![]() |
| Gambar sekedar ilustrasi tulisan |
Kisah tentang kelahiran, asal-usul, dan masa muda Pangeran Trunojoyo
Di tanah Madura yang tandus namun penuh wibawa, pada masa ketika angin laut membawa cerita-cerita para leluhur ke seluruh penjuru desa, lahirlah seorang bayi lelaki yang kelak mengguncang tatanan Jawa dan Madura. Ia adalah Raden Trunojoyo, putra bangsawan yang kelahirannya disambut bukan hanya oleh keluarga, tetapi oleh tanda-tanda alam yang seakan memberi pertanda bahwa seorang tokoh besar telah tiba.
Tanah Kelahiran
Trunojoyo lahir sekitar tahun 1649 di wilayah Arosbaya, sebuah daerah di Madura Barat yang diselimuti legenda, pusat kekuasaan keluarga Cakraningrat. Masa itu, Arosbaya disebut sebagai tanah yang “beraroma perlawanan”, tempat para bangsawan Madura tumbuh dengan kebanggaan, harga diri, dan keberanian sebagai bekal sejak kecil.
Lingkungan istana Arosbaya dikelilingi bukit kapur yang putih, yang pada siang hari tampak seperti tembok alam, dan pada malam hari seolah memberi pantulan cahaya bulan untuk menerangi jalan orang-orang yang lewat. Di sinilah Trunojoyo menghabiskan masa kecilnya, di antara pelataran luas bergaya tanéyan lanjhâng, di mana rumah-rumah bangsawan berdiri berbaris menghadap selatan. Halaman panjang itu menjadi tempat Trunojoyo berlari, bertarung kecil-kecilan, mendengarkan petuah para tetua, dan belajar mengakrabi dunia yang kelak menjadi panggung kehidupannya.
Darah Kebangsawanan dan Titian Politik
Ayahnya adalah seorang bangsawan dari garis Cakraningrat, keluarga yang memiliki pengaruh besar di Madura Barat. Ibunya memiliki hubungan darah dengan keluarga raja Mataram. Dari kedua garis itu, Trunojoyo memeroleh dua warisan sekaligus: keberanian Madura dan diplomasi Jawa.
Namun garis keturunan itu juga berarti satu hal: ia sudah berada di tengah percaturan politik bahkan sebelum ia dapat berbicara. Bangsawan Madura kala itu sering hidup dalam tarik ulur kepentingan antara Mataram, para saudagar pesisir, dan kekuatan asing seperti VOC. Pertarungan yang tak terlihat ini menjadi aura yang melekat pada kehidupan keluarga Cakraningrat.
Seorang bayi seperti Trunojoyo mungkin belum memahami dunia yang mengelilinginya, tetapi para penjaga istana sering mengatakan bahwa sejak kecil ia memiliki sorot mata berbeda. Mata yang tajam, selalu memperhatikan, bahkan ketika diam. “Bocah nika lakar dados tokoh,” kata salah satu kiai tua di Arosbaya ketika mengazani telinga kecilnya.
Masa Kanak dan Pendidikan Awal
Masa kecil Trunojoyo penuh dengan disiplin. Sebagai keturunan bangsawan, ia menerima pendidikan yang menggabungkan unsur spiritual, sastra, dan ilmu keprajuritan. Di pagi hari ia belajar membaca aksara pegon dan hanacaraka. Di siang hari ia berlatih menaiki kuda, memegang tombak, dan belajar menguasai armada laut kecil milik istana.
Madura pada abad ke-17 adalah tanah yang keras. Angin garam membuat kulit mengelupas, dan ladang-ladang kering memaksa para petani bekerja lebih keras. Trunojoyo yang kecil menyaksikan semua itu dari balik dinding istana—perbedaan antara hidup bangsawan dan kehidupan rakyat jelata begitu mencolok. Ia melihat bagaimana rakyat bekerja keras memelihara sapi, mengolah garam, dan bertahan dari pajak yang semakin berat akibat kebijakan Mataram.
Pengalaman kecil itu kelak menjadi nyala kecil yang membesar dalam dirinya: bahwa pejabat tidak boleh hidup dengan menindas rakyatnya.
Pertumbuhan dalam Bayang-Bayang Mataram
Seiring usia beranjak remaja, pengaruh Kesultanan Mataram semakin kuat atas Madura. Amangkurat I, yang naik tahta setelah Sultan Agung, dikenal sebagai raja yang keras dan penuh kecurigaan. Ia membersihkan istananya dari pejabat-pejabat yang dianggap membangkang. Banyak yang dihukum, dibuang, bahkan dibunuh.
Perlakuan Amangkurat terhadap bangsawan daerah, termasuk Madura, semakin membuat hubungan pusat dan daerah retak. Pajak dinaikkan, upeti diperas, dan tanah-tanah strategis diambil alih orang-orang dekat istana. Di Madura, rakyat yang awalnya setia menjadi gelisah, sementara para bangsawan merasa dicurangi.
Dalam situasi ini, Trunojoyo remaja tumbuh sebagai saksi betapa kekuasaan dapat menjelma menjadi tirani. Ia melihat ayahnya dan para bangsawan lain tidak bebas dalam menentukan kebijakan daerah. Bahkan gerak-gerik mereka diawasi utusan Mataram.
