Pulau Sapudi: Di Antara Legenda, Sapi, dan Sejarah yang Hidup
![]() |
| Di Pulau Sepudi tempat kelahiran sapi kerapan. Sapi Sebagai Identitas |
Di timur Pulau Madura, jauh dari hiruk pikuk kota dan gemerlap modernitas, terbentang sebuah pulau kecil yang namanya kerap terdengar, namun jarang benar-benar dikenal: Pulau Sapudi. Pulau ini ibarat halaman sunyi dalam kitab panjang sejarah Madura—halaman yang mungkin kecil, tapi menyimpan kisah yang pekat dengan aroma tradisi, dakwah, dan perjuangan manusia melawan waktu.
Ketika kapal kayu berlayar dari Pelabuhan Dungkek, suara debur ombak dan angin laut menjadi musik pembuka menuju dunia yang berbeda. Sapudi, atau Sepudi sebagaimana orang lokal menyebutnya, muncul perlahan di cakrawala seperti punggung seekor sapi raksasa yang sedang berbaring di lautan. Tak heran, sebab sejak dulu pulau ini dikenal dengan sapi-sapinya—hewan yang bukan sekadar ternak, melainkan simbol kehidupan, identitas, dan bahkan asal-usul nama pulau itu sendiri.
Asal Usul Nama “Sapudi”
Tak ada sejarah yang benar-benar tunggal. Begitu pula dengan asal usul nama Sapudi—ia hidup dalam berbagai versi, diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut, bercampur antara sejarah dan legenda, antara kata dan keyakinan.
Versi pertama, yang paling populer di kalangan masyarakat, menyebutkan bahwa nama itu berasal dari kata “Sapi”. Menurut kisah lama, jumlah sapi di Pulau Sapudi pernah begitu banyak hingga melebihi jumlah penduduknya. Sapi menjadi segalanya: simbol kekayaan, ukuran martabat, dan sumber penghidupan utama. Tidak heran jika banyak orang luar menyebut pulau ini sebagai “Pulau Seribu Sapi”—sebuah julukan yang masih terasa relevan hingga hari ini.
Namun, ada pula versi lain yang lebih filosofis. Sebagian sesepuh menyebut bahwa “Sapudi” berasal dari ungkapan “Sepuh Dhewe”, dalam bahasa Jawa berarti yang paling tua sendiri. Dalam versi ini, Sapudi dipercaya sebagai pulau pertama di Madura yang menerima ajaran Islam. Ia menjadi “sepuh”, yang membuka jalan spiritual bagi saudara-saudaranya di Madura daratan. Ungkapan “sepuh dhewe” kemudian berubah seiring waktu menjadi “Sapudi”, sebagaimana banyak istilah kuno yang beradaptasi dengan lidah masyarakat setempat.
Sementara versi ketiga menggabungkan antara fakta dan kelakar: “Sapi ten pundi-pundi”—yang berarti “sapi di mana-mana”. Ungkapan ini lahir dari kenyataan bahwa di setiap sudut Sapudi, mata kita akan selalu bertemu dengan sapi. Di pinggir pantai, di lereng bukit, di pekarangan rumah. Mereka hidup berdampingan dengan manusia seperti anggota keluarga. Tak berlebihan jika Sapudi disebut sebagai jantung peternakan sapi Madura, pemasok utama ras sapi unggulan yang dikenal tangguh dan eksotis.
Dari tiga versi ini, satu hal menjadi jelas: sapi bukan sekadar binatang di Pulau Sapudi, melainkan jiwa yang menempel pada nama dan sejarahnya.
Jejak Islam Awal: Dakwah Melalui Ludruk dan Nada Gendang
Di balik kisah tentang sapi, Sapudi juga menyimpan bab penting dalam sejarah penyebaran Islam di Madura. Menurut cerita tutur dan catatan lokal, Islam pertama kali masuk ke Sapudi melalui dua tokoh besar: Sunan Wirokromo Blingi dan Sunan Wirobroto Nyamplong. Keduanya bukan hanya penyebar agama, tetapi juga seniman dan pendidik spiritual yang memahami betul karakter masyarakat pesisir dan petani.
Yang menarik, metode dakwah mereka tidak dilakukan melalui ceramah di masjid atau pengajian formal. Mereka memilih kesenian ludruk sebagai media dakwah—sebuah seni pertunjukan rakyat yang sarat humor, musik, dan pesan moral. Dengan cara ini, ajaran Islam masuk perlahan ke hati masyarakat tanpa memaksa, tanpa benturan budaya.
Dalam setiap pertunjukan ludruk, mereka menyelipkan ajaran tentang kejujuran, kerja keras, dan tauhid. Musik gendang, gong, dan lantunan lagu-lagu tradisional menjadi jembatan spiritual. Konon, nama beberapa desa di Sapudi seperti Desa Gendang dan Desa Tukong (yang berasal dari kata “gong”) muncul dari alat musik yang mereka gunakan dalam dakwah tersebut. Seni menjadi bahasa universal yang menembus sekat budaya.
Hingga kini, makam kedua tokoh ini masih ramai diziarahi. Asta Belingi tempat peristirahatan Sunan Wirokromo Blingi, dan Asta Nyamplong untuk Sunan Wirobroto Nyamplong. Setiap tahun, terutama menjelang bulan Maulid Nabi, masyarakat dari berbagai penjuru Madura dan Situbondo datang untuk berziarah. Mereka menyalakan dupa, melantunkan doa, dan mengingat kembali perjuangan dua wali yang mengajarkan bahwa Islam bisa tumbuh dalam tawa, musik, dan harmoni.
Adi Poday: Putra Panembahan Balinge dan Raja Sapudi
Dalam perjalanan sejarahnya, Pulau Sapudi juga melahirkan tokoh besar yang kelak memainkan peran penting dalam pemerintahan Sumenep: Adi Poday.
Adi Poday adalah putra Panembahan Balinge, seorang penguasa lokal yang memiliki pengaruh besar di wilayah kepulauan Madura bagian timur. Dikisahkan bahwa Adi Poday tumbuh di lingkungan religius dan memiliki bakat kepemimpinan sejak muda. Ia bukan hanya seorang bangsawan, tapi juga seorang ulama dan pemikir.
Ketika dewasa, Adi Poday menjadi penguasa Islam di Pulau Sapudi dan dikenal dengan gelar Panembahan Poday atau Panembahan Wirokromo. Dalam masa kepemimpinannya, ia memperkuat tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah mengajarkan cara beternak sapi secara teratur dan berkelanjutan. Ia menekankan pentingnya menjaga kualitas ras sapi Madura, melarang kawin silang sembarangan, serta menetapkan aturan mengenai perdagangan dan pemeliharaan sapi.
Aturan-aturan itu begitu kuat hingga kini masih menjadi pegangan moral bagi para peternak Sapudi. Mereka memelihara sapi bukan hanya untuk dijual, tapi juga sebagai bentuk warisan leluhur. Di sinilah hubungan spiritual antara manusia dan sapi di pulau ini menemukan akarnya.
Panembahan Poday kemudian diangkat menjadi Raja Sumenep, menandai hubungan erat antara Pulau Sapudi dan pusat pemerintahan Madura Timur. Dalam catatan lisan masyarakat, kepemimpinannya dikenang sebagai masa keemasan yang membawa kemakmuran dan kedamaian.
Peninggalan Sejarah yang Menyimpan Cerita
Sapudi bukan sekadar pulau dengan legenda. Di dalamnya tersimpan peninggalan fisik yang menjadi saksi perjalanan panjang sejarahnya. Salah satu peninggalan paling menonjol adalah Mercusuar Z.M. Willem III, yang dibangun pada tahun 1887 oleh arsitek Belanda. Mercusuar ini menjadi saksi bisu bagaimana Sapudi dulu menjadi jalur strategis pelayaran antara Madura, Bali, dan Kalimantan.
Menara putih yang menjulang di tepi laut ini kini berdiri senyap, berkarat di beberapa bagian, namun tetap kokoh—seolah menatap masa lalu dan masa depan sekaligus. Ia bukan hanya penanda navigasi, tetapi juga simbol keterhubungan Sapudi dengan dunia luar, dari zaman kolonial hingga kini.
Selain mercusuar, Sapudi juga memiliki Gua Gunung Karangkeng, tempat yang dipercaya sebagai lokasi pertapaan Wirokromo Raden Candrabinata. Gua ini berada di perbukitan batu kapur, dikelilingi pepohonan dan semak belukar yang tumbuh liar. Warga sekitar sering datang ke sana untuk berdoa atau sekadar mencari ketenangan.
Menurut kisah yang diwariskan secara turun-temurun, Raden Candrabinata bertapa di sana untuk mencari petunjuk hidup dan memperkuat batin sebelum menyebarkan ajaran Islam di Sapudi. Bagi masyarakat setempat, gua ini adalah simbol spiritualitas dan kesederhanaan—dua hal yang masih menjadi ciri khas masyarakat Sapudi hingga kini.
Masyarakat, Tradisi, dan Sapi Sebagai Identitas
Untuk memahami Pulau Sapudi hari ini, kita harus memahami cara hidup masyarakatnya yang sederhana namun sarat makna. Mereka hidup berdampingan dengan laut dan sapi. Pagi hari, laki-laki berangkat ke ladang atau ke kandang; sore hari, mereka membawa sapi ke padang gembala di bukit-bukit hijau yang berundak.
Sapi di Sapudi bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga simbol status sosial dan budaya. Dalam acara pernikahan, kelahiran, atau syukuran, kehadiran sapi menjadi simbol keberkahan. Bahkan, pertarungan sapi (karapan sapi) juga menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan, meskipun bentuknya di Sapudi lebih sederhana dibandingkan karapan di Madura daratan.
Kehidupan di pulau ini mengalir pelan, mengikuti ritme alam. Setiap desa memiliki karakter khas—ada desa yang terkenal dengan perajin sapinya, ada pula yang dikenal dengan seni ludruk dan ziarahnya. Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat Sapudi masih sering menyebut nama-nama tokoh lama seperti Panembahan Poday atau Sunan Nyamplong, seolah mereka masih hadir di antara mereka.
Antara Isolasi dan Ketahanan
Secara geografis, Pulau Sapudi memang terpencil. Untuk mencapainya, orang harus menyeberang laut selama beberapa jam dari Dungkek atau dari pelabuhan-pelabuhan kecil di Madura Timur. Tapi justru karena keterpencilan itulah, Sapudi berhasil mempertahankan keaslian budayanya.
Modernisasi memang perlahan masuk—televisi, ponsel, dan internet sudah menjangkau sebagian besar wilayah. Namun di banyak sudut desa, nilai-nilai lama tetap dijaga: gotong royong, sopan santun, dan rasa hormat kepada leluhur. Anak-anak masih bermain di sawah, para orang tua masih berkumpul di balai desa sambil berdiskusi tentang cuaca dan hasil panen.
Bagi para peneliti budaya, Sapudi adalah laboratorium sosial yang menarik: sebuah pulau kecil yang menjadi miniatur peradaban Madura—keras tapi ramah, religius tapi terbuka, sederhana tapi penuh makna.
Sapudi dalam Ingatan dan Harapan
Kini, Pulau Sapudi mungkin tak sepopuler Sumenep kota atau Gili Iyang yang dikenal dengan oksigen terbaiknya. Namun bagi siapa pun yang menjejakkan kaki di sana, Sapudi menawarkan sesuatu yang tak dimiliki tempat lain: rasa damai dan kontinuitas sejarah.
Dari nama-nama desa yang lahir dari bunyi alat musik ludruk, dari sapi-sapi yang masih digembalakan dengan cinta, dari gua tempat bertapa seorang wali, hingga mercusuar tua yang menatap laut luas—semuanya menyatu menjadi satu narasi besar tentang manusia yang berusaha menjaga keseimbangannya dengan alam dan sejarah.
Pulau Sapudi bukan sekadar pulau kecil di timur Madura. Ia adalah pusaka hidup, tempat legenda, agama, dan tradisi berpadu menjadi harmoni. Di setiap desir angin lautnya, terdengar gema masa lalu: tentang sapi yang jadi berkah, tentang sunan yang berdakwah dengan gendang, tentang raja yang mengajarkan ilmu beternak, dan tentang rakyat yang tetap setia menjaga tanah leluhurnya.
Penutup: Pulau Kecil dengan Nafas Panjang
Sejarah Pulau Sapudi bukan sekadar kumpulan peristiwa, melainkan cermin tentang bagaimana masyarakat kecil mampu menjaga identitasnya di tengah arus besar perubahan. Dari sapi hingga sunan, dari gua hingga mercusuar, semuanya menjadi mozaik yang membentuk wajah Sapudi hari ini.
Dan mungkin, jika kita menatap laut dari tepian pantainya di sore hari, sambil melihat sapi-sapi kembali ke kandang, kita akan memahami makna sejati dari nama itu—Sapudi, pulau yang tua, bijak, dan hidup dalam keheningan sejarahnya sendiri.
(dirangkum dari beberapa sumber)



Post a Comment