Masjid Agung Sumenep: Keindahan Arsitektur Multibudaya di Ujung Timur Madura

Majid Agung Sumenep (2023)
Sumenep, Kota Tua di Ujung Timur Pulau Madura

Sumenep adalah kabupaten yang terletak paling timur di Pulau Madura, sekitar 166 kilometer dari Jembatan Surabaya–Madura (Suramadu). Daerah ini dikenal sebagai kota tua yang kaya sejarah dan kebudayaan, meski sering kali bayangan tentang “Madura” di mata sebagian masyarakat Indonesia masih sarat stereotip negatif — seperti tradisi carok, santet, atau karakter keras masyarakatnya. Padahal, di balik pandangan itu, Sumenep justru menyimpan jejak peradaban tinggi dan warisan budaya luar biasa.
Berbeda dari daerah lain, Sumenep memiliki jejak sejarah akulturasi budaya dunia yang terekam dalam arsitektur, tradisi, hingga peninggalan fisiknya. Bukti paling menonjol adalah Masjid Agung Sumenep, atau dulu disebut Masjid Jamik Keraton Sumenep — sebuah masjid megah yang memadukan unsur Arab, Persia, India, Eropa, dan Tionghoa dalam satu wujud harmonis.
Keunikan Arsitektur Masjid Agung Sumenep
Jika Masjid Kudus di Jawa dikenal karena perpaduan arsitektur Jawa, Hindu, dan Buddha, maka Masjid Agung Sumenep tampil berbeda dan jauh lebih kompleks. Masjid ini berdiri megah di jantung Kota Sumenep, tepat di kawasan alun-alun kota, berhadapan langsung dengan Keraton Sumenep dan Taman Adipura.
Bangunannya unik, indah, dan nyaris tidak memiliki padanan di seluruh Nusantara.
Menurut prasasti berhuruf Arab Pegon dan Jawa Kuno yang terletak di sisi kiri dan kanan gerbang masjid, Masjid Agung Sumenep dibangun pada tahun 1779 Masehi (1193 Hijriah) oleh Panembahan Somala, juga dikenal sebagai Panembahan Asiruddin atau Pangeran Natakusuma I.
Dari Masjid Laju ke Masjid Agung Sumenep
Kisah pembangunan masjid ini berawal dari Masjid Laju, masjid kerajaan pertama yang sudah tidak mampu menampung jamaah. Menyadari hal itu, Panembahan Somala menggagas pembangunan masjid baru yang lebih luas dan monumental, mampu menampung lebih dari 2.000 jamaah.
Ia mengangkat Kiai Pekkeh sebagai kepala tukang. Namun, dalam proses awal, pembangunan tidak berjalan mulus karena Kiai Pekkeh kesulitan memahami keinginan sang panembahan. Setelah berbulan-bulan, pembangunan terhenti. Panembahan Somala kemudian melakukan shalat istikharah, dan dalam petunjuknya disebutkan bahwa di Desa Pasongsongan ada seorang tukang keturunan Tionghoa yang memiliki keahlian luar biasa.

Mihrab Madjid Agung Sumenep
Lauw Piango, Arsitek Jenius Keturunan Tionghoa

Petunjuk itu terbukti benar. Tukang tersebut adalah Lauw Phia Ngo, cucu dari Lauw Khun Thing, salah satu dari enam pemuda asal Tiongkok yang terdampar di pesisir Pasongsongan setelah melarikan diri dari perang besar di daratan Cina pada abad ke-18.
Dalam sejarah lokal, Lauw Phia Ngo dikenal pula sebagai Lauw Piango, arsitek yang juga membangun Keraton Sumenep.
Panembahan Somala memberi kebebasan penuh kepada Lauw Piango untuk mengekspresikan kreativitas dan keahliannya. Hasilnya sungguh luar biasa — Masjid Agung Sumenep menjadi mahakarya akulturasi budaya dunia.
Pintu Gerbang dan Simbolisme Budaya Dunia
Salah satu bagian paling menakjubkan dari Masjid Agung Sumenep adalah pintu gerbang utamanya.
Gerbang ini dibangun menyerupai klenteng Tionghoa dengan struktur bertingkat dua. Di atas cungkup utama, terdapat empat kepala naga yang melilit kubah setinggi sekitar 80 meter, simbol kekuatan dan penjaga kesucian.
Ventilasinya berbentuk bulat menyerupai matahari bersinar, sementara sabuk bangunannya dihiasi ornamen swastika bergaya Eropa, simbol keabadian dan keseimbangan.
Kemiringan gerbang mencapai 80 derajat, menjadikannya tantangan teknis luar biasa bagi para tukang. Bahkan, pekerja modern yang melakukan pengecatan sering merasa ngeri saat berada di atas cungkup karena ketinggian dan kemiringannya yang ekstrem.
Pada masa lalu, di bagian bawah gerbang terdapat dua ruangan kecil yang difungsikan sebagai sel tahanan bagi pelaku kriminal. Konsep ini unik — narapidana ditempatkan di area masjid agar menjadi tontonan publik, memberikan efek jera sekaligus pengingat moral bagi jamaah.
Struktur Utama Masjid: Simbol Kekuatan dan Keindahan
Bangunan utama Masjid Agung Sumenep disangga oleh sembilan tiang besar dari kayu jati, masing-masing sebesar dua pelukan orang dewasa dan setinggi 30 meter. Jumlah sembilan diyakini melambangkan Wali Songo, sembilan tokoh penyebar Islam di Nusantara.
Ruang utama masjid memiliki tujuh pintu besar (masing-masing selebar tiga meter) dan enam jendela besar (tinggi dua meter) yang membuat sirkulasi udara sangat baik. Suasana di dalam terasa sejuk dan teduh, bahkan tanpa pendingin udara.
Masjid ini juga memiliki dua mihrab, diapit oleh hiasan keramik Cina dan ukiran batu berbentuk bunga di kanan dan kirinya. Pada pucuk mihrab terdapat dua mata pedang bersilang, yang mengingatkan pada lambang ksatria dalam film-film kungfu klasik.
Dahulu, di atas mihrab tergantung dua pedang perak — satu dari Arab dan satu dari Cina. Kini, hanya pedang Arab yang tersisa, sementara pedang Cina telah hilang ditelan waktu.
Pintu dan jendela masjid memperlihatkan sentuhan arsitektur Belanda dengan ukiran kayu bergaya Eropa klasik. Sementara warna-warna cerah dan motif bunga serta piktograf (ukiran yang seolah bercerita) mencerminkan pengaruh Tionghoa dan Gujarat.
Menara dan Kubah: Perpaduan Timur dan Barat
Masjid Agung Sumenep juga memiliki menara setinggi 50 meter dengan diameter sekitar 150 sentimeter. Menara ini sering disebut menyerupai menara miring di Prancis, meski memiliki gaya khas Islam Nusantara.
Kubah-kubah kecil di sudut halaman menunjukkan pengaruh Arab-Persia, sementara struktur bertingkat yang menjulang tinggi berbentuk tajug merepresentasikan gaya Jawa klasik dan Hindu-Bali.
Kombinasi ini memperlihatkan betapa cerdasnya Lauw Piango memadukan elemen-elemen lintas budaya — menciptakan satu kesatuan arsitektur yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat makna spiritual dan simbol sosial.
Sejarah, Wasiat, dan Makna Religius
Menurut catatan sejarah, pembangunan Masjid Agung Sumenep dimulai pada tahun 1779 dan selesai pada 1787 Masehi. Pangeran Natakusuma I (Panembahan Somala) kemudian menulis wasiat pada tahun 1806, yang hingga kini masih dijaga oleh masyarakat dan takmir masjid:
“Masjid ini adalah Baitullah. Berwasiat Pangeran Natakusuma, penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku dalam keadaan aib, maka perbaikilah. Karena sesungguhnya masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
Wasiat ini menegaskan bahwa Masjid Agung Sumenep adalah wakaf umat, bukan milik pribadi kerajaan. Ia harus dijaga, dirawat, dan dilestarikan dari generasi ke generasi.
Simbol Akulturasi dan Toleransi
Dari perspektif arsitektur dan sejarah, Masjid Agung Sumenep menjadi bukti nyata akulturasi budaya dan toleransi antarbangsa. Bangunan ini adalah hasil kolaborasi budaya lokal Madura, gaya Islam Timur Tengah, kehalusan seni Tionghoa, ornamen Eropa, serta simbolisme Hindu-Jawa.
Kesemuanya berpadu dalam keharmonisan yang menggambarkan jiwa inklusif dan terbuka masyarakat Sumenep di masa lalu.
Karena nilai sejarah dan keindahannya, Masjid Agung Sumenep kini menjadi ikon wisata religi dan budaya utama di Madura. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara datang untuk beribadah, belajar sejarah, sekaligus mengagumi keindahan arsitekturnya yang unik.
Warisan Abadi di Ujung Timur Pulau Garam
Masjid Agung Sumenep bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusaka budaya Nusantara. Ia adalah saksi bisu perjalanan panjang Islam di Madura dan Indonesia, bukti bahwa di tengah keterbatasan teknologi pada abad ke-18, lahir karya arsitektur yang melampaui zaman.
Di bawah langit biru Sumenep, gema azan dari menara masjid terus mengingatkan bahwa keindahan sejati lahir dari perpaduan nilai, keimanan, dan kebijaksanaan budaya.
Masjid Agung Sumenep berdiri teguh bukan sekadar bangunan tua, melainkan simbol peradaban dan harmoni lintas bangsa yang tumbuh di tanah Madura.


Post a Comment