Langsung ke konten utama

Madura: Dari Taklukan Mataram hingga Kembali ke Pangkuan Republik

Sekedar ilustrasi

Pulau Madura yang membentang di lepas pantai timur laut Jawa, memiliki panjang sekitar 190 kilometer dan luas 5.505 km², dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Secara geologis, Madura merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur utara dan selatan Lembah Solo. Sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan cadas dengan punggung kapur yang lebar, menjadikannya tanah yang kurang subur. 

Kondisi ini menjadikan Madura pada masa awal tidak memiliki nilai ekonomi besar bagi Belanda atau VOC. Banyak penduduknya bermigrasi ke Jawa Timur untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Namun, dalam perjalanan sejarah, Madura justru menjadi sumber penting bagi tenaga militer kolonial dan kemudian berkembang menjadi pusat produksi garam utama di Hindia Belanda, menjadikannya wilayah bernilai ekonomi strategis.


Sejak abad ke-17, hubungan Madura dengan kekuasaan di Jawa berlangsung kompleks. Awalnya, pulau ini diperintah oleh raja-raja lokal yang kemudian ditaklukkan oleh Sultan Agung dari Mataram pada 1624. Sejak itu, Madura dipersatukan di bawah satu pemerintahan yang berpusat di Sampang, dan para penguasanya menggunakan gelar Cakraningrat. Namun, sebagai wilayah taklukan, para pangeran Madura sering kali merasa tertekan di bawah kendali Mataram, sehingga berbagai perlawanan pun muncul.

Perlawanan besar pertama dipimpin oleh Raden Trunojoyo pada masa pemerintahan Amangkurat I. Didorong dendam atas pembunuhan ayahnya dan keinginan merebut kembali kekuasaan atas Madura, Trunojoyo menguasai Pamekasan pada 1671 dan menjadikannya pangkalan pemberontakan. Ia kemudian memperluas kekuasaannya ke pesisir utara Jawa dan bersekutu dengan pasukan Makassar. Pada 1675, Trunojoyo berhasil merebut Surabaya dan sejumlah wilayah penting. Gerakannya mengancam stabilitas perdagangan VOC di Jawa Timur, sehingga Belanda turun tangan.

Pada 1677, VOC memperbarui perjanjian dengan Amangkurat I untuk membantu menumpas pemberontakan dengan imbalan konsesi ekonomi. Trunojoyo akhirnya ditangkap pada akhir 1679, dan pada Januari 1680 ia dieksekusi langsung oleh Amangkurat II. Namun semangat perlawanan Madura tidak padam. Panembahan Cakraningrat I (1680–1707) meneruskan ambisi memperluas kekuasaan Madura di Jawa Timur. Hubungan dengan Mataram tetap tegang, bahkan pada masa Cakraningrat IV (awal abad ke-18), keinginan untuk berada di bawah perlindungan VOC lebih besar daripada menjadi bawahan raja Jawa.

Ketegangan politik meningkat ketika VOC menolak mengakui tuntutan Cakraningrat IV yang ingin berkuasa penuh atas sebagian besar Jawa Timur. VOC menganggap kekuasaan besar di tangan penguasa Madura akan mengganggu stabilitas pesisir utara. Upaya perundingan gagal, dan pada 1745 VOC menurunkan Cakraningrat IV dari tahtanya. Ia melawan, tetapi akhirnya kalah dan dibuang ke Tanjung Harapan pada 1746. Sejak itu, Madura sepenuhnya berada di bawah kendali VOC dan kemudian diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada masa pemerintahan kolonial, Belanda mengatur sistem kekuasaan di Madura dengan membagi wilayahnya menjadi tiga pusat pemerintahan: Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Tahun 1817, seluruh Pulau Madura dijadikan satu keresidenan, dan pada 1828 digabung dengan Karesidenan Surabaya. Dalam struktur administrasi kolonial, Jawa dan Madura diperlakukan sebagai satu kesatuan administratif. Meski para bangsawan lokal tetap diakui, kekuasaan mereka makin terbatas. Tahun 1887, status penguasa Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep disamakan dengan bupati di Jawa, di bawah pengawasan langsung pemerintah kolonial.

Belanda kemudian melakukan modernisasi birokrasi melalui Regerings Reglement yang menata hierarki pemerintahan dari pusat ke daerah dengan asas dekonsentrasi. Struktur administratif Hindia Belanda terdiri atas gewesten, afdelingen, onderafdelingen, district, dan onderdistrict. Selanjutnya, Bestuurshervormingswet tahun 1922 memperkuat otonomi lokal melalui pembentukan provincie, regentschap, dan staatsgemeente. Berdasarkan ketentuan ini, pada 1928 di Jawa dan Madura terdapat tiga provinsi, tujuh puluh kabupaten, dan tujuh belas kota.