Banyak catatan lisan Madura menceritakan bahwa sejak masa remaja, Trunojoyo telah memiliki sifat pemberontak. Bukan pemberontak yang sembarangan, tetapi pemberontak terhadap ketidakadilan. Ia sering mempertanyakan keputusan Mataram dan menganalisisnya secara kritis.
“Bila raja berlaku zalim, maka siapa yang harus berdiri?” katanya kepada seorang gurunya.
Pergaulan dan Pembentukan Karakter
Trunojoyo bukan hanya seorang bangsawan. Ia juga seorang pemuda yang pandai bergaul. Ia membangun hubungan dengan para santri, saudagar, dan perwira lokal di Madura. Ia sering mengunjungi pesantren-pesantren yang berkembang di wilayah Bangkalan dan sekitarnya.
Di pesantren itulah ia mendapatkan pemahaman bahwa kekuasaan harus didasarkan pada keadilan. Para kiai mengajarkan kepadanya bahwa pemimpin yang menindas rakyatnya akan kehilangan legitimasi, sebuah ajaran yang sangat membekas dalam batinnya.
Kecerdasannya membuat para tetua mudah menyukainya. Banyak yang kemudian melihat bahwa Trunojoyo memancarkan aura kepemimpinan alami: tegas, berani, namun tetap santun kepada para guru dan sesepuh.
Kecakapannya dalam berpolitik juga mulai terlihat. Dalam usianya yang masih muda, ia sudah memahami bagaimana menjalin aliansi, bagaimana membaca karakter orang, dan bagaimana menjaga wibawa tanpa menonjolkan diri.
Perjalanan ke Mataram dan Rasa Kecewa
Sebagai bangsawan, ia sempat berada di lingkungan keraton Mataram. Di sanalah ia melihat secara langsung intrik yang jauh lebih keras dibanding yang pernah ia lihat di Madura. Kekuasaan menjadi medan perebutan tak berkesudahan. Amangkurat I memerintah dengan tangan besi, menghabisi lawan politik, bahkan mengeksekusi para kiai yang dianggap mengancam.
Pengalaman itu menjadi semacam pukulan batin bagi Trunojoyo. Ia menyaksikan betapa rakyat Jawa tertekan, dan para pejabat ketakutan. Istana yang seharusnya menjadi tempat keadilan justru menjadi sumber ketidakadilan.
Di sinilah rasa kecewa semakin menguat.
Di sinilah benih perlawanan muncul.
Ketika kembali ke Madura, ia membawa pulang kecemasan yang selama ini ia sembunyikan dalam hatinya. Ia mulai memikirkan masa depan tanah kelahirannya. Ia melihat bahwa Madura membutuhkan pemimpin yang berani bersuara, bukan yang tunduk pada tekanan pusat.
Awal Benih Pemberontakan
Salah satu titik penting yang mempengaruhi psikologi Trunojoyo adalah ketika keluarga Cakraningrat mengalami tekanan politik dari Mataram. Amangkurat I menuntut kesetiaan mutlak, bahkan menyingkirkan mereka yang dianggap dekat dengan kelompok tertentu.
Beberapa catatan menyebutkan bahwa konflik internal keluarga bangsawan Madura juga memberikan celah bagi Mataram untuk mengendalikan keadaan. Trunojoyo merasa bahwa Madura sedang dipaksa menyerah perlahan-lahan.
Di tengah situasi itu, ia mulai mendekati kelompok-kelompok yang tidak puas dengan Mataram. Para pelaut Makassar yang melarikan diri setelah kekalahan Kerajaan Gowa menemukan perlindungan pada Trunojoyo. Mereka menjadi bagian dari jaringan militernya yang kelak sangat berpengaruh.
Pemuda bangsawan ini mulai membangun reputasi sebagai pemimpin alternatif. Sebagian rakyat menaruh harapan kepadanya—harapan akan hadirnya perubahan.
Alasan Mengapa Trunojoyo Memberontak
Dari pengalaman masa kecil hingga dewasa, dari pesantren hingga istana, dari lapangan latihan hingga ruang perundingan, Trunojoyo menyaksikan satu hal yang konsisten:
Mataram semakin menindas daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaannya.
Tekanan itu menyentuh tiga hal besar:
- Penindasan rakyat
Pajak tinggi, perampasan tanah, penindasan pejabat lokal. - Penghinaan terhadap bangsawan Madura
Para penguasa lokal dipaksa tunduk tanpa kehormatan. - Krisis moral dalam kepemimpinan Amangkurat I
Kekuasaan dijalankan dengan tindak kekerasan yang tidak perlu.
Dari semua itu, Trunojoyo menyimpulkan bahwa perubahan hanya dapat dilakukan lewat perlawanan. Ia tidak ingin Madura selamanya menjadi tanah yang hanya menjadi penonton sejarah. Ia ingin bangsanya berdiri sejajar dengan kekuasaan Jawa.
Di sebuah malam yang hening, ketika angin membawa bau laut dan suara jangkrik memenuhi halaman tanéyan lanjhâng, Trunojoyo memantapkan hati.
Ia sadar bahwa jalan yang ia pilih bukan jalan mudah. Tetapi ia juga yakin bahwa diam berarti membiarkan tirani menang.
Dari sinilah babak baru kehidupan Trunojoyo dimulai.
Babak perlawanan.
Babak ketika seorang bangsawan muda berubah menjadi simbol perjuangan rakyat Madura dan Jawa Timur.
Tulisan selanjutnya: Kisah Perlawanan Trunojoyo: Api yang Membakar Mataram
(diramkum dari beberala sumber)
