Diceriterakan bahwa pada suatu hari Raja Majapahit mengadakan pertemuan di paseban dengan dihadap para Menteri. Ki Patih Gajahmada juga a...

6. Raja Majapahit Mengadakan Pertemuan di Paseban

Diceriterakan bahwa pada suatu hari Raja Majapahit mengadakan pertemuan di paseban dengan dihadap para Menteri. Ki Patih Gajahmada juga ada didepan dan Raja bertanya pada Ki Patih. “Patih bagaimana pembuatan pintu gerbang apakah sudah selesai ?” Patih : Hanya tinggal pemijarannya saja Paduka. Semua empu telah berusaha melekatkan pijar (pateri) pada pintu itu  tetapi belum juga berhasil dan pijar itu selalu lepas.

Raja meminta supaya para empu dengan segera menyelesaikan pintu gerbang itu dalam batas waktu sehari lagi. Para Empu berkata : Seribu cercaan akan kami sandang.  Hamba semua sudah tak sanggup untuk melakukan pemijaran itu. Sebab berkali-kali kami melakukannya tapi kemudian pijar itu lepas lagi dan tak mau lengket. Raja : Aku tak mau tahu. Sebab aku sudah mendatangkan para ahli besi sebanyak ini. Oleh karena itu aku harap pekerjaan besok mesti selesai.

Setelah itu Raja kembali ke keraton. Ki Patih kemudian menuju alun-alun dan menyampaikan perintah Raja itu kepada para Empu yang lain. Para Empu serentak menyatakan ketidak sanggupannya bahkan bersedia menerima hukuman dari  Raja. Ki Patih merasa resah hatinya dan terus pulang. Sampai dirumahnya Ki Patih duduk tercenung memikirkan pintu gerbang itu. Makan dan tidurpun tak enak. Ki Patih berpikir : Kalau besok pintu gerbang itu masih belum selesai juga maka sudah tentu aku akan mendapat marah besar dari Raja.

Keesokan harinya Raja Majapahit kembali lagi ke paseban dihadap para menteri. Ki Patih bersama para Empu juga dipanggil menghadap. Ki Patih dan para Empu sangat susah dan ciut hatinya menghadap Rajanya sambil menunduk. Jakatole berbisik pada ayahnya begini : Ayah, nanda sangat ingin tahu bagaimana wajah Raja Majapahit. Empu Kelleng : Kalau kamu ingin tahu itulah dia sang Raja yang duduk dikursi dihadap para menteri dan Ki Patih Gajahmada. Jakatole : Tunggu, nanda ingin tahu lebih dekat dan perkenankan nanda kedepan.

Seketika Jakatole bangkit mendekati Raja Majapahit dimana ia duduk. Empu Kelleng berusaha mencegahnya katanya : Aduh, jangan anakku. Jangan sampai kamu kesana aku takut kamu dihukum. Apalagi kamu anak dari gunung yang belum tahu tata-aturan disini nanti kamu dimarahi orang. Jakatole menyela : Apa nanti nanda akan dipukul kalau nanda tak bersalah? Jakatole terus kedepan dan berusaha melewati orang banyak sampai akhirnya dia ada didekat Ki Patih.

Saat itu Raja sedang memeriksa Ki Patih tentang pelaksanaan pendirian pintu gerbang itu. Raja : Ki Patih, apa sudah selesai pintu gerbang besi itu ? Ki Patih menunduk tak menyahut. Orang-orang yang ada disitu diam seribu bahasa dan tak satupun berani bersuara. Tak lama Ki Patih bertanya kepada seluruh Empu. Semua Empu yang ikut menghadap tetap menyatakan ketidak sanggupannya memijari pintu gerbang itu katanya : Lebih baik hamba dihukum mati saja paduka.

Raja lalu marah kepada Ki Patih dan ia didampratnya habis-habisan ujarnya : Patih tak becus. Nyata benar kalau kamu memang gila. Perintahku tidak engkau indahkan. Mengapa kalau memang tak sanggup tidak kamu utarakan sebelumnya ? Patih bangsat. Pantas kalau kuiris bibirmu dan kuberikan pada anjing. Pergi kamu. Nanti kutendang atau kuputus lehermu.

Disaat Raja marah pada Ki Patih tak seorangpun berani membela. Semuanya bungkam seribu kata. Hanya Jakatole menyahut : Mengapa Raja begitu murka pada Ki Patih ? Para pembesar kerajaan yang duduk di sekitar Jakatole terkejut dan serentak menoleh kearahnya sambil menegur katanya : E, diam mulutmu. Ini anak darimana kok lancang benar. Nanti aku jewer kamu !! Jakatole menyahut agak keras : Coba saja jewer kalau berani. Nanti kucakar pula mukamu. Ki Patih mendengar itu lalu bertanya : Apakah yang kalian ributkan ? Beberapa orang menjawab : Ini loh Ki Patih, ada anak yang lancang. Kami tegor malah melawan.

Belum selesai murkanya, Raja lalu bertanya : Hey bocah, kamu dari mana dan siapa namamu. Katakan lagi apa yang baru saja kamu katakan itu. Jakatole menjawab sambil sungkem : Hamba dari Sumenep nama hamba Jakatole. Kedatangan hamba kesini hanya sekedar menjenguk ayah hamba yang sudah lama meninggalkan kami. Dia seorang Empu yang juga ikut membangun pintu gerbang negara ini. Hamba sampai ketempat ini karena hamba sangat ingin tahu bagaimana wajah baginda Raja. Hamba tadi tidak bicara apa-apa kecuali merasa heran atas murka Paduka pada Ki Patih serta bertanya apa sebabnya. Karena pada saat paduka marah tak seorangpun yang hadir disini menjawab meski hanya sekedar membela diri. Mereka semua seperti katak dalam lumbang yang dijatuhi tempurung kelapa. Diam dan ciut hatinya. Inilah yang membuat hamba jadi telanjur berucap.

Karena tak sama ketika paduka sedang menyabung ayam. Semua orang diarena akan serentak bersorak baik secara sadar ataupun terpaksa sampai seakan-akan tenggorokannya mau pecah saja. Tetapi sekarang mengapa semua orang lantas diam seperti layaknya terkena ilmu sirep ?

Patih Gajahmada dan orang-orang yang menghadap tercengang dan merasa panas hatinya mendengar ucapan Jakatole itu. Raut wajah dan matanya merah bagai darah karena menahan amarah dan malu jadi satu. Seandainya Jakatole sedang tak berada dihadapan Raja mungkin akan lumat dikeroyoknya.

Mungkin Menarik