Header Ads

Negara Madura: Bayang Kolonial dan Pilihan untuk Tetap Indonesia

Cakraningrat sedang berpidato (*)

Ketika Perjanjian Linggarjati ditandatangani antara Republik Indonesia dan Belanda, banyak orang berharap perang akan berakhir dan kemerdekaan Indonesia bisa diakui penuh. Tapi sejarah jarang berjalan seindah harapan. Di balik meja perundingan, Belanda justru menyimpan rencana lain: melanjutkan pengaruhnya lewat cara yang lebih halus—politik.

Tak lama setelah perjanjian itu, Belanda mengeluarkan tafsir sepihak. Menurut mereka, sebelum terbentuk Negara Indonesia Serikat (NIS), Indonesia harus dipimpin oleh seorang Wakil Tinggi Mahkota yang mewakili kerajaan Belanda. Pemerintah Republik menolak tegas tafsir ini karena jelas-jelas menyalahi semangat kemerdekaan. Tapi Belanda tak mundur. Setelah Kabinet Syahrir jatuh dan digantikan Amir Syarifuddin pada Juli 1947, mereka memanfaatkan kekosongan politik itu untuk bergerak. Van Mook, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda, mengumumkan bahwa negaranya tidak lagi terikat pada isi perjanjian.

Dan pada 21 Juli 1947, dunia tahu apa maksud sebenarnya: Belanda melancarkan Agresi Militer I. Serangan ini bukan hanya upaya merebut wilayah, tetapi juga langkah pembuka untuk membangun kekuasaan baru berbentuk negara-negara bagian di bawah kendali mereka.

Belanda dan Mimpi Negara-Negara Bagian

Sebelum peluru pertama agresi itu dilepaskan, van Mook sebenarnya sudah punya rencana besar. Ia ingin membentuk sistem federal di Indonesia. Bagi Belanda, sistem ini lebih mudah dikendalikan daripada negara kesatuan. Dengan banyak negara bagian, Republik Indonesia akan kehilangan kekuatannya karena terpecah-pecah.

Negara pertama yang dibentuk adalah Negara Indonesia Timur (NIT) pada 24 Desember 1946. Setelah itu menyusul negara-negara lain: Sumatera Timur, Pasundan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Madura. Belanda juga menciptakan berbagai daerah otonom seperti Kalimantan Barat, Bangka, Belitung, dan Riau. Politik “pecah belah” versi baru ini dijalankan dengan rapi, dengan dalih bahwa sistem federal akan lebih adil bagi daerah.

Van Mook sendiri bahkan berpidato, katanya: “Dalam sistem unitaris, satu bagian bisa menguasai bagian lain. Tapi dalam sistem federal, setiap daerah punya kebebasan untuk berkembang.”
Kata-kata itu terdengar manis, tapi di baliknya ada niat lama: mengembalikan pengaruh kolonial dengan wajah baru.

Beban Sejarah Madura dan Trauma Jawanisasi

Ketika gagasan federal itu sampai ke Madura, tanah kecil di timur laut Jawa itu menyimpan dilema tersendiri. Sebagian elite Madura, terutama keturunan bangsawan, merasa punya alasan historis untuk bersikap berbeda terhadap Jawa.

Dalam sejarah panjang kerajaan Nusantara, Madura sering berada di bawah kekuasaan kerajaan besar di Jawa, terutama Mataram. Hubungan itu jarang seimbang. Mataram menuntut pajak tinggi, penyerahan wajib, dan sering menindas penguasa lokal. Karena itu, muncul banyak perlawanan dari tokoh-tokoh Madura seperti Trunajaya dan para Cakraningrat, yang berusaha melepaskan diri dari dominasi Mataram.

Rasa tidak percaya terhadap kekuasaan Jawa inilah yang kelak menjadi “beban sejarah” bagi sebagian pemimpin Madura. Ketika harus memilih—bergabung dengan Republik yang berpusat di Yogyakarta atau membentuk negara sendiri di bawah perlindungan Belanda—keraguan itu muncul kembali. Mereka takut, jika bergabung, Madura hanya akan menjadi “daerah pinggiran” yang dikendalikan Jawa.

Selain faktor sejarah, ada juga kedekatan lama antara bangsawan Madura dan Belanda. Sejak abad ke-18, ketika Belanda berkuasa, beberapa penguasa Madura sudah menjalin hubungan erat dengan pemerintah kolonial. Dalam banyak perang, seperti Perang Diponegoro dan Perang Bali, pasukan dari Madura sering membantu Belanda melalui organisasi militer yang dikenal sebagai Barisan Madura.
Sebagai imbalan, Belanda memberi penghargaan, kedudukan, bahkan kehormatan. Ada catatan bahwa beberapa sultan Madura begitu loyalnya, sampai berwasiat agar jenazahnya nanti dibungkus dengan bendera Belanda. Kedekatan ini tidak mudah dihapus begitu saja setelah kemerdekaan.

Proses Lahirnya Negara Madura

Menjelang akhir 1947, Belanda mulai mewujudkan rencananya. Di Jakarta dibentuk Komite Indonesia Serikat, yang beranggotakan wakil-wakil dari berbagai daerah, termasuk dari Madura. Mereka diminta “mempertimbangkan” apakah rakyat di daerahnya ingin bergabung dengan Republik atau membentuk negara sendiri.

Maka pada 16 Januari 1948 dibentuk Komite Penentuan Kedudukan Madura, dan seminggu kemudian diadakan pemungutan suara di seluruh Madura. Proses ini berlangsung di bawah tekanan Belanda. Banyak tokoh pro-Republik ditangkap, rakyat dipaksa hadir, dan suara diarahkan sesuai kehendak penguasa kolonial. Hasilnya sudah bisa ditebak: sekitar 90 persen “setuju” Madura berdiri sebagai negara sendiri.

