Header Ads

56. Sepeninggal Bindara Saud dan Ratu Tirtanagara pemerintahan Sumenep Dipegang Raden Aria Atmajanagara


Pada kala itu dipendapa juga sedang menghadap dua orang Menteri yang cakap yaitu :

1. Kiai Sengngatarona orang dari desa Gapura Barat dan ia adalah anak dari seorang alim bernama Kiai Rombu.

2. Kiai Sawunggaling.

 Kiai Sengngatarona berkata : Kami punya pendapat paduka Ratu. Ratu : Apa pendapatmu ? Kiai Sengngatarona : Begini. Dandani kawula paduka Kiai Sawunggaling ini seperti seorang Raja lalu dudukkan ia di kursi kebesaran dipaseban. Hamba akan mendampingi dia dengan sebuah tombak. Sesudah itu panggillah lagi Raden Patih dan katakan bahwa yang sedang duduk dipaseban itu adalah suami paduka. Kalau Raden Patih nanti mendekati Sawunggaling dan menyerangnya maka akan hamba bunuh dengan tombak yang hamba pegang.

 

Esok harinya Sawunggaling lalu didandani laksana Raja dan didudukkan dikursi Ratu dipaseban dengan dihadap para menteri dan lainnya. Sedangkan Kiai Sengngatarona berdiri disamping Kiai Sawunggaling dengan sebuah tombak pusaka Ratu ditangannya. Sesudah itu Ratu lalu mengutus seorang utusan untuk memanggil lagi Raden Patih.

 

Utusan segera berangkat dan setelah sampai dikepatihan dia melihat Raden Patih sedang duduk dikursi sambil menimang-nimang pedangnya. Utusan berkata : Hamba diutus adik paduka. Raden Patih : Apa keperluannya ? Utusan : Paduka diharap datang menghadap ke keraton sedangkan apa maksudnya hamba tidak tahu. Raden Patih : Orang dari gunung itu ada dimana ? Utusan : Sekarang ada dipaseban sedang dihadap para Menteri dan semua kawula. Raden Patih : Siapa lagi temannya disana ? Utusan : Tidak ada siapa-siapa kecuali beliau sendiri yang duduk dikursi kebesaran. Raden Patih : Ratumu ada dimana ? Utusan : Ratu ada dikeraton.

 

Setelah mendengar ungkapan utusan tadi Raden Patih gembira hatinya dan segera berpakaian. Setelah siap ia berangkat dengan membawa pedang terhunus. Sesampainya di alun-alun dilihatnya seseorang sedang duduk dikursi kebesaran Ratu. Dengan hati lega ia memasuki paseban, disangkanya yang duduk itu adalah Bindara Saud. Saat hampir tiba dipaseban ia semakin mempercepat langkahnya dan dari utara paseban dia naik.

 

Karena dikuasai nafsu meski jaraknya masih tinggal setombak dari orang yang duduk dikursi kebesaran itu seketika ia menebaskan pedangnya tapi meleset. Pedang yang diasah berhari-hari itu menancap ditiang paseban. Karena tajamnya pedang dan kuatnya daya ayun yang disertai dengan nafsu amarah maka pedang itu lengket ditiang paseban dan tak bisa dicabut. Melihat kesempatan itu Kiai Sengngatarona segera menyarangkan tombak kearah rusuk Raden Patih dan mengenainya. Raden Patih lalu jatuh tersungkur dan meninggal.

 

Dari jasanya itu Kiai Sengngatarona lalu diangkat menjadi Patih, sedangkan Kiai Sawunggaling diangkat menjadi pelindung Ratu. Pada suatu hari Ratu Tirtanagara bertanya kepada suaminya Bindara Saud : Apakah kakanda mempunyai isteri ? Bindara Saud : Ya, aku telah beristeri dan sudah dikaruniai dua orang anak yang semuanya laki-laki. Ratu : Dinda bersyukur kalau kakanda sudah dikaruniai anak. Tapi dinda minta kerelaan kanda supaya isteri kakanda dicerai saja.

 

Bawalah kedua anak kanda itu kemari dan akan dinda asuh. Maka dari itu isteri yang tua (Nyai Izza) kemudian dicerai oleh Bindara Saud sedangkan kedua puteranya dibawa ke keraton.

