Masjid Jamik Sumenep tempo dulu Pada 1712 tahun Jawa atau 1200 tahun Arab Pangeran Natakusuma I membangun Mesjid Jamik disebelah barat alu...

57. Pembangunan Mesjid Jamik Sumenep

 

Masjid Jamik Sumenep tempo dulu

Pada 1712 tahun Jawa atau 1200 tahun Arab Pangeran Natakusuma I membangun Mesjid Jamik disebelah barat alun-alun dan selesai pada 1718 tahun Jawa atau 1206 tahun Arab. Mesjid itu sejak dulu sampai sekarang lazim disebut Mesjid Anyar (Mesjid Baru).

Sedangkan lokasi Mesjid yang lama terletak dibelakang keraton (didepan Rumah Dinas Bupati sekarang) yang pada 1724 tahun Jawa pernah diadakan perbaikan oleh Pangeran Natakusuma I tetapi kemudian disebut sebagai langgar.

Namun sampai sekarang orang Sumenep tetap menyebutnya sebagai Mesjid Laju (Mesjid Lama) dan disana ada tulisannya (prasasti) didalam Mesjid yang sampai sekarang masih terpelihara baik.

Selanjutnya disebutkan bahwa Pangeran Natakusuma I memiliki delapan orang anak yaitu :

1. Raden Aria Kusumadiningrat (Pangeran Panggung).
2. Raden Aria Tirtadiningrat atau Sultan Abdurrahman Pakunataningrat.
3. Tumenggung Kornel, bertempat tinggal di sebelah selatan Mesjid Anyar.
4. Pangeran Natapraja, bertempat tinggal di Dalem Anyar.
5. Raden Ayu Panji Sengngasare.
6. Raden Ayu Bei.
7. Raden Ayu Potre.
8. Raden Ayu Tumenggung Puger.

Kiai Tumenggung Mangsupati atau putera Kiai Saba di Batuampar yang dalam hal itu menjadi Patih di Sumenep mempunyai putera :

1. Raden Panji Sastradipura, Jaksa di Sumenep.
2. Raden Panji Prawirakusuma.
3.Raden Wiradipura.
4. Raden Ayu Werdisastra I.
5. Raden Ayu Pangolo (Penghulu) di Batuampar.
6. Raden Ayu Chatib Abdullah.

Kiai Kandar (Kiai Parongpong) yaitu putera Kiai Jalaluddin mempunyai putera bernama Kiai Sarampa di Parongpong. Sedangkan Kiai Sarampa berputera bernama Abdurrahman bergelar Kiai Werdisastra sekretaris Sultan Sumenep. Ki Patih Sengngatarona mempunyai anak perempuan yang bersuamikan Mas Tumenggung Pratalikrama yang menjabat sebagai Hoof Jaksa Sumenep.

Menurut beslit Kanjeng Tuan Besar Gubernur Jenderal di Bogor tanggal 2 April 1827 Mas Tumenggung Pratalikrama ini diangkat bernama Mas Tumenggung Rangga Kertabasa Pratalikrama.

Setelah Pengeran Natakusuma I sepuh pemerintahan di Sumenep diserahkan kepada putera sulungnya yaitu Raden Aria Kusumadiningrat (Pangeran Panggung) dan sudah mendapat pengukuhan (beslit) dari Tuan Dellir di Semarang dengan gelar Tumenggung Nataningrat. Peristiwa itu terjadi pada 1732 tahun Jawa.

Tak lama kemudian Tumenggung Nataningrat tidak patuh terhadap perintah ayahnya (Panembahan Somala) bahkan konon ia sampai membuat ayahnya sakit disamping para bawahannya juga kurang senang atas cara-cara pemerintahannya.

Maka itu selanjutnya ia dipindahkan ke negara Gembung (Pasuruan), sedangkan di Sumenep jabatannya digantikan kepada adiknya yaitu Raden Aria Tirtadiningrat pada 1737 tahun Jawa.

Setelah Raden Aria Tirtadiningrat mengganti jabatan kakaknya, beberapa waktu kemudian Tuan Jenderal meminta tolong untuk membantu perang melawan Jipang di Karesidenan Rembang. Oleh ayahnya, Raden Aria Tirtadiningrat diperintahkan membawa bala tentara sebanyak seribu orang lengkap dengan persenjataannya.

