Raja Majapahit justru kagum pada Jakatole sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berpikir : Anak ini selain tampan bercahaya juga pinta...

7. Raja Majapahit Kagum Pada Jakatole

Raja Majapahit justru kagum pada Jakatole sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berpikir : Anak ini selain tampan bercahaya juga pintar benar. Aku rasa tak pantas dia sebagai anak Empu Kelleng. Setidaknya mungkin dia anak seorang Raja atau anak seorang pertapa. Sesudah berpikir demikian Raja berkata lagi : Sekarang aku ingin bertanya padamu. Jakatole : Apa itu paduka Raja ? Raja : Bisakah kamu memijari pintu gerbang itu sekaligus memperindah bentuknya ? Jika kamu sanggup maka aku akan memberimu hadiah berupa barang berharga dan uang. Jakatole : Hamba akan mencobanya semoga mendapat berkah paduka. Kalau tugas itu merupakan kewajiban yang harus hamba lakukan jangankan hanya membuat sakit diri ini karena beratnya, mati sekalipun kewajiban itu akan hamba lakukan.


Mendengar kesanggupan Jakatole itu Raja sangat girang dan tertawa. Ki Patih merasa tercerahi pula hatinya seperti tanaman layu mendapat air layaknya. Yang sedih tiada tara adalah Empu Kelleng. Ia takut kalau kesanggupan Jakatole itu tak terwujud. Kalau semua meleset sudah tentu hukuman yang berat tidak hanya akan ditimpakan kepada Jakatole tetapi juga padaku pikirnya.

Setelah itu Raja Majapahit berkenan pulang ke keraton sedangkan lainnya pulang ke kediaman masing-masing. Empu Kelleng berkata kepada Jakatole : Aduh, anakku mengapa kamu sangat lancang mengatakan sanggup untuk memijari pintu gerbang itu pada Raja? Padahal para Empu yang berpengalaman dan pandai sudah berusaha dengan seluruh ilmunya untuk memijari pintu itu tapi tetap tak berhasil. Sekarang kamu anak masih kemarin sudah umbar janji untuk menyelesaikannya. Bagaimana akibatnya kalau pintu gerbang itu nanti tetap tidak selesai juga ? Tentu Raja akan menjatuhkan hukuman yang sangat berat padamu.

Aku dan teman-teman yang sudah membanting tulang dan bekerja disini selain belum satupun hadiah yang kami terima, pintu gerbang itu juga belum selesai malah yang kami dapat justru leher yang keseleo. Jakatole : Doakan saja, semoga nanda mendapat berkah ayahanda.

Pada saat itu kemudian Jakatole mengumpulkan seluruh Empu dan bertanya : Masih tinggal mana yang belum selesai dari pembuatan pintu ini kok seperti begitu sulitnya ? Empu : Kalau pintunya sudah selesai nak, hanya tinggal pemijarannya saja. Seluruh Empu disini sudah merasa tak sanggup untuk menyelesaikannya. Jakatole : Sekarang marilah kita kerjakan bersama-sama supaya cepat selesai dan supaya semua Empu disini nanti bisa segera pulang kerumah masing-masing. Empu : Engkaulah yang memulai dan kami hanya berusaha sedapat mungkin untuk membantumu. Kamu juga yang menyatakan sanggup kepada Raja. Semoga  kesanggupanmu akan terlaksana sehingga pembangunan pintu ini cepat selesai. Kami dan teman-teman disini sudah ingin segera pulang kerumah karena kami sudah rindu pada anak dan isteri.

Para Empu tadi sudah sangat rindu akan kampung halaman masing-masing  karena sudah lebih setahun mereka ada di Majapahit. Kalau pintu itu segera selesai dan sudah diperbolehkan pulang oleh Raja maka bermacam rencana yang akan mereka lakukan dirumah masing-masing sebagai ungkapan kegembiraan atas kembali berkumpulnya mereka dengan sanak-keluarganya. Ada yang mau mengadakan selamatan, macopat, nanggap topeng, nanggap terbang dan semacamnya.

Jakatole lalu meminta kepada Empu Kelleng : Ayah nanda mohon supaya sekarang nanda dibakar sampai hangus jadi arang. Empu Kelleng : Aduh anakku, ayah tak tega membakarmu begitu. Jakatole akhirnya minta kerelaan para Empu lainnya ujarnya : Marilah paman-paman Empu bakarlah saya. Kumpulkan kayu bakar yang banyak dan hidupkan api. Kalau api sudah membesar lemparkan saya kedalamnya. Kalau saya sudah kelihatan hitam seperti arang dan dari pusarku keluar pijar putih mekar bagai kembang maka angkatlah saya dari api. Sebelum itu ambillah dulu pijar itu dan saya akan hidup lagi kalau paman-paman menceburkan jasad saya ke air jambangan.

Mendengar permintaan Jakatole para Empu cepat-cepat mengumpulkan kayu dan menghidupkan api kemudian membakar Jakatole. Jakatole meloncat kedalam api ketika jilatan api membubung langit. Melihat api mulai membesar Empu Kelleng lari masuk pondokannya. Ia tak sampai hati melihat anak yang dicintainya itu membakar diri. Tak seberapa lama kira-kira sepertanak, api-pun mulai padam. Jakatole kelihatan menghitam terbaring ditengah onggokan bara. Setelah para Empu mendekat maka nyatalah dari pusarnya memang mengeluarkan pijar seperti dijelaskan Jakatole sebelumnya. Diambillah pijar itu dan tubuh Jakatole yang telah jadi arang langsung dimasukkan ke air jambangan. Sebentar kemudian Jakatole hidup dan bangkit lagi dan konon sekarang raut mukanya bertambah-tambah tampannya seperti emas didulang.

Setelah diberitahu keadaan Jakatole selamat, Empu Kelleng sangat girang hatinya dan langsung melocat keluar dari pondokannya. Dipeluklah Jakatole sambil mengucurkan airmata tanda riang dan bangganya. Para Empu baik tua maupun muda tercengang melihat kesaktian Jakatole pikirnya : Anak ini sudah mempunyai kesaktian tinggi padahal usianya masih sekitar duabelas tahun. Betapa lagi kalau dia dewasa !?

Setelah Jakatole memegang pijar ditangannya lalu berkata kepada para Empu : Paman Empu saya mohon kerelaan paman semua untuk merapatkan pintu besi ini. Saya akan memijari (mematri) disetiap sendinya. Dengan sungguh hati para Empu merapatkan setiap bagian pintu gerbang itu. Setelah pintu dibakar sampai membara Jakatole lalu mengoleskan pijar-kembang itu ke setiap sendi dan lekuk pintu. Sesudah selesai disiramlah pintu itu dengan air maka rampunglah sudah pintu gerbang itu. Bentuknya bagus dan halus seperti bukan buatan tangan manusia layaknya. Seluruh Empu merasa kagum melihat hasil kepandaian Jakatole itu.

Mungkin Menarik