Pangeran Pakunataningrat kemudian mengikuti anjuran yang diberikan Residen itu dan kemudian banyak punggawa yang diberhentikan sedangkan jat...

60. Pengukuran Tanah di Desa-Desa Wilayah Afdeling Sumenep


Pangeran Pakunataningrat kemudian mengikuti anjuran yang diberikan Residen itu dan kemudian banyak punggawa yang diberhentikan sedangkan jatah desa atau sawah yang diberikan sebagai upah kepada mereka dicabut.

 

Tak lama kemudian ada lagi saran dari atasannya yang minta dipertimbangkan menyangkut hasil dari desa-desa dan hasil yang diperoleh dari tanah bengkok para Menteri. Dari itu kemudian banyak para Menteri yang bingung setelah diadakan pendataan karena belum tahu maksudnya.

 

Banyak dari mereka yang melaporkan tanah bengkoknya kecil dengan maksud agar supaya jatah tanah mereka tidak dicabut. Sedangkan yang lain setuju kalau dilaporkan jatah tanahnya luas dengan maksud supaya haknya tidak disatukan dengan tanah bengkok para Menteri dan Punggawa lainnya.

 

Dengan kacaunya pelaporan itu maka data yang diberikan oleh para Menteri dalam rangka penyelenggaraan (semacam) sensus itu menjadi tidak akurat dan bahkan bisa dikatakan semua laporan yang diberikan tidak dilandasi kejujuran (bohong). Setelah pendataan selesai Tuan Residen Krenor kemudian ambil cuti dan pulang ke negerinya di Belanda.

Pada tahun 1881 Masehi di Sumenep diadakan Landmeter atau pengukuran tanah di desa-desa dan sawah-sawah di wilayah Afdeling Sumenep terus kedaerah kepulauan. Sampai tahun 1884 Masehi negara Sumenep diatur oleh Gupermen dan dari sejak itu Kanjeng Gupermen mulai menarik pajak perseorangan (uang kepala) serta pajak tanah dan bangunan (nereng).

 

Desa yang diberikan kepada Menteri kemudian dicabut dan diganti dengan semacam uang jasa yang kemudian lebih dikenal dengan istilah uang Onderstand. Pemberian uang Onderstand kepada orang-perorang masing-masing disesuaikan dengan data laporan yang masuk. Kalau laporan yang disampaikannya kecil maka Onderstand yang akan diterimanya akan kecil juga.

 

Dari itu para Menteri yang melaporkan tanah bengkoknya kecil kemudian banyak yang menyesal dan kecewa.

 

Aturan yang dilakukan Gupermen seperti itu konon banyak menarik keuntungan. Sebab sebelum diatur demikian negara Sumenep mempunyai aturan sendiri sebagaimana berikut ini :

 

Pertama. Para kepala Desa mengabdi kepada Menteri yang memiliki Desa.

 

Tetapi dalam hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan menanggulangi masalah terutama yang menyangkut masalah kriminalitas (Kepolisian), mereka (Kepala Desa) menjadi abdi Wedana atau Towedi (Asisten Wedana).

 

Para Menteri yang memiliki Desa berkuasa memecat Kepala Desa yang dianggapnya tidak cakap. Terkadang dalam satu desa bisa terjadi pergantian sebanyak tiga kali dalam setahun.

 

Kepala Desa ini tidak dipilih oleh rakyat melainkan ditentukan oleh Rijksbestuurder atau Wedana dan Towedi. Surat ketetapannya (Bisluit) dikeluarkan oleh Rijksbestuurder dengan nama Instruksi.

 

Yang bisa ditandai secara gamblang oleh rakyat misalnya si Fulan telah menjadi Kepala Desa yaitu kalau Kentongan yang sebelumnya berada di rumah Kepala Desa yang diberhentikan atau yang berhenti kemudian dipindah kerumah Kapala Desa yang baru dan disitu Kentongan tersebut dibunyikan.

 

Kentongan itu adalah sebagai pelengkap dari Instruksi.

 

Kedua. Kalau ada kecelakaan atau pencurian disuatu kampung maka sejumlah tetangga yang dekat dengan tempat kejadian akan dijadikan sebagai saksi.

Karena orang-orang dulu banyak yang takut menghadapi perkara maka mereka lalu membayar kepada Kepala Desa karena takut dijadikan sebagai saksi tadi. Pembayaran uang seperti itu disesuaikan dengan kemampuan dan macam perkaranya.

 

Kalau ada seorang calon saksi yang tak mau membayar maka ia akan dijadikan pesakitan karena diduga berkomplot dengan maling dan ia disangka menyembunyikan barang bukti dan lain-lain sehingga mereka kemudian dibuang (diasingkan).

 

Maka itu rakyat kecil kemudian memilih jalan terbaik yaitu membayar dengan uang meskipun mereka menderita.

 

Ketiga. Kalau Raja akan mengadakan Pesta misalnya mengawinkan putera atau puterinya, nyunat atau tusuk kuping (Noddu’=Mad.) maka satu bulan sebelum penyelenggaraan para Kepala Desa memerintahkan kepada seluruh magarsarinya (penduduk) untuk mengirimkan kesenian kekota.

 

Terhadap orang yang tidak mau ikut diperintahkan untuk membayar uang pada Kepala Desa. Uang itu disebut uang pesangon yang besar-kecilnya disesuaikan dengan kemampuan si pembayar.

 

Para Towedi dan Menteri juga menyediakan sesembahan keramaian sendiri-sendiri seperti mereka berpakaian layaknya pengantin seperti ; berkolo (topi model pengantin Jawa=Kulu), berbedak atau berpupur kuning sebadan, berompi warna jingga, memakai ikat pinggang pasmen tanpa baju sambil menunggang kuda dengan iringan tetabuhan.

 

Mereka membawa perlengkapan sendiri seperti kentongan, angklung, saronen, terbang (rebana) dan sebagainya. Karena itu kalau ada perayaan di Keraton pengiringnya jadi beribu-ribu orang banyaknya.

 

Keempat. Kalau ada perintah negara yang berkenaan misalnya dengan membangun tambak, membuat jalan dan sebagainya Kepala Desa lalu memerintahkan magarsarinya untuk terlibat.

 

Kalau diantara mereka ada yang tidak hadir maka ia harus membayar kepada Kepala Desanya.

 

Kelima. Palabang (uang kepala) satu orang, Satu Riyal Setalen Sembilan Duit atau sama dengan F. 2.32,50. Uang itu diserahkan kepada Raja semuanya.

 

Pembayaran pajak yang lain adalah Palabang Kacang (minyak kacang), Sirap (atap sirap), Sabuk (otep), Bulanan (Kemmet tiap bulan).

 

Keenam. Sandung Pekol = Gabba’an (aturan Herendienst) yang rinciannya adalah :

 

1. Janda yang beranak kecil laki-laki (Randha Calo’ Kene’) yaitu ; kalau ada janda yang memiliki anak laki-laki tapi masih kecil hanya membayar uang bunto’ cere’ sebiting yang besarnya sama dengan 7,50 duit. Kalau anaknya sudah dewasa tapi belum beristeri harus membayar F. 2.32,50.


2. Janda Leles yaitu, kalau ada janda memiliki anak perempuan tetapi masih kecil atau sudah dewasa tidak ditarik uang apa-apa kecuali hanya dikenai uang pengaca setiap tahun yang besarnya segubang = 2 duit.


3. Janda Mango’ adalah janda yang tidak memiliki anak. Kepadanya hanya ditarik uang pengaca yang besarnya seduit.


4. Janda Monyeng yaitu janda yang tidak memiliki anak tetapi kaya. Kepada mereka harus membayar lunas F. 2.32,50.


5. Duda Calo’ yaitu duda yang memiliki anak laki-laki. Walaupun anaknya sudah dewasa ia hanya membayar uang bunto’ cere’ ( sama besarnya sebagaimana pada huruf A). F.


6. Duda Monyeng yaitu duda yang tidak beranak tetapi kaya. Kepadanya diwajibkan membayar lunas F. 2.32,50.


7. Duda Leles yaitu duda yang memiliki anak perempuan. Kalau anaknya masih kecil hanya membayar uang bunto’ cere’ tetapi kalau sudah dewasa harus membayar lunas F. 2.32,50.


8. Duda Mango’ yaitu duda yang tidak memiliki anak. Duda ini luput dari beaya semuanya hanya membayar uang pengaca sebanyak seduit.

 

Sebagai tanda bahwa anak si janda atau si duda sudah dianggap besar, apabila lengan sebelah kanan si anak dikalungkan lewat atas kepalanya dan tapak tangannya bisa menutup kuping yang sebelah kiri maka yang demikian anak tersebut dianggap telah dewasa.

 

Ketujuh. Pajak yang dikenakan terhadap hasil bumi rakyat ada tiga macam. Meskipun ditiap-tiap desa berbeda-beda seperti :

 

1. Pajak Pasangan,
2. Pajak Tekasan
3, Pajak Dangal. Pajak ini adalah hak para Menteri yang punya desa.

Bersambung  ........

 

Mungkin Menarik