 

Dalam perjalanan kekeraton kedua anak Bindara Saud itu berembuk. Kakaknya : Kalau sudah sampai dikeraton nanti kepada siapakah engkau pertama kali akan sungkem ? Adiknya : Adik akan sungkem pertama kali pada paduka Ratu. Kakaknya : Kalau aku akan sungkem pada ayah dahulu. Sampai mereka dikeraton kakaknya langsung sungkem kepada Bindara Saud sedangkan adiknya sungkem pada Ratu.

 

Pada saat adiknya sungkem pada Ratu lalu sambil memegang kepala anak itu sang Ratu berkata : Kamu-lah yang akan menjadi penguasa di negara Sumenep ini sampai pada anak cucumu. Setelah acara sungkeman selesai maka kemudian sang kakak diberi gelar Raden Aria Pacenan alias Raden Aria Kusumanagara, sedangkan sang adik diberi gelar Raden Aria Atmajanagara.

 

Setelah perceraiannya dengan Bindara Saud, Nyai Izza lalu kawin lagi dan bersuamikan Kiai Samporna. Mereka dikaruniai putera :

 

 1. Kiai Cakrayuda.

2. Raden Ardikusuma.

3. Raden Jayakusuma.

4. Raden Surakusuma.

 

Kiai Samporna meninggal dunia di desa Samporna dan desa ini sekarang menjadi perdikan. Disana ada kepala perdikannya yang tugasnya sambil lalu merawat makam Kiai Samporna.

 

Desa Samporna termasuk wilayah Kecamatan Pasongsongan, kawedanan Barat Laut Ambunten.

 

Diceriterakan bahwa saudara Bindara Saud yaitu Kiai Saba di Batuampar mempunyai putera :

 

1. Kiai Tumenggung Mangsupati, Patih Sumenep.
2. Kiai Pangolo I di Batuampar.
3. Ramana Molasir.
4. Kiai Parisin.
5. Nyai Bara’.
6. Nyai Suriya.

 

Berikutnya diceriterakan bahwa Bindara Saud (Tumenggung Tirtanagara) dan Ratu Tirtanagara sekarang sudah wafat. Sedangkan waktu wafat antara keduanya berselang tak seberapa lama yaitu Tumenggung Tirtanagara wafat pada tanggal 17 Jumadilawal 1685 tahun Jawa, 1171 tahun Arab atau 1754 tahun Masehi, sedangkan Ratu Tirtanagara wafat tanggal 25 Jumadilawal 1685 tahun Jawa, 1171 tahun Arab atau 1754 tahun Masehi (berselang delapan hari).

 

Makam keduanya terletak di Asta Tinggi Desa Kebonagung berkumpul dalam satu cungkup dan ada disebelah timur cungkup Pangeran Jimat. Menurut para sepuh di Sumenep cungkup ini adalah bekas pendapa Pangeran Lor. Makam Bindara Saud terletak di paling barat deretan utara berdampingan dengan Ratu Tirtanagara.

 

Sepeninggal Bindara Saud dan Ratu Tirtanagara pemerintahan di Sumenep dipegang oleh Raden Aria Atmajanagara (Panembahan Somala) yang bergelar lagi sebagai Raden Tumenggung Aria Natakusuma I. Dia menjabat sebagai Bupati Sumenep pada 1685 tahun Jawa, sebab Ratu Tirtanagara dalam perkawinannya dengan Bindara Saud tidak dikaruniai anak.

 

Tak lama kemudian Tumenggung Aria Natakusuma I bersama-sama Kompeni Belanda berperang dengan negara Blambangan dan perang itu dimenangkannya. Dari itu dia diberi hadiah tanah Panarukan oleh Kompeni. Seusai perang dengan Blambangan Tumenggung Natakusuma I diundang ke Betawi, diangkat dan diberi gelar Pangeran Natakusuma I pada tahun 1768 Masehi. Sekembalinya dari Betawi, tanah Panarukan diserahkan lagi pada Kompeni karena Pangeran Natakusuma I meminta kembali negara Sumenep dan setelah itu ia lalu membangun keraton.

 

Diberdayakan oleh Blogger.
close