Dengan hasil itu, pada 20 Februari 1948, Letnan Gubernur Jenderal van Mook secara resmi meresmikan berdirinya Negara Madura, dengan Cakraningrat IV sebagai Wali Negara. Sejak saat itu, Madura secara formal menjadi bagian dari struktur federal bentukan Belanda, sejajar dengan negara-negara bagian lainnya.

Rakyat Melawan: Madura untuk Republik

Namun, rakyat Madura tak tinggal diam. Mereka tahu, negara baru itu bukan lahir dari keinginan rakyat, melainkan hasil rekayasa Belanda. Di banyak tempat muncul gerakan perlawanan. Salah satu yang paling menonjol adalah Gerakan Perjuangan Madura (GPM) yang didirikan di Pamekasan. Gerakan ini menolak keras berdirinya Negara Madura dan menyatakan setia kepada Republik Indonesia.

GPM memiliki cabang di berbagai kota di Jawa seperti Madiun, Kediri, dan Blitar. Para perantau Madura di Jawa juga ikut bergerak dengan membentuk Panitia Perjuangan Madura pada Februari 1948. Mereka menerbitkan selebaran, menggalang dukungan, dan mengirim surat ke pemerintah pusat agar menolak pengakuan terhadap negara boneka tersebut.

Gelombang perlawanan mencapai puncaknya setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949 yang menghasilkan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS). Di bawah pemerintahan RIS, semangat untuk kembali ke negara kesatuan semakin kuat. Di Madura, ribuan orang turun ke jalan menuntut pembubaran negara bagian. Mereka mengepung gedung DPR Negara Madura dan menuntut Wali Negara Cakraningrat mundur.

Desakan rakyat begitu besar hingga sidang DPR akhirnya memutuskan secara aklamasi: Negara Madura dibubarkan. Keputusan ini menjadi simbol kemenangan rakyat atas politik pecah belah kolonial.       

Kembali ke Pangkuan Republik

Setelah negara bagian itu bubar, situasi politik Madura sempat kacau. Para pejabat yang dianggap pro-Belanda dituntut mundur. Di antaranya adalah Sis Cakraningrat, Bupati Bangkalan sekaligus putra Wali Negara, dan Ruslan Cakraningrat, Sekretaris Umum Negara Madura. Banyak pejabat lain yang juga dipaksa turun karena dianggap feodal dan anti-Republik.

Untuk menjaga ketertiban, Gubernur Jawa Timur Samadikun menunjuk R. Sunarto Hadiwijoyo sebagai Wakil Residen Madura pada 7 Maret 1950. Dua minggu kemudian, pada 19 Maret 1950, Presiden RIS mengeluarkan keputusan resmi bahwa Madura kembali menjadi bagian Republik Indonesia. Serah terima kekuasaan dilakukan di Pamekasan antara R.T.A. Notohadikusumo dan Sunarto Hadiwijoyo.

Sejak saat itulah, Madura resmi menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur dan sepenuhnya berada di bawah pemerintahan Republik.

Makna dari Sebuah Peristiwa

Kisah Negara Madura sering luput dari pelajaran sejarah di sekolah. Padahal, peristiwa ini menyimpan pelajaran penting tentang bagaimana Belanda memainkan politik identitas dan sejarah untuk melemahkan persatuan bangsa. Mereka memanfaatkan luka lama antara pusat dan daerah, lalu menjadikannya alat politik.

Tapi rakyat Madura menunjukkan hal sebaliknya. Mereka membuktikan bahwa kesetiaan terhadap republik tidak ditentukan oleh kedekatan geografis dengan Jawa, melainkan oleh kesadaran nasional bahwa Indonesia hanya bisa berdiri jika bersatu.

Memang, ketakutan terhadap “Jawanisasi” bukan tanpa dasar—selama berabad-abad Madura selalu di bawah bayang kekuasaan Jawa. Namun, rakyat akhirnya sadar bahwa dominasi kolonial jauh lebih berbahaya. Di hadapan ancaman itu, mereka memilih untuk tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Kisah Madura juga menjadi peringatan bagi pemerintah pusat: jangan sampai hubungan pusat-daerah diwarnai ketimpangan dan rasa tidak adil. Karena dari sejarah ini kita belajar, ketidakadilan bisa menjadi celah yang dimanfaatkan pihak luar untuk memecah bangsa.

Epilog

Negara Madura hanya hidup sebentar, tapi kisahnya meninggalkan jejak panjang dalam perjalanan republik. Ia menjadi simbol perjuangan rakyat kecil melawan tipu daya kekuasaan besar.

Di tanah kapur yang gersang, rakyat Madura pernah diajak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Tapi mereka menolak, karena bagi mereka kemerdekaan bukan sekadar kata, melainkan tekad untuk tidak lagi dijajah—dalam bentuk apa pun.

Madura akhirnya kembali ke pangkuan republik, bukan karena perintah dari pusat, tetapi karena kesadaran rakyatnya sendiri. Sejarah ini mengingatkan kita bahwa persatuan Indonesia bukan hadiah, melainkan pilihan sadar yang lahir dari perjuangan, keyakinan, dan cinta kepada tanah air.

*********

Diangkat dan disarikan dari : NEGARA MADURA, Sejarah Pembentukan hingga Penyelesaiannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh Muryadi, Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unair, Surabaya (http://journal.unair.ac.id/filerPDF/NEGARA%20MADURA.pdf)

 

Diberdayakan oleh Blogger.
close