Setelah berangkat maka ditengah perjalanan tepatnya di Kobanyar daerah Bangkalan mereka berhenti.

Raden Aria Tirtadiningrat selanjutnya dipanggil ke Surabaya dan disana ia diberi gelar Pangeran Natanagara sedangkan ayahnya yaitu Pangeran Natakusuma diangkat dengan gelar Panembahan Natakusuma I.

Kemudian Betawi diserang Inggris. Pangeran Natanagara dipanggil Tuan Residen Landrosguitba ke Surabaya untuk menjaga Sedayu (Sidayu). Pangeran Natanagara datang membawa tentara dua ribu orang lengkap dengan perkakas perangnya. Peperangan yang terjadi di Betawi, Belanda kalah. Jenderal Jansen dapat meloloskan diri ke Semarang dan menyerah.

Pangeran Natanagara selanjutnya dipanggil ke Semarang untuk bertemu Jenderal Jansen dan Tuan Jenderal Chilispi. Mereka bertemu di Loji Bojong. Disana Pangeran Natanagara mendapat perintah untuk pulang ke Sumenep. Pada saat itu negara Sumenep juga diserang oleh tentara Inggris.

Pada suatu hari tentara Inggris mendarat di Tanjung. Rakyat disana ketakutan dan berlarian. Setelah Bandar Pelabuhan tahu bahwa daerahnya didatangi musuh maka dibawalah anak dan isterinya ke Sumenep untuk menyelamatkan diri. Selanjutnya Bandar Pelabuhan melapor kejadian itu kepada Panembahan Natakusuma I. Sesampainya di keraton tanpa tatakrama sang Bandar Pelabuhan langsung masuk menerobos orang-orang yang ada dipaseban. Pada saat itu Panembahan Natakusuma I sedang mengadakan pertemuan dengan beberapa punggawanya.

Melihat kedatangan Bandar Pelabuhan, Panembahan Natakusuma I terkejut namun dia tak segera bertanya sehingga para penghadap terheran-heran dibuatnya. Sebentar kemudian orang-orang desa berduyun-duyun memasuki keraton. Dari itu Panembahan lalu bertanya : Ada apa Bandar ? Bandar : Hamba memberi kabar bahwa pada hari ini ada kapal Inggris berlabuh di dermaga Tanjung. Para serdadunya turun kedarat dengan senapan lengkap sehingga rakyat paduka disana pada lari ketakutan.

Panembahan kemudian memerintahkan Patihnya yang bernama Kiai Angabei Mangonadireja katanya : Sekarang pergilah kamu kesana bersama beberapa Menteri dan tanyakan apa kepentingan mereka. Ki Mangon selanjutnya berangkat dengan empat puluh orang Menteri namun sesampainya diluar ia mengajak sejumlah Menteri lagi sampai berpuluh-puluh jumlahnya.

Sesampainya di Kalianget mereka bertemu dengan tentara Inggris dan langsung menyerangnya. Tentara Inggris menangkis serangan itu sehingga dikedua belah pihak banyak yang luka dan tewas. Karena tentara Sumenep melakukan serangan dengan gencar maka pihak Inggris juga mengeluarkan seluruh kekuatannya. Terjadilah pertempuran seru dengan korban saling berjatuhan. Akhirnya lasykar Sumenep tinggal sedikit dan sebagiannya lagi lari menyelamatkan diri.

Ki Mangon masih gigih melakukan penyerangan meski hanya tinggal seorang diri. Dirinya memang memiliki ilmu keprajuritan dan kekebalan. Tetapi pada akhirnya diapun terluka dan mundur. Sesampainya di Loji ia meninggal dan jazadnya dikuburkan di Asta Tinggi di sebuah cungkup bercat merah kira-kira arah tenggara asta Sultan Sumenep. Ki Mangon ini meninggal tepat pada hari Jum’at tanggal 10 bulan Sya’ban 1728 tahun Jawa.

Disaat itu lalu ada ungkapan orang-orang Sumenep yang berbunyi “Jimbrit baceng, kamarong kellana maronggi, Inggris dhateng Ke Mangon mate e Loji”. Dalam bahasa Indonesia kira-kira : “ Jimbrit=udang kecil, kamarong (semacam duri pada pohon umbi-umbian), masaknya daun kelor. Inggris datang, Ki Mangon meninggal di Loji (Benteng). _ (bersambung)

Mungkin Menarik