipun sebentar. Raden Patih : Ada dimana orang dari gunung itu ? Utusan : Hamba tidak tahu dia dimana tetapi menurut sepengetahuan hamba paduka Ratu selama ini tak punya punggawa orang dari gunung. Raden Patih : Suami Ratumu sekarang ada dimana ? Utusan : O, sekarang beliau ada di keraton dan sedang duduk bersanding dengan paduka Ratu.
Raden Patih : Katakan pada Ratumu bahwa saat ini aku tak bisa menghadap karena masih mengasah pedang yang kurang tajam untuk memotong leher orang gunung itu. Sekarang dan katakan pada Ratu tentang apa aku katakan tadi. Utusan segera meninggalkan kepatihan dan sesampainya di keraton sang Ratu masih duduk dipendapa bersama Bindara Saud. Ratu kemudian bertanya kepada utusan tetapi sang utusan diam tak menjawab karena takut Bindara Saud dan Ratu tersinggung dengan apa yang dikatakan Raden Patih kepadanya.
Sambil diliputi rasa dongkol kemudian Ratu bertanya lagi yang kemudian diceriterakanlah oleh utusan itu tentang apa yang disampaikan Raden Patih sebagaimana adanya. Setelah Ratu mendengar tutur sang utusan tadi dirinya sangat marah. Bindara Saud : Sekarang aku minta kerelaan dinda supaya aku diijinkan untuk menemui Raden Patih. Ratu : Jangan kanda, karena masih banyak tugas yang harus kanda selesaikan. (bersambung)
Post a Comment