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, sistem pemerintahan kolonial tidak banyak diubah, hanya diganti istilahnya ke dalam bahasa Jepang. Jabatan gubernur dan asisten residen dihapuskan, dan para bupati tetap berperan sebagai pelaksana pemerintahan di bawah pengawasan militer Jepang. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945, Belanda berusaha kembali menguasai wilayah ini melalui agresi militer. Tahun 1947, kekuasaan di Madura sempat berada di tangan pemerintahan sementara Belanda, seperti Hoofd Tijdelijke Bestuurdienst dan Recomba.

Sebagai bagian dari strategi federalisasi, Belanda kemudian membentuk berbagai negara bagian, termasuk Negara Madura. Berdasarkan surat Residen Recomba Madura, pada 14 Januari 1948 diadakan pertemuan di Pendopo Bangkalan yang melahirkan Komite Sementara Penentuan Kedudukan Madura. Komite ini beranggotakan wakil dari empat kabupaten: Pamekasan, Sumenep, Sampang, dan Bangkalan. Dua hari kemudian, di kediaman Bupati Pamekasan dibentuk Komite Penentuan Kedudukan Madura yang bersifat tetap.

Dari hasil perundingan komite tersebut, pada 24 Januari 1948 ditetapkan resolusi pembentukan Negara Madura dengan wilayah mencakup Pulau Madura dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Raden Ario Tumenggung Cakraningrat, Residen Madura, diangkat sebagai Wali Negara. Negara ini diakui oleh pemerintah federal Belanda sebagai bagian dari proyek Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO), bersama negara-negara bagian lain seperti Negara Jawa Timur dan Negara Pasundan.

Dalam pelaksanaannya, Negara Madura memiliki kewenangan luas di bidang sosial, ekonomi, industri, dan keuangan. Di bidang ekonomi, negara ini diberi hak mengawasi perdagangan, koperasi, perikanan laut, dan pelayaran lokal. Di bidang industri, Madura mengatur sendiri urusan industri dan kepemilikan sumber daya di wilayahnya, meski tetap berada di bawah pengawasan Departemen Ekonomi Belanda. Di bidang keuangan, pemerintah Madura mengelola pajak, pendapatan daerah, serta kebijakan pelelangan dan pegadaian sesuai pedoman Departemen Keuangan Belanda.

Namun, pembentukan Negara Madura tidak membawa kesejahteraan atau kestabilan politik. Banyak rakyat Madura justru menolak bentuk negara boneka ini karena dianggap bertentangan dengan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945. Sentimen nasional semakin kuat setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir 1949 menghasilkan keputusan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Semangat nasionalisme di berbagai negara bagian, termasuk Madura, semakin meningkat.

Di Madura, gelombang demonstrasi rakyat berlangsung sejak November 1949. Mereka menyampaikan resolusi kepada Dewan Rakyat Madura untuk menolak pemerintahan federal dan menuntut kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desakan ini berpuncak pada tanggal 15 Februari 1950 ketika ribuan rakyat Madura turun ke jalan menuntut pembubaran Negara Madura dan Dewan Rakyatnya. Demonstrasi besar itu disertai motie van wantrouwen atau mosi tidak percaya terhadap pemerintah negara bagian.

Akhirnya, pada 15 Februari 1950 di Pamekasan, dilakukan pembubaran resmi Negara Madura. Keputusan ini menandai berakhirnya babak federalisasi di pulau tersebut dan kembalinya Madura ke dalam pangkuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sejak saat itu, Madura menjadi bagian integral dari Provinsi Jawa Timur, dengan pembagian administratif ke dalam empat kabupaten: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.

Perjalanan sejarah panjang Madura memperlihatkan bagaimana wilayah ini memiliki dinamika politik yang kuat dan identitas yang kukuh. Dari tanah yang gersang dan dianggap kurang bernilai, Madura menjadi pusat pergolakan yang memainkan peranan penting dalam sejarah Nusantara — baik sebagai benteng perlawanan terhadap Mataram, basis kekuatan militer VOC, maupun simbol semangat nasionalisme yang menolak kolonialisme dan federalisme buatan Belanda.

Madura bukan hanya sekadar wilayah geografis di timur laut Jawa, tetapi juga ruang sejarah yang menyimpan kisah keteguhan, kesetiaan, dan keberanian rakyatnya dalam mempertahankan harga diri dan kedaulatan bangsa. Dalam lintasan waktu, Madura telah menunjukkan bahwa meskipun tanahnya keras, semangat rakyatnya jauh lebih keras — semangat yang menolak tunduk pada penindasan, berdiri tegak bersama Republik Indonesia, dan tetap menjadi bagian dari denyut nadi sejarah bangsa hingga hari ini.

(dari beberapa sumber)

 

© 2020 Babad Madura

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.

close