Ilustrasi: Antrian masyarakat saat membayar pajak Yang dimaksud dengan Pajak Pasangan adalah Pajak tetap. Jadi Pajak ini tidak boleh dinaikk...

61 Pembayaran Pajak Pasangan

Ilustrasi: Antrian masyarakat saat membayar pajak

Yang dimaksud dengan Pajak Pasangan adalah Pajak tetap.

Jadi Pajak ini tidak boleh dinaikkan atau diturunkan seenaknya meskipun tanaman diatas tanah itu subur atau tidak. Pajak ini mesti dibayar.

Tumbuh-tumbuhan lainnya sepeti kelapa dan siwalan tidak terkena pajak sebab pajak tumbuhan tersebut sudah dimasukkan kepada pajak tanah.

Yang dimaksud dengan Pajak Tekasan adalah Pajak yang mengikuti luas lahan tanam. Aturannya seperti dibawah ini sebagaimana denah yang terbagi.

a. Salepean, dengan lebar satu depa ini dimiliki yang punya tanah.
b. Tekasan, dimiliki yang punya Desa.
c. C, D, E dimiliki yang punya tanah.

Desa yang mengenakan Pajak Tekasan sangat kentara. Meski penduduk baru sekalipun ia akan segera mengerti kalau desa itu menarik Pajak Tekasan. Tanaman yang subur hanya akan kelihatan terletak dipinggir-pinggirnya saja karena disana sang empunya tanah memang rajin memupuk tamannya sedangkan dibagian lainnya yaitu dilahan Salepean.

Penggarap tanah yang begitu jelas tak berpikir panjang sebab tindakannya itu bisa merugikan dirinya sendiri mengingat bagian lahan yang peruntukkan bagi pemilik desa (Tekas) hanya kecil saja (seperempat bagian). Meskipun tanaman yang berada ditengah lahan tumbuh subur dan hasil yang diperolehnya nanti akan banyak namun akhirnya akan terbagi juga dalam perhitungan pajak tekasan.

Kemudian yang dinamakan Pajak Dangal adalah pajak yang dikenakan pada saat tanaman akan dipanen.

Pemilik harus melapor kepada yang berwenang yaitu seorang yang menjadi kuasa Menteri yang memiliki Desa. Orang itu lalu mendatangi lokasi dimana tanaman itu akan dipanen. Kemudian dia ikut pula mengawasi bahkan baru pulang kalau kegiatan panen sudah selesai.

Yang berwenang itu lalu menaksir hasil panen yang diperoleh serta menentukan besar kecilnya Pajak Tekasan yang harus dibayar. Terkadang mereka terlibat tawar-menawar seperti dipasar layaknya.

Kalau yang berwenang merasa kurang puas atas bagiannya maka ia memutuskan supaya yang punya tanah membawa hasil Tekasan itu ke Kota. Karena itu yang punya tanah tentu saja lebih rela membayar uang Tekasan meskipun lebih mahal dan  ini sudah dianggap sebagai kebiasaan yang lumrah.

Dari pada ia harus repot membawa hasil Tekasan ke Kota yang bisa memakan waktu dan ongkos banyak maka ia lebih rela membayarnya ditempat meski sedikit lebih mahal.

Pajak tanaman lain selain kelapa dan siwalan aturannya ada tiga pula yaitu :

a. Pajak Pasangan.
b. Pajak Dangal yang aturannya sama seperti pajak tanah.
c. Pajak Tekasan dikenakan pada buah-buahan seperti Nangka, Mangga, Sukun dan sebagainya hasilnya dibagi empat.

Satu bagian untuk Menteri yang memiliki Desa, sedangkan selebihnya untuk si empunya.

Pohon kelapa aturannya dihitung tiga-tiga. Dari hitungan satu sampai tiga diberi tanda dan ini adalah hak yang memiliki Desa. Pemilik Desa memang lumrah kalau ia memilih pohon kelapa yang berbuah lebat. Kalau pohon kelapa itu kurang dari tiga jumlahnya maka tidak dibenarkan untuk dipajaki. Kalau lebih empat atau lima itu dianggap satu dan kalau enam dianggap dua demikian seterusnya.

Kalau yang dibagikan itu masih bersisa maka pohon tersebut kena pajak berupa uang yang besarnya ditentukan sendiri oleh desa-desa yang bersangkutan. Paling murah Pajaknya dua puluh duit tetapi yang lumrah duapuluh dua duit. Ada juga yang pajaknya setalen setahun tiap satu pohon.

Peraturan Tekasan untuk pohon siwalan sama saja dengan pohon kelapa tetapi pembagiannya bukan untuk yang punya desa. Pambagian itu di hak-kan pada para Pangeran. Pembagian itu bisa dijual lagi oleh Pangeran yang memiliki kepada rakyat yang mampu membelinya.

Kedelapan. Kuasa Menteri terhadap harta orang-orang yang ada didesanya seperti miliknya sendiri.

Kalau Menteri datang ke Desa yang di kuasainya maka kalau ia melihat sesuatu yang disukainya langsung dia minta dan diambilnya. Seperti pisang, ayam jago dan lain-lainnya bahkan sang empunya pula yang diminta untuk mengantarkan kerumah si Menteri. Bisa jadi si empunya barang kalau nanti sampai dirumah si Menteri masih disuruh-suruh seperti kerja membelah kayu, nyabit rumput, menimba air dan sebagainya.

Maka itu ada ungkapan orang-orang Sumenep yang bunyinya : Jangan menanam pohon pisang dihalaman rumah dan jangan pelihara ayam jago karena akan mencelakakan dirinya sendiri.

Digambarkan demikian karena kalau kebetulan sang Menteri menginginkannya maka selain barangnya diambil, orangnya-pun akan disuruh membawanya ke kota. Setelah disana masih disuruh-suruh kerja lagi. Disaat-saat bulan Ruwah, Maulud atau kalau sudah hampir Lebaran orang-orang desa diharuskan membawa oleh-oleh berupa hasil bumi untuk Menterinya. Seperti Ayam, Kayu bakar, Terong, Kelapa dan sebagainya dan termasuk Para Kepala Desa juga minta bagian oleh-oleh seperti itu pada magarsarinya (penduduknya). Hasilnya lalu dibelikan kambing untuk diberikan kepada Menteri.

Kesembilan. Diceriterakan bahwa ada lagi punggawa Raja berpangkat Palekkat.

Atasan langsung Palekkat ini namanya pangkat Somendi dan atasannya lagi bernama Ajek Palekkat. Tugas dan kewajiban Palekkat ini selain memindah dan mengangkut barang, juga sebagai tukang bambu seperti membuat gedek, tusuk sate dan semacamnya.

Karena itu kalau ada keramaian di Keraton seperti ada peristiwa kelahiran dan pesta lainnya yang perkakasnya banyak memakai bambu, Ajek Palekkat memerintahkan Somendi-nya untuk membuat tusuk sate, penjepit bambu, biting dan sebagainya. Kalau ada kelahiran mereka ditugasnya membuat sangkar tembuni (ari-ari) yang dibentuk rumah-rumahan yang lebar dan panjangnya sekitar tiga perempat meter dan tingginya setengah meter.

Somendi memerintahkan Palekkat tetapi Palekkat tidak bisa melakukan tugas itu karena akan ke desa-desa untuk mencari bambu yang jauhnya kira-kira tiga kilometer dari Kota. Setiap orang yang punya pohon bambu dimintainya masing-masing sebatang oleh Palekkat dan yang punya sekaligus disuruhnya mengantarkannya ke Kota. Karena itu pada umumnya para  pemilik bambu lalu banyak yang membayar uang yang besarnya seharga sebatang bambu. Kalau bambu sudah dapat banyak maka lonjoran batang bambu itu ditumpuknya ditepi jalan.

Setiap orang desa yang kebetulan lewat dijalan itu kemudian diperintahkannya untuk membawa bambu-bambu itu ke keraton. Tapi lagi-lagi banyak orang tidak mau dan menggantinya dengan uang. Jumlah besarannya tak tentu, ada yang hanya mampu membayar lima duit, tiga duit atau segubang. Kalau diantaranya ada yang tidak mampu bayar maka orang itulah yang diberi kewajiban memikul bambu ke keraton. Kalau sudah tak mendapatkan orang lagi yang mau mengangkutnya maka mereka akan menyuruh temannya atau dipikulnya sendiri.
Kesepuluh. Ada lagi bawahan Raja yang berpangkat Kabajan.

Atasannya bernama Somendi Kabajan dan atasannya lagi bernama Ajek Kabajan. Ajek Kabajan ini memiliki kewenangan untuk memerintah Pangeran, para putera Raja atau Menteri. Setiap perintah Raja terlebih dulu melewati Patih dan dari Patih, baru ke Ajek Kabajan. Dari Ajek Kabajan terus ke Somendi Kabajan kemudian ke Kabajan dan dari Kabajan kemudian ini pesan itu disampaikannya kepada orang-perorang. 

(bersambung)

Mungkin Menarik