Masjid Agung Sumenep: Jejak Eklektik di Ujung Timur Madura
![]() |
| Masjid Agung Sumenep (1990) |
Sebagai wilayah paling timur di Pulau Madura, Kabupaten Sumenep memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang luar biasa. Kota tua di tepi Laut Jawa ini menyimpan peninggalan-peninggalan berharga yang tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat setempat, tetapi juga bagian penting dari warisan budaya Nusantara. Salah satu peninggalan itu adalah Masjid Agung Sumenep, yang dahulu dikenal dengan nama Masjid Jamik Sumenep.
Bangunan megah ini bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga monumen sejarah yang merekam perjalanan panjang kebudayaan, arsitektur, dan spiritualitas masyarakat Madura.
Letak dan Tata Ruang Kota Lama
Masjid Agung Sumenep berdiri anggun di Jalan Trunojoyo, menghadap ke arah timur menuju Taman Adipura, yang pada masa lampau merupakan alun-alun kota. Kawasan ini menjadi jantung kehidupan masyarakat — tempat berlangsungnya kegiatan sosial, olahraga, hingga hiburan rakyat.
Sebagaimana lazimnya kota-kota tradisional di Jawa dan Madura, susunan ruang pusat kota Sumenep mencerminkan prinsip kosmologis dan pemerintahan Islam tradisional, di mana masjid, alun-alun, dan keraton terletak dalam satu garis imajiner lurus.
Dari arah barat ke timur, susunan itu berurutan: Masjid Agung – Alun-Alun – Keraton Sumenep.
Di sebelah selatan masjid, dahulu terdapat Pasar Anom, pasar utama masyarakat kota, yang kini telah dipindahkan lebih ke selatan. Pola tata ruang ini menunjukkan keterpaduan antara tiga elemen penting masyarakat tradisional: agama, kekuasaan, dan ekonomi.
Masjid Laju: Cikal Bakal Masjid Agung
Sebelum Masjid Agung berdiri, Sumenep telah memiliki sebuah tempat ibadah utama bernama Masjid Laju (atau “Masjid Lama”) yang kini berada di Jalan Jenderal Sudirman, tepat di depan rumah dinas Bupati Sumenep.
Masjid ini dibangun jauh lebih awal, yaitu pada masa pemerintahan Pangeran Anggadipa (1626–1644 M), salah satu Adipati Sumenep pada masa awal Islamisasi Madura. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan jamaah, Masjid Laju tidak lagi mampu menampung umat yang datang beribadah, terutama pada pelaksanaan shalat Jumat dan hari-hari besar Islam.
Kebutuhan akan masjid yang lebih luas dan representatif mendorong munculnya gagasan pembangunan Masjid Jamik (Agung) Sumenep.
Pembangunan di Masa Panembahan Somala
Pembangunan Masjid Agung dimulai pada masa pemerintahan Pangeran Natakusuma I atau lebih dikenal dengan Panembahan Somala (1762–1811 M). Ia adalah penguasa Sumenep yang terkenal bijak dan memiliki visi kebudayaan yang kuat.
Panembahan Somala, yang memiliki nama asli Raden Aria Asiruddin Natakusuma, bukan hanya membangun pusat pemerintahan yang megah berupa Keraton Sumenep, tetapi juga ingin meninggalkan warisan spiritual berupa masjid yang agung dan abadi.
Setelah keraton selesai dibangun, Panembahan Somala memerintahkan Lauw Piango, arsitek yang sama yang merancang keraton, untuk mendesain masjid besar di jantung kota. Menurut catatan dalam buku Sejarah Sumenep (2003), Lauw Piango merupakan cucu dari Lauw Khun Thing, salah satu dari enam orang Tionghoa pertama yang datang dan menetap di Sumenep. Ia diduga merupakan pelarian dari Semarang akibat peristiwa “Huru-Hara Tionghoa 1740”.
Kehadiran arsitek Tionghoa ini kelak memberi warna unik pada bentuk dan ornamen masjid, yang menjadi contoh luar biasa dari akulturasi budaya di Madura abad ke-18.
Masjid Agung Sumenep dibangun pada tahun 1198 H (1779 M) dan selesai delapan tahun kemudian, pada 1206 H (1787 M). Sejak saat itu, ia menjadi pusat kegiatan keagamaan sekaligus simbol persatuan masyarakat Sumenep.
Wasiat Panembahan Natakusuma
Panembahan Natakusuma meninggalkan sebuah wasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, yang hingga kini masih dijaga dan menjadi pedoman bagi pengelolaan masjid. Wasiat tersebut berbunyi:
“Masjid ini adalah Baitullah. Berwasiat Pangeran Natakusuma, penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah dan menegakkan kebaikan: jika terdapat masjid ini sesudahku dalam keadaan aib, maka perbaikilah. Karena sesungguhnya masjid ini adalah wakaf, tidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
Isi wasiat tersebut menunjukkan betapa tingginya nilai spiritual dan sosial yang dilekatkan pada masjid ini. Ia bukan hanya simbol religius, tetapi juga pusaka wakaf abadi untuk umat.
![]() |
| Pilar dalam Masjid Agung Sumenep |
Arsitektur Eklektik: Simbol Akulturasi Nusantara
Dari segi arsitektur, Masjid Agung Sumenep merupakan contoh nyata eklektisme kultur desain — perpaduan dari berbagai gaya dan pengaruh budaya. Bangunan ini tidak sekadar mengikuti arsitektur Islam Timur Tengah, tetapi memadukan unsur Arab, Persia, Jawa, India, hingga Tionghoa, menghasilkan bentuk yang unik, harmonis, dan khas Madura.
Ciri arsitektur Arab-Persia tampak pada kubah kecil di sudut kanan dan kiri halaman masjid. Kubah itu melambangkan langit dan keesaan Tuhan, namun bentuknya disesuaikan dengan iklim tropis Nusantara.
Sementara itu, pengaruh Gujarat dan Tionghoa tampak dari penggunaan warna-warna terang serta ornamen keramik bermotif flora yang menghiasi dinding dan mihrab. Ketika melangkah ke dalam ruang utama, suasana spiritual terasa begitu kuat dengan sentuhan arsitektur Jawa klasik: atap bertingkat menyerupai tajug bersusun tiga, yang mengingatkan pada bentuk candi-candi Majapahit. Struktur ini bukan hanya artistik, tetapi juga memiliki makna filosofis — tiga tingkat melambangkan iman, Islam, dan ihsan, tiga pilar utama dalam ajaran Islam.
Mihrab dan mimbar khotbah masjid menjadi pusat perhatian. Hiasan ukirannya menggambarkan ketelitian tangan-tangan pengrajin lokal yang menguasai seni ukir kayu dan batu. Keramik yang menempel di dinding mihrab memperlihatkan pengaruh Cina Selatan, sementara bentuk pintu dan jendela besar yang melengkung memperlihatkan sentuhan Eropa-Portugis. Tak heran, beberapa ahli menyebut Masjid Agung Sumenep sebagai “pertemuan budaya lintas samudra” — tempat di mana Timur Tengah, Asia Selatan, Nusantara, dan Eropa bertemu dalam satu bangunan suci.
Gerbang Megah dan Filosofi Tata Letak
Salah satu ciri khas yang mudah dikenali dari Masjid Agung Sumenep adalah gerbang utamanya.
Gerbang besar berwarna kuning dan putih dengan ornamen melengkung di puncaknya, sering dianggap menyerupai gapura candi pada arsitektur Hindu-Jawa. Namun, di balik kemiripan itu, tersimpan makna religius: pintu gerbang merupakan simbol peralihan dari dunia profan menuju dunia sakral, dari kehidupan sehari-hari menuju ke hadapan Tuhan.
Di sekeliling halaman masjid, terdapat menara dan bangunan kecil berkubah di keempat sudutnya. Di masa lalu, bangunan-bangunan kecil itu berfungsi sebagai tempat istirahat jamaah dan penyimpanan alat ibadah. Kini, fungsinya lebih bersifat simbolik dan historis, memperkuat nuansa keindahan arsitektural kompleks masjid.
Masjid dan Jalinan Sosial Masyarakat Madura
Lebih dari sekadar tempat shalat, Masjid Agung Sumenep sejak awal telah menjadi pusat kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Di sinilah para ulama, bangsawan, dan rakyat berkumpul; di sinilah pula berbagai peristiwa penting keagamaan, pengajaran, dan kegiatan sosial berlangsung.
Masjid ini juga menjadi tempat berlangsungnya pengajaran kitab klasik (kitab kuning), tempat musyawarah keagamaan, dan pusat penyebaran dakwah Islam di wilayah timur Madura.
Bahkan hingga kini, tradisi tersebut masih dilestarikan melalui berbagai kegiatan keagamaan, seperti pengajian malam Jumat, perayaan Maulid Nabi, hingga pembacaan Barzanji yang diikuti masyarakat dari berbagai kalangan.
Madura dan Jaringan Islam Nusantara
Perkembangan Islam di Madura tidak bisa dipisahkan dari dinamika penyebaran Islam di Jawa.
Dari catatan sejarah, penyebaran Islam di Madura banyak dipengaruhi oleh pusat dakwah di Giri (Gresik) dan Ampel (Surabaya), dua wilayah penting yang menjadi basis para wali.
Para pedagang dari Gujarat (India) dan Arab juga memainkan peranan besar. Mereka tidak hanya memperkenalkan ajaran Islam, tetapi juga membawa pengaruh budaya dan arsitektur yang kelak melebur dengan tradisi lokal.
Dengan demikian, kehadiran Masjid Agung Sumenep bukan hanya simbol keislaman masyarakat Madura, melainkan juga hasil dari proses panjang akulturasi — pertemuan berbagai etnis, keyakinan, dan kebudayaan yang hidup berdampingan dalam harmoni.
Pelestarian dan Renovasi
Memasuki era modern, Masjid Agung Sumenep terus dijaga kelestariannya. Pada tahun 1990-an, dilakukan renovasi besar-besaran di bagian pelataran depan, kanan, dan kiri masjid.
Tujuannya untuk memperluas area shalat dan memperbaiki fasilitas bagi jamaah yang terus meningkat setiap tahun.
Meski demikian, prinsip utama renovasi tetap menjaga keaslian bentuk dan ornamen lama, sehingga aura klasiknya tidak hilang. Eksotisme arsitektur abad ke-18 itu masih bisa dirasakan hingga kini.
Setiap kali adzan berkumandang dari menara masjid, gema suaranya seolah menyatukan masa lalu dan masa kini. Ia mengingatkan masyarakat bahwa sejarah tidak hanya tersimpan dalam buku, tetapi hidup di antara langkah kaki yang menapaki lantai marmer masjid setiap hari.
Warisan Abadi di Ujung Timur Pulau Garam
Kini, Masjid Agung Sumenep tidak hanya menjadi pusat keagamaan, tetapi juga daya tarik wisata budaya dan sejarah. Ribuan wisatawan datang setiap tahun untuk menyaksikan keindahan arsitekturnya, memotret keunikan ornamennya, dan menelusuri kisah masa silam yang melekat di setiap dindingnya.
Sebagai salah satu sepuluh masjid tertua di Indonesia, Masjid Agung Sumenep berdiri sebagai saksi bisu perjalanan panjang Islam di Nusantara — sebuah mahakarya arsitektur yang menjadi bukti bahwa agama, seni, dan budaya dapat berpadu tanpa kehilangan jati diri.
Di bawah langit biru Sumenep, di antara desir angin pesisir dan lantunan ayat suci, masjid ini terus hidup. Ia bukan sekadar bangunan tua, tetapi simbol kebijaksanaan, keterbukaan, dan keindahan jiwa masyarakat Madura.
(Babad Madura, dari beberapa sumber)




Post a Comment