Sekilas Babad Sumenep karya R. Werdisastro Babad Sumenep atau judul aslinya “ Bhābhād Soengenep ” adalah buku karya R. Werdisast...

Sekilas Babad Sumenep

Sekilas Babad Sumenep karya R. Werdisastro

Babad Sumenep atau judul aslinya Bhābhād Soengenep” adalah buku karya R. Werdisastro yang diterbitkan pada bulan Pebruari tahun 1914  dalam bahasa Madura huruf Jawa. Buku ini kemudian di-latin-kan (ditulis dalam bentuk huruf Latin) oleh R. Muh. Wadji Susastranegara (1971), dan pada tahun 1996 diterjemahkan  ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Babad Sumenep” oleh Moh. Toha Hadi. Buku ini berisi tentang kisah raja-raja Sumenep dari zaman Pangeran Mandaraga (abad ke-13) sampai  masa Pangeran Ario Mangkudiningrat (abad ke-19).

Menilik isi dari buku tersebut tidak sedikit pihak yang meragukan validitas cerita yang diuraikannya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sumber sejarah yang menjadi dasar penulisan sebagian besar kisah di dalamnya adalah dari tradisi lisan. Tahun 2003 sebuah tim peneliti dari Fakultas Sastra Universitas Negeri di Surabaya menyatakan bahwa kredibilitas dan ke-shahih-an Babad Sumenep perlu dipertanyakan.

Penempatan posisi figur Jokotole yang dianggap lebih unggul dibandingkan tokoh Gajah Mada dari kerajaan Majapahit, dirasa kurang tepat dilihat dari realitas sejarah nasional yang selama ini diyakini.  Selain itu terdapat aspek anakronisme ketika gelar “pangeran” disandangkan pada para bangsawan yang sejatinya gelar tersebut belum terpakai pada masa itu. Menurut tim yang terdiri dari dosen Ilmu Sejarah dan Sejarawan tersebut, gelar yang umum dipakai para bangsawan ketika itu adalah gelar Hadyan atau Anden, yang dalam pemakainnya mendapat tambahan Ra diawalnya sehingga menjadi Rahadyan atau  Raanden/Raden.

Dalam literatur ilmu sejarah, penulisan buku Babad sangat dikenal dalam historiografi tradisional. Bahkan pada setiap kerajaan yang pernah berdiri di wilayah nusantara ini memiliki para pujangga yang tugasnya diantaranya adalah menulis Babad. Tujuannya adalah supaya legitimasi kekuasaan sang Raja semakin kuat. Penulis babad akan lebih cenderung ke arah sikap menuliskan “apa yang sebaiknya ditulis” dan bukan “apa yang seharusnya ditulis”.  Sebagai contoh Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa kekuasaan Sultan Paku Buwono III (1788).

Sebagai sebuah karya, Buku “Bhabad Soengenep” lebih tepat kalau kita maknai sebagai karya sastra sejarah. Karya sastra sejarah adalah satu bentuk karya seni yang memaparkan unsur-unsur historis dan geneologis lewat unsur-unsur kesastraan.  Buku ini lebih memiliki fungsi sosial politik dari pada fungsi historis. Sebagai karya sastra, tulisan tersebut merupakan refleksi dari sebuah tradisi yang menyejarah, atau menurut Taufik Abdullah sebagai “ekspresi kultural dan sekaligus pantulan dari keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang menghasilkannya”.

Untuk itulah kalau kita cermati isi dari buku tersebut tidak terlalu memaksakan diri untuk menyajikan fakta-fakta sejarah secara detail. Sebagai contoh kisah tentang Raja Sumenep yang menyerang kerajaan Blambangan. Tidak ada penyajian fakta tentang alasan dilakukan penyerangan, waktu terjadinya, berapa jumlah pasukan yang dikirim, siapa pemimpin pasukannya, didukung oleh berapa kapal perang, persenjataannya, dll sebagaimana layaknya buku sejarah. Justru yang ingin ditonjolkan adalah sikap nasionalisme dari Raja Sumenep yang menolak tawaran bantuan dari VOC (Kompeni Belanda).

Buku ini ditulis pada zaman penjajahan Hindia Belanda. Pengarangnya, R. Musaid, melalui buku ini berusaha mengobarkan semangat perjuangan anti penjajahan kolonial Belanda melalui simbol dan kiasan yang banyak.  Ditulis dalam bahasa Madura huruf Jawa membuat Belanda tidak bisa menangkap maksud rahasia sang penulis, bahkan sebaliknya pemerintah Hindia Belanda justru memberikan apresiasi dan penghargaan berupa sejumlah uang Gulden dan sebuah gelar WERDISASTRO sehingga kemudian menjadi nama beliau R. Werdisastro.

Di samping itu, buku “Bhabad Soengenep” ini merupakan tuntunan moral bagi pembacanya. Sebagaimana dikemukakan sendiri oleh pengarangnya (R. Werdisastro) pada bagian pengantar, bahwa buku ini diharapkan menjadi pedoman dalam bertingkah laku serta dapat membedakan antara tingkah laku yang baik dan tingkah laku yang buruk. Kisah tentang rivalitas Jokotole dan Gajah Mada, perang Jokotole dengan Dempo Awang, Perang Sumenep melawan kerajaan Japan, perang Bali-Sumenep, dll jangan kita lihat dari perspektif sejarah sebagai ilmu tetapi harus kita maknai sebagai konflik  antara kebaikan dan keburukan, sehingga dapat menjadi pitutur agar kita bisa mengambil hikmah positif dari setiap peristiwa tersebut. Yang tak kalah menarik untuk kita cermati adalah gaya penulisan dalam buku ini yang menggunakan gaya dialog antar tokoh.

Hal tersebut selain makin menunjukkan bahwa buku ini adalah karya sastra sejarah, juga dapat diartikan sebagai pelajaran berharga terhadap generasi muda tentang tata bahasa dan tatakrama berbicara dengan teman seusianya, dengan orang tuanya, dan dengan orang yang lebih muda/ tua. Lebih-lebih di jaman sekarang ini,dimana masyarakat mulai tidak peduli terhadap bahasa daerahnya sendiri, apalagi terhadap tatakrama berbicara. Buku “Bhabad Soengenep” versi bahasa Madura dapat dijadikan referensi bagi semua pihak agar bahasa Madura logat Sumenep tetap lestari hingga kelak di kemudian hari.

*******

Penerjemah:


Buku Babad Sumenep ini kemudian diterjemahkan oleh Musahru (almarhum) dan Muchlis Hartono, seorang pemerhati sejarah Sumenep, sekitar tahun 90-an.Buku ini rencana akan diterbitkan dalam bentuk buku cetak, tapi karena beberapa hal belum terlaksana.

Bagi pihak yang berkenan untuk menerbitkannya, kami harapkan. Dengan keterangan tulisan ini akan diperbaiki dan direvisi sebagaimana mestinya

*********

Lihat Daftar Isi


Mungkin